Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj News Agency (MINA)
Tajikistan negara di kawasan Asia Tengah dengan jumlah penduduk 10.329.836 jiwa (Population Today, 2024), yang mayoritasnya 90% beragama Islam, secara kontroversial pada tanggal 19 Juni 2024, secara resmi melarang jilbab di negaranya.
Sesuai Undang-Undang tersebut, pelanggar akan dikenakan denda yang besar, berkisar antara $747 (Rp12 juta lebih) hingga $3.724 (Rp60juta lebih).
Undang-undang yang disetujui oleh Majelis Tinggi Parlemen (Majlisi Milli), melarang penggunaan “pakaian asing”, termasuk jilbab atau penutup kepala yang dikenakan oleh perempuan Muslim. Warga dianjurkan untuk mengenakan pakaian nasional Tajikistan.
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
Pemerintah Tajikistan mengeluarkan serangkaian 35 tindakan terkait agama, dalam langkah yang disebut pemerintah sebagai “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme”.
Undang-undang pelarangan jilbab tersebut bersamaan dengan pembatasan perayaan anak-anak, berupa larangan meminta uang, dalam tradisi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Larangan jilbab di Tajikistan merupakan garis politik yang dijalankan oleh pemerintahan presiden seumur hidup Emomali Rahmon (dulu Emomali Sharifovich Rahmonov) sejak tahun 1997.
Kebijakan Presiden Rahmon
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Emomali Rahmon (72 tahun, lahir 5 Oktober 1952) meniti karier sebagai Ketua Dewan Tertinggi Tajikistan ‘Merdeka’ tahun 1992, setelah lengsernya Pro-Komunis Rahman Nabiyev.
Ia dipilih sebagai Presiden Tajikistan pada tahun 1994. Menyusul perubahan konstitusional, Rahmon diangkat kembali sebagai Presiden tahun 1999, dengan perolehan suara 97%. Tahun 2003 Rahmon memenangkan Referendum yang mengizinkannya memimpin selama 2 masa 7 tahun berurutan setelah berakhirnya masa jabatannya tahun 2006.
Wikipedia menyebutkan, Rahmon walau ia telah pergi haji ke Makkah tahun 1997, ia dipengaruhi ajaran Zoroaster (ajaran Persia Kuno).
Wiki juga menyebutkan, terdapat bentuk ketaatan rezim Tajikistan kepada imperialis Barat yang menginginkan ‘demokratisasi’ di negeri mayoritas beragama Islam ini. ‘Demokratisasi’ akan memperkuat rezim sekuler di sana, yang akan menghalangi rakyat Tajikistan untuk melirik dan kembali kepada syariat Islam.
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas
Keberadaan gerakan Islam di sana pasca runtuhnya Uni Soviet memang menjadi ancaman baru bagi negara imperialis AS di kawasan Asia Tengah tersebut. Kekhawatiran ini cukup beralasan, mengingat kawasan AS memiliki banyak kepentingan di kawasan Asia Tengah. Termasuk untuk mengurangi pengaruh gerakan Islam di Asia Tengah melalui ‘demokratisasi’ dan ‘reformasi ekonomi’.
Menanggapi kekuasaan otoriter pemerintah Tajikistan, tahun 2015 Amerika Serikat menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas pembatasan ruang bagi oposisi politik menjelang pemilihan parlemen tanggal 1 Maret 2015.
Tindakan-tindakan ini termasuk pembatasan yang tidak semestinya terhadap kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai, yang semuanya dijamin dalam konstitusi Tajikistan dan merupakan komitmen inti dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE).
OSCE adalah organisasi antar pemerintah yang berorientasi pada keamanan regional yang terdiri dari negara-negara anggota di Eropa, Amerika Utara, dan Asia. Mandatnya mencakup isu-isu seperti pengendalian senjata, pemajuan hak asasi manusia, kebebasan pers, dan pemilihan umum yang bebas dan adil.
Baca Juga: Penting untuk Muslimah, Hindari Tasyabbuh
Menurut sumber Euro News, Presiden Emomali Rahmon memang telah lama mengincar apa yang digambarkan sebagai ‘ekstremisme’.
Setelah perjanjian damai untuk mengakhiri perang saudara selama lima tahun pada tahun 1997, Rahmon, yang telah berkuasa sejak tahun 1994, untuk pertama kalinya menemukan cara hidup berdampingan dengan oposisi Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (The Islamic Renaissance Party of Tajikistan /TIRP).
Menurut perjanjian yang ditengahi PBB, perwakilan TIRP yang pro-Syariah Islam akan berbagi 30% pemerintahan, dan TIRP diakui sebagai partai politik pasca-Soviet pertama di Asia Tengah yang didirikan berdasarkan nilai-nilai Islam.
Namun kemudian Presiden Rahmon dengan otoritas mutlaknya menyingkirkan TIRP dari pemerintahan, meskipun partai tersebut seiring berjalannya waktu berubah menjadi lebih sekuler.
Baca Juga: Peran Muslimat dalam Menjaga Kesatuan Umat
Pada tahun 2015, Presiden Rahmon kemudian menutup TIRP dan menetapkannya sebagai organisasi teroris setelah partai tersebut diduga ikut serta dalam upaya kudeta yang gagal, yang menewaskan Jenderal Abdulhalim Mirzo Nazarzoda tahun 2015. Nazarzoda adalah seorang birokrat penting pemerintah Rahmon,. Yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan.
Soal pelarangan jilbab, Presiden Rahmon pertama kali melarang jilbab di lembaga-lembaga publik, termasuk universitas dan gedung pemerintah, pada tahun 2009.
Dia juga mendorong sejumlah peraturan formal dan informal yang dimaksudkan untuk mencegah negara-negara tetangga memberikan pengaruh, tetapi juga memperkuat kendali mereka atas negara tersebut.
Kasus lainnya, meskipun tidak ada batasan hukum mengenai janggut di Tajikistan, beberapa laporan menyatakan, penegak hukum telah mencukur paksa pria yang berjanggut lebat, yang dipandang sebagai tanda potensial dari pandangan agama ekstremis seseorang.
Baca Juga: Derita Ibu Hamil di Gaza Utara
Undang-undang Tanggung Jawab Orang Tua, yang mulai berlaku pada tahun 2011, memberikan sanksi kepada orang tua yang menyekolahkan anaknya ke pendidikan agama di luar negeri. Sedangkan menurut undang-undang yang sama, anak-anak di bawah 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah tanpa izin.
Pernyataan Komite Urusan Agama Tajikistan pada tahun 2017 mengatakan bahwa 1.938 masjid ditutup hanya dalam satu tahun. Lebih dari itu, tempat ibadah diubah menjadi kedai teh dan pusat kesehatan.
Parlemen Tajikistan membuka jalan bagi Rahmon untuk membuat Undang-Undang terbaru yang dikatakan dipicu oleh serangan mematikan di Balai Kota Crocus di Moskow pada tanggl 25 Maret 2024, yang menewaqskan 137 orang.
Empat penyerang yang ditangkap oleh penegak hukum Rusia, dikatakan sebagai bagian dari ISIS-K cabang Khorasan, dengan kepemilikan paspor Tajikistan, menurut pihak berwenang Rusia.
Baca Juga: Kiat Menjadi Muslimah Penuh Percaya Diri
Presiden Rahmon, yang mengatakan bahwa ia ingin menjadikan Tajikistan “demokratis, berdaulat, berdasarkan hukum dan sekuler.”
Adat, UU Pemerintah dan Syariat
Menyikapi larangan jilbab bagi perempuan Muslim dan pakaian adat bangsa Tajik, Bhaswati Mukherjee, diplomat India yang bertugas sebagai Kepala Staf Komisaris Hak Asasi Manusia PBB (The United Nations Human Rights Commissioner/UNHRC) tahun 1991-1997, menyampaikan pandangannya.
Mukherjee, yang pernah menjabat Delegasi Tetap India untuk Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization /UNESCO), menggali konteks sejarah dan budaya, dan mencatat bahwa Tajikistan, dengan adat istiadat kesukuannya yang mengakar kuat, tidak pernah bersifat ekstremis atau fundamentalis.
Baca Juga: Fitnah Medsos yang Perlu Diwaspadai Muslimah
Jilbab yang dipandang tidak cocok dengan pakaian tradisional perempuan Tajik, yang memiliki tutup kepala tersendiri, juga tidak sesuai dengan kebebasan perempuan untuk memilih pakaian mereka, sambil menyoroti perlunya pendidikan tentang pentingnya berbagai pakaian.
Ia mengungkapkan keprihatinannya atas keputusan pemerintah Tajikistan yang melarang jilbab. Ia mendorong menganjurkan pendidikan yang memungkinkan perempuan membuat pilihan berdasarkan informasi.
Mukherjee merefleksikan pengalamannya sendiri di negara-negara Muslim, di mana dia menghormati adat istiadat setempat dalam hal berpakaian.
Ia juga berbicara mengenai intervensi negara terhadap hak-hak perempuan. Mukherjee membandingkan pendekatan Tajikistan dengan undang-undang di Afghanistan yang dikuasai Taliban, di mana perempuan, menurutnya, tidak diberi kebebasan dasar dan pendidikan.
Baca Juga: Istri Tak Bersyukur, Sebuah Renungan Berdasarkan Dalil Syariat
Ia mengakui, meskipun lemahnya demokrasi merupakan sebuah kekhawatiran, perlu ditegakkan langkah-langkah yang melindungi perempuan dari praktik-praktik regresif, ujar dosen di Foreign Service Institute dan di berbagai Universitas di India dan luar negeri, dengan konsentrasi keilmuan mengenai isu-isu kebijakan luar negeri, pelucutan senjata dan urusan strategis.
Kasus pelarangan jilbab, selain di Tajikistan, juga diberlakukan di Tunisia (sejak tahun 1981, sebagian dicabut pada tahun 2011), Kosovo (sejak 2009), Azerbaijan (sejak 2010), Kyrgyzstan (2011), Austria (2017), Perancis (2023) dan Kazakhstan (2023).
Negara lainnya, Jerman, Belgia, Norwegia, dan Bulgaria memiliki undang-undang yang melarang penggunaan pakaian penutup wajah, yang dikenal sebagai burqa atau cadar, di sekolah atau lembaga publik.
Tentang pelarangan jilbab ini, kolomnis asal Turkiye, Ramazan Dengiz dan Emre Basaran mengatakan, pelarangan jilbab, khususnya di negara-negara sekuler, adalah sebuah kemunduran yang mungkin akan membuat komunitas Muslim Eropa kehilangan haknya. Menurutnya, memilih pakaian merupakan hak-hak perempuan, dan hak untuk memakainya jika mereka merasa itu adalah bagian dari identitas mereka.
Baca Juga: Peran Perempuan dalam Mempertahankan Masjid Al-Aqsa
Pada tahun 2013, pemerintahan Konservatif Perdana Menteri Inggris, David Cameron menolak seruan untuk melarang burqa (cadar) di depan umum, dengan menyatakan, “perempuan harus memiliki kebebasan untuk memilih apa yang akan dikenakan”.
Di Irlandia, pendeta Tao, Leo Varadkar, juga menolak kemungkinan pelarangan burqa pada tahun 2018, dengan mengatakan, “Saya tidak setuju dengan doktrin setiap agama atau agama apa pun, namun saya percaya pada kebebasan beragama.”
Bagi perempuan Muslim, tentu memakai jilbab untuk menutup auratnya yang terhormat merupakan kewajiban agama kepada Tuhannya, sebagai identitas Muslimah.
Di dalam Kitab Suci Al-Quran disebutkan, yang artinya, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab [33]: 59).
Pada ayat lain dikatakan, yang artinya, “”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…..”. (QS An-Nuur [24]: 31).
Juga firman-Nya, yang artinya, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS Al-A’raf [7]: 26).
Yang diuntungkan dari memakai jilbab bagi perempuan adalah pemakai itu sendiri yang terjaga kehormatannya, dan negara yang berarti warganya dari kalangan perempuan terlindungi dari berbagai keburukan.
Ajaran Islam secara keseluruhan, bukan hanya soal pakaian, tetapi juga soal hukum, moral (akhlak), dan ibadah secara luas, adalah untuk kesejahteraan, kedamaian dan kebaikan semesta alam. (QS Al-Anbiya [21]: 107).
Oh Tajiksitan, dan negara-negara lainnya yang masih melarang jilbab bagi perempuan Muslim, ingatlah itu adalah syariat, ketentuan dari Allah, Tuhan Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Allah, Tuhan yang berkuasa atas kekuasaan kalian yang sementara ini. Maka, biarkanlah kaum perempuan Muslim memakai pakaian ketentuan dari Tuhannya, sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan. []
Mi’raj News Agency (MINA)