Tak Ada Makanan, Karim Bamago Berbuka dengan Air Saja

Kamp pengungsi di Burkina Faso. (Foto: Henry Wilkins/Al Jazeera)

Oleh: Henry Wilkins,

Pada buka puasa malam ini Karim Bamago tidak akan makan apa pun.

Sebaliknya, pria 30 tahun ini hanya minum air dan kopi bersama istri dan lima anaknya.

Bagi Bamago dan pengungsi internal lainnya di Burkina Faso yang dilanda kekerasan, puasa Ramadhan tahun ini telah dikaburkan oleh kurangnya makanan, sebagian karena pandemi virus corona yang mengganggu pasokan makanan.

Berkali-kali, berbuka puasa tidak lebih dari minum.

Jumlah makanan yang didistribusikan oleh agen-agen bantuan, “tidak mencukupi untuk semua orang, jadi beberapa tidak mendapatkannya,” kata Bamago yang mengungsi di sebuah kamp IDP di Barsalogho, sebuah kota di utara Burkina Faso.

“Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan di sini. Kami benar-benar membutuhkan bantuan … air adalah masalah juga, dan tidak ada layanan kesehatan,” tambahnya.

Penduduk kamp hampir tidak punya cukup air untuk diminum, apalagi untuk wudu. Ini juga membuat pedoman berikut tentang mencuci tangan untuk mencegah penyebaran virus corona baru hampir mustahil.

“Kami berdoa kepada Tuhan agar kami tetap aman”

Burkina Faso dalam beberapa tahun terakhir dicengkeram oleh konflik yang meningkat dan kompleks, yang telah menyebar ke seluruh wilayah Sahel, ke beberapa negara termasuk Niger dan Mali.

Situasi keamanan yang memburuk, yang telah memindahkan sekitar 800.000 Burkinabes, mempersulit respons negara terhadap COVID-19, penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus corona baru. Secara khusus, orang-orang di utara dan timur Burkina Faso dihadapkan dengan ancaman ganda pandemi dan kekerasan yang memburuk, yang menewaskan lebih dari 2.000 orang tahun lalu.

Hingga 3 Mei 2020, negara tersebut telah mencatat 652 kasus virus corona dan 44 kematian karenanya.

Di seluruh negeri, lebih dari dua juta orang membutuhkan bantuan makanan.

Ditanya, apakah Ramadhan akan menjadi pengalaman yang menggembirakan tahun ini? Bamago menjawab, “Tidak, itu tidak akan sama dengan di masa lalu.”

Ramadhan-Ramadhan sebelumnya ada nasi dan bubur yang dia miliki untuk buka puasa.

“Kami hanya berdoa kepada Tuhan untuk membantu menjaga kami aman dari virua corona ini,” tambahnya.

(Foto: Henry Wilkins/Al Jazeera)

Barsalogho adalah tempat yang relatif aman bagi Bamogo setelah desanya yang tidak jauh dari daerah itu diserang oleh kelompok bertopeng tahun lalu yang menewaskan sekitar 15 orang.

Ribuan pengungsi telah menyelamatkan diri ke kota dari permukiman di sekitarnya, yang telah menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Negara Islam Provinsi Afrika Barat (ISWAP) dan Jama’at Nasr al-Islam wal Muslimin (JNIM).

Banyak pengungsi di Barsalogho tinggal di tenda-tenda yang ditutupi oleh terpal biru atau rumah-rumah milik penduduk setempat, beberapa di antaranya hanya memiliki satu atau dua kamar yang menampung hingga 20 orang. Meskipun kota itu belum mengkonfirmasi adanya kasus COVID-19, banyak pengungsi mengatakan mereka hidup dalam ketakutan bahwa virus corona akan segera tiba.

Para ahli kesehatan mengatakan, penyakit itu bisa menyebar seperti api dalam kondisi sempit dan tidak sehat.

Pasar di Barsalogho telah ditutup pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus, membuat akses ke makanan semakin sulit bagi penduduk lokal dan IDP. Sementara itu, Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan, pandemi yang melanda dunia berisiko memperburuk situasi pangan yang sudah genting bagi para pengungsi.

“Pemerintah harus membatasi gerakan untuk menahan penyebaran COVID-19,” kata David Bulman, direktur negara dan perwakilan WFP di Burkina Faso.

“Ketika orang tidak bisa bergerak, dalam ekonomi yang sangat bergantung pada sektor informal, banyak dari mereka tidak bisa bekerja. Ada begitu banyak orang di sini yang mendapatkan uang mereka setiap hari dan menggunakan penghasilannya untuk memberi makan keluarga mereka malamnya. Jika orang tidak bisa bekerja, lebih banyak keluarga tidak akan punya banyak makanan, dan akan kelaparan.”

Menambah masalah, harga makanan di pasar di Burkina Faso mulai naik dengan cepat sejak negara itu melaporkan kasus virus corona pertama pada awal Maret.

Di Burkina Faso, ada sekitar 12,5 juta Muslim (61,5 persen dari populasi). Tahun ini, banyak dari mereka membayar zakat dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi para pengungsi.

Di Kaya, kota lain di utara negara itu, tempat lebih dari 80.000 pengungsi tiba dalam beberapa bulan terakhir, banyak dari mereka  terlantar akibat konflik.

Kepala Madiega Dianbende, pemimpin komunitas Sektor 6, sebuah lingkungan di pinggiran Kaya, menjadi tuan rumah beberapa ratus pengungsi.

Dia dan penduduk Sektor 6 lainnya telah membuka rumah mereka bagi para pengungsi yang mengalir dari pedesaan di sekitarnya. Para IDP tidur di markas penduduk setempat dan mereka yang tidak sanggup berbuka puasa, disediakan makanan oleh kepala suku.

Dianbende menunjukkan bahwa zakat adalah bagian penting dari Ramadhan. “Sangat penting untuk berbagi, terutama saat ini, tahun ini. Ini hanya tentang memberikan apa yang kita bisa, uang makanan, dan apa pun,” katanya.

“Penyakit ini telah mengubah segalanya. Mereka yang membawakan kami makanan sebelumnya, semakin sedikit,” tambahnya. (AT/RI-1/P1)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.