DI BAWAH langit Gaza yang kelam, ada kisah-kisah yang hampir tak terdengar—kisah para penyandang disabilitas yang tak berdaya melawan gelombang kekerasan perang.
Sumber-sumber medis Palestina melaporkan pada Ahad (26/1/2025), jumlah korban tewas di Gaza telah mencapai 47.306, dengan mayoritas adalah wanita dan anak-anak, sejak dimulainya agresi genosida Zionis Israel pada 7 Oktober 2023.
Menurut sumber-sumber tersebut, jumlah korban luka telah meningkat menjadi 111.483 orang.
Dalam 72 jam terakhir, 23 jenazah dibawa ke rumah sakit Gaza, termasuk 14 warga sipil yang jenazahnya telah ditemukan, lima lainnya yang meninggal karena luka-luka mereka, dan empat korban baru dari serangan Israel yang sedang berlangsung.
Baca Juga: Sepekan Gencatan Senjata, Direktur RS Kamal Adwal Masih dalam Penahanan
Selain itu, 11 warga sipil dirawat di rumah sakit dengan luka-luka yang diderita selama agresi yang terus berlanjut.
Sumber-sumber tersebut lebih lanjut mengindikasikan bahwa ribuan korban masih terkubur di bawah puing-puing atau berserakan di sepanjang jalan, karena tim medis darurat dan pertahanan sipil terus menghadapi tantangan yang tidak dapat diatasi dalam mencapai daerah-daerah yang terkena dampak.
Sementara mereka para kaum disabilitas, yang seharusnya dilindungi oleh hukum kemanusiaan internasional, justru menjadi korban paling rentan dari kekejaman yang terjadi selama ini di bumi para nabi itu.
Basem Abu Halib adalah salah satu dari mereka. Dalam tulisan Ali al-Farra yang dilaprokan WAFA, AHad, di usianya yang ke-30, hidupnya berakhir tragis dengan luka tembak di kepala dan dada. Sebelum kematian yang begitu kejam itu, Basem telah lama menjalani hari-harinya dengan gangguan mental akibat penyiksaan yang dialaminya oleh pasukan Israel pada perang Gaza 2014.
Baca Juga: Pesona Kota Lama, Harmoni antara Agama dan Budaya
“Dia tidak pernah menyakiti siapa pun,” kenang saudaranya, Hazem, dengan mata yang penuh duka.
Namun, nasib Basem bukanlah satu-satunya. Di bawah reruntuhan rumahnya yang dihancurkan buldoser Israel, tubuh Hassan Jareer yang berusia 64 tahun ditemukan tak bernyawa.
Hassan, dengan gangguan mental dan kesulitan berbicara, menjadi korban lain dari serangan brutal ini.
Kisah Abd al-Jabbar lebih memilukan lagi. Sosok yang dikenal dengan suaranya yang khas itu ditemukan tewas tergantung di sebuah tiang, tubuhnya menyimpan bekas penyiksaan yang tak terbayangkan.
Baca Juga: Pecahnya Kabinet Netanyahu Pasca Gencatan Senjata
Lalu Henda, seorang perempuan bisu yang hidup sebatang kara, ditemukan terkubur di antara pohon-pohon yang dicabut paksa oleh buldoser Israel, kemungkinan besar masih bernapas ketika tanah menutupi tubuhnya.
Para penyandang disabilitas ini tidak hanya menjadi korban, tetapi juga simbol dari kegagalan dunia internasional untuk melindungi mereka yang paling membutuhkan.
Perlindungan terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata, sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa, tampak tak berarti ketika kekerasan membabi buta seperti ini terjadi.
Namun, di tengah bayang-bayang kehilangan, keluarga-keluarga ini terus berjuang untuk mempertahankan harapan dan martabat.
Baca Juga: Pertukaran Tahanan Membuka Mata Dunia, Sorotan Tajam Ketidakadilan di Balik Perang Palestina-Israel
“Kami tidak hanya kehilangan orang-orang tercinta, tetapi juga rasa keadilan,” ujar Hazem, saudara Basem, yang kini hanya memiliki kenangan untuk dipegang.
Cerita-cerita ini harus menjadi pengingat bagi dunia, bahwa perang tidak pernah hanya tentang wilayah atau politik, tetapi tentang manusia yang hidupnya direnggut tanpa alasan. Di setiap reruntuhan dan di setiap tubuh yang jatuh, ada seruan yang tak terucap: “Jangan biarkan ini berlanjut.”
Karena pada akhirnya, kisah seperti Basem, Hassan, Abd al-Jabbar, dan Henda bukan hanya tentang tragedi Gaza, tetapi tentang kegagalan kita sebagai manusia untuk mencegahnya.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Israel Jadikan Jenin Bagaikan Gaza