PERLU dipahami oleh setiap muslim dan muslimat, taklim yang selama ini sering dilakukan bukanlah semata proses menambah ilmu agama. Jauh lebih penting dari sekedar menambah ilmu, taklim adalah proses muhasabah apakah selama mengikuti taklim kedewasaan ruhiyah dalam ibadah bertambah. Atau sebaliknya semakin banyak taklim tapi justru makin jauh dari Allah dan kehidupan sosial. Jika ini yang terjadi, ada yang salah dalam memahami arti taklim itu sendiri.
Taklim bukan sekadar duduk mendengar, ia adalah momen menajamkan hati yang tumpul oleh dunia. Di sanalah kita bercermin, melihat betapa rapuhnya iman kita yang sering kita abaikan. Taklim membangunkan jiwa yang lama tertidur oleh rutinitas yang kering dari makna. Ia menggugah kesadaran bahwa kita butuh Allah lebih dari segalanya.
Dalam taklim, kita kembali merasakan hangatnya nasihat yang menembus kalbu. Kalimat-kalimat sederhana tapi tajam menggetarkan jiwa yang mulai membatu. Setiap ayat yang dikaji terasa seperti pesan pribadi dari langit. Dan hati pun lirih berbisik, “Aku ingin berubah, aku ingin kembali.”
Taklim adalah muhasabah yang paling indah. Ia tidak menghakimi, tapi menyadarkan. Ia tidak mencaci, tapi memeluk jiwa yang luka dan lelah. Dalam taklim, kita menangis bukan karena dunia, tapi karena sadar betapa jauhnya kita dari Rabb kita.
Baca Juga: Dua Cara Allah Menambah Nikmat bagi Hamba yang Bersyukur: Kualitas dan Kuantitas
Berapa banyak hati yang kembali hidup karena taklim? Berapa banyak air mata tobat yang menetes diam-diam di sudut ruangan itu? Taklim menjadi tempat jiwa-jiwa tersesat menemukan arah kembali. Taklim adalah cahaya kecil yang menuntun kita dalam gelapnya kehidupan.
Taklim adalah tempat iman disiram setelah lama kering di padang dunia. Ia menumbuhkan harapan di tengah kerapuhan. Taklim mengingatkan bahwa iman itu harus dijaga, dirawat, ditumbuhkan dengan ilmu dan amal. Karena iman tidak bisa bertahan jika dibiarkan layu tanpa siraman.
Taklim membuat kita sadar, bahwa kita tidak bisa hidup hanya dengan logika dan kerja keras. Kita butuh nasihat, kita butuh kalam Allah dan Rasul-Nya sebagai panduan. Taklim menjadi penguat langkah di tengah godaan zaman yang menggila. Ia menguatkan kaki yang hampir tergelincir oleh dosa.
Taklim mempertemukan kita dengan orang-orang yang juga ingin berubah. Dalam lingkaran taklim, kita tidak merasa sendiri dalam perjuangan iman. Kita belajar dari kisah mereka, semangat mereka, dan doa-doa mereka. Di sanalah ukhuwah tumbuh, bukan karena harta, tapi karena cinta kepada Allah.
Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan
Taklim mengajarkan bahwa iman bukan barang sekali pakai. Ia bisa naik, bisa turun, dan bisa hilang jika kita lalai. Maka hadirlah dalam taklim, bukan hanya untuk tahu, tapi untuk hidup kembali. Karena taklim bukan rutinitas, tapi penyambung nyawa bagi ruh yang nyaris mati.
Taklim itu seperti hujan yang membasahi tanah kering. Ia menyegarkan jiwa, melembutkan hati, dan menguatkan tekad untuk taat. Jangan remehkan satu kali hadir, karena bisa jadi itulah awal dari hidayah besar. Jangan tinggalkan taklim, karena bisa jadi di sanalah Allah sedang menunggu kita kembali.
Sering Taklim Tapi Masih Kedepankan Ego
Tidak sedikit juga orang yang rajin menghadiri taklim, namun hatinya belum benar-benar lapang. Ia dengar ilmu, tapi belum mampu menundukkan keakuannya. Ia tahu kebenaran, tapi masih sering ingin menang sendiri dalam perdebatan. Ilmu masuk ke akal, tapi belum sampai menyentuh kedalaman hati.
Sering taklim bukan jaminan hilangnya sifat egois. Bahkan terkadang, semakin banyak ilmu yang dimiliki, semakin tinggi pula rasa ingin diakui. Ia bicara tentang tawadhu, tapi lisannya masih kasar dan mudah menyakiti. Ia dakwahkan sabar, tapi sedikit saja disentil, hatinya meledak.
Baca Juga: Dakwah Tapi Sombong, Sebuah Ironi Di Akhir Zaman
Ego yang masih kuat setelah banyak taklim adalah tanda ilmu belum berbuah iman. Ia masih merasa paling benar, dan sulit mengakui kesalahan. Ia menolak nasihat karena merasa sudah tahu segalanya. Padahal taklim seharusnya menjadikan kita lebih rendah hati, bukan merasa tinggi.
Taklim sejati adalah yang memupuskan ego dan membasuhkan hati. Ia menjadikan kita mudah meminta maaf, mudah memaafkan, dan mudah mengalah demi kebaikan. Taklim seharusnya membuat kita semakin takut menyakiti orang lain. Tapi jika masih sering menyakiti, barangkali kita hanya hadir secara fisik, tidak dengan jiwa.
Maka saat sering taklim tapi masih keras hati, itu saatnya kita benar-benar merenung. Jangan-jangan ilmu kita hanya menjadi beban, bukan cahaya. Jangan-jangan kita sibuk mengoreksi orang lain, tapi lupa membedah diri sendiri. Karena yang paling ditakuti adalah tahu banyak, tapi tak berubah apa-apa.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah