KONFLIK Palestina-Israel berakar dari kolonialisme modern yang dimulai pada akhir abad ke-19, saat gerakan Zionis mendorong pemukiman Yahudi massal di Palestina. Tanah Palestina saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah dan mayoritas penduduknya adalah Arab Muslim dan Kristen. Dengan dukungan kekuatan kolonial, khususnya Inggris melalui Deklarasi Balfour 1917, tanah yang dihuni oleh rakyat Palestina dijanjikan kepada komunitas Yahudi, tanpa persetujuan rakyat pribumi.
Deklarasi Balfour adalah surat dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, kepada tokoh Zionis, Lord Rothschild, yang menyatakan dukungan Inggris terhadap pembentukan “tanah nasional bagi orang-orang Yahudi” di Palestina. Ini dilakukan tanpa konsultasi kepada mayoritas penduduk Palestina, dan bertentangan dengan prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination) yang mulai berkembang pasca Perang Dunia I.
Pasca Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa memberi Inggris mandat untuk mengatur Palestina. Selama masa Mandat Inggris (1920-1948), terjadi peningkatan besar imigrasi Yahudi ke Palestina dengan perlindungan Inggris, sementara warga Palestina semakin termarjinalisasi. Ketimpangan ekonomi, politik, dan sosial mulai memunculkan konflik terbuka, yang berpuncak pada pemberontakan rakyat Palestina tahun 1936-1939.
Pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi 181 yang membagi Palestina menjadi dua negara: satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab. Rencana ini memberikan 55% tanah kepada Yahudi, padahal mereka hanya memiliki 6% dan merupakan minoritas dari populasi saat itu. Rakyat Palestina menolak rencana ini karena dianggap tidak adil dan mencederai hak mereka atas tanah.
Baca Juga: Tausiyah Pernikahan, Keluarga Sakinah Cermin Kehidupan Berjamaah
Tahun 1948 adalah tahun Nakba (malapetaka) bagi rakyat Palestina. Saat Israel memproklamasikan kemerdekaannya, lebih dari 750.000 rakyat Palestina diusir dari tanah mereka melalui operasi militer dan pembantaian, seperti di Deir Yassin. Setidaknya 500 desa Palestina dihancurkan. Peristiwa ini diakui oleh banyak sejarawan Yahudi progresif, seperti Ilan Pappé dalam bukunya The Ethnic Cleansing of Palestine.
Pembersihan etnis yang dilakukan Israel pada 1948 bukan hanya tindakan perang, tetapi juga pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional. Pengusiran paksa penduduk sipil, penghancuran desa, dan eksekusi massal bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Namun, kejahatan ini tidak pernah diadili secara adil di forum internasional.
Banyak organisasi internasional, termasuk Human Rights Watch (2021) dan Amnesty International (2022), menyatakan bahwa Israel telah menerapkan sistem apartheid terhadap rakyat Palestina. Israel secara hukum dan praktik memisahkan hak-hak antara Yahudi dan non-Yahudi, memberikan hak istimewa hanya kepada warga Yahudi, dan mendiskriminasi warga Arab Palestina, baik di wilayah pendudukan maupun di Israel sendiri.
Sejak tahun 2002, Israel membangun tembok pemisah di Tepi Barat, yang bukan berada di garis batas 1967, melainkan masuk jauh ke wilayah Palestina. Tembok ini memisahkan warga Palestina dari lahan pertanian mereka, merampas hak mereka atas mobilitas, pendidikan, dan penghidupan. Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 2004 menyatakan bahwa tembok ini ilegal dalam hukum internasional.
Baca Juga: Cara Allah Menjawab Doa Kaum Muslimin untuk Menghancurkan Zionis Israel
Israel terus membangun pemukiman ilegal Yahudi di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2334 (2016), seluruh pemukiman tersebut dinyatakan “tidak sah dan melanggar hukum internasional.” Namun Israel tetap membangun dan memperluasnya, bahkan dengan perlindungan militer, merampas lebih banyak tanah Palestina setiap tahunnya.
Sejak tahun 2007, Jalur Gaza diblokade total oleh Israel, dibantu Mesir di bagian selatan. Blokade ini menyebabkan krisis kemanusiaan besar: akses terhadap air bersih, listrik, obat-obatan, dan bahan makanan sangat terbatas. PBB telah berulang kali memperingatkan bahwa Gaza akan menjadi tempat yang “tidak layak huni” (uninhabitable) jika blokade tidak dicabut.
Setiap tahun, Israel melakukan serangan militer ke Gaza dan wilayah Tepi Barat dengan dalih membela diri. Namun, data menunjukkan bahwa korban jiwa didominasi warga sipil Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak. Serangan 2021 dan 2023 menyebabkan ratusan warga sipil tewas dan ribuan terluka, serta menghancurkan infrastruktur sipil seperti sekolah, rumah sakit, dan rumah ibadah.
Laporan dari PBB, Human Rights Watch, dan organisasi HAM lainnya mencatat ratusan pelanggaran Israel, seperti penahanan administratif tanpa dakwaan, penyiksaan, penembakan terhadap demonstran damai, hingga penggusuran paksa. Semua ini menunjukkan praktik pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik dan berkelanjutan.
Baca Juga: HAM Versi Amerika, Hak untuk Menindas yang Lemah
Israel juga berusaha menghapus jejak budaya dan sejarah Palestina, seperti mengubah nama-nama tempat bersejarah, merusak situs budaya, serta menyebarkan narasi sejarah yang menafikan eksistensi Palestina. Ini merupakan bentuk genosida kultural yang bertujuan menghilangkan identitas kolektif bangsa Palestina.
Meski banyak resolusi PBB yang mengecam Israel, seperti Resolusi 242 (1967), 338 (1973), dan 2334 (2016), tak satu pun yang berhasil menekan Israel untuk patuh. Dukungan politik, ekonomi, dan militer dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat menjadi tameng yang memungkinkan Israel untuk terus melanggar hukum tanpa konsekuensi berarti.
Dosa historis Israel terhadap Palestina adalah kenyataan yang terus terjadi hingga kini. Untuk menciptakan perdamaian yang adil, dunia internasional harus menuntut akuntabilitas atas kejahatan kemanusiaan, mengakhiri pendudukan, mengembalikan hak-hak rakyat Palestina, dan menghormati hukum internasional. Palestina bukan sekadar isu politik, tapi juga isu keadilan moral dan kemanusiaan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)