Tanda Bahagia Dunia

Oleh Bahron Ansori, wartawan Kantor Berita MINA

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu adalah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam. Secara khusus, ia pernah didoakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam agar menjadi seseorang yang faqih dalam agama.

Pada usia 9 tahun, Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan menjadi imam di masjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada beberapa indikator kebahagiaan dunia, yaitu;

Pertama, qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur. Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur.

Kedua, al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh. Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana keluarga yang sholeh pula.

Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya.

Baca Juga:  Warga Ponpes Al-Fatah Cileungsi Antusias Berkurban

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh. Saat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam thawaf, beliau bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecetlecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam bertanya kepada anak muda itu, “Kenapa pundakmu itu?”

Jawab anak muda itu, “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintainya dan tidak pernah melepaskannya kecuali saat buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat.”

Lalu anak muda itu bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam anak yang sudah berbakti kepada orang tua?”

Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan, “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu.”

Dari hadis tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.

Baca Juga:  Duta Al-Quds: Belajar dari Keluarga Nabi Ibrahim untuk Pembebasan Al-Aqsa

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita. Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita.

Dalam sebuah hadisa, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila berbuat salah.

Orang sholeh adalah orang yang bahagia karena nikmat iman dan Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh. Semoga kita mendapatkan kebahagiaan, amiin.

Setiap orang pasti menginginkan kebahagian dalam hidupnya. Dan tak pernah ada di dunia fana ini orang yang ingin hidup dalam kesusahan atau penderitaan. Sebagai seorang muslim, untuk menggapai kebahagiaan itu tentu kita mempunyai jalur dan jalan yang sesuai dengan aturan Islam (Al Qur’an dan Al Hadis). Mencari kebahagian tanpa melalui dua jalur tadi, sama saja kita telah menodai keimanan kita dengan kesalahan yang teramat fatal.

Saudaraku…

Setiap orang pasti ingin bahagia. Tapi terlalu banyak di dunia ini orang yang tidak sabar dalam menggapai kebahagian. Ia lebih memilih jalan pintas. Dan jangan salah, kebanyakan manusia (mungkin juga saya) mengukur kebahagiaan hanya atas dasar materi yang dimiliki atau diraih. Inilah standar bahagia menurut kebanyakan manusia.

Baca Juga:  Ana/Tiwi Juara Ganda Putri Australia Open 2024

Tak bisa dipungkiri memang, kebahagiaan bisa saja dirasakan dengan adanya materi yang menumpuk. Namun, materi bukan jalan terakhir untuk menilai seseorang itu bahagia atau tidak. Begitu juga dengan jabatan yang tinggi. Ia sama sekali tidak menjamin seseorang bisa bahagia atau tidak. Yang pasti, apa pun yang berbau duniawi, tak bisa dijadikan standar untuk mengukur kebahagian seseorang. Mengapa? Sebab semua yang berbau duniawi hanya bersifat se-mentara (fana).

Jadi saudaraku…

Carilah kebahagiaan dalam jiwamu. Sebab ketika jiwa kita terpenuhi kebutuhannya, maka kebahagiaan akan kita rasakan. Meski secara materi kita bukan tergolong orang yang cukup. Dengan kata lain, kebahagiaan yang sebenar-nya adalah kebahagian iman / spiritual / hati.

Ketika iman kita selalu disuplai segala kebutu-hannya, maka yakinlah dunia materi sama sekali tak bisa menukar kebahagiaan iman seorang muslim. Dari kebahagiaan iman inilah akan lahir kebahagian-kebahagiaan lain. Tetap semangat meraih kebahagian dunia tapi jangan lupa raih juga kebahagiaan abadi di akhirat.[]

 

Mi’raj News Agenc (MINA)

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Widi Kusnadi