Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA (Mi’raj News Agency)
Jutaan duta-duta Allah tiap bulan hajji Dzulhijjah menunaikan rukun Islam ke lima yakni ibadah haji ke Baitullah. Para hujjaj melaksanakan segala ketentuan pelaksanaan haji berdasarkan manasik yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Lalu merekapun berharap dan kita pun mendoakan semoga mereka menjadi haji yang mabrur.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Al-hajjul mabrur, dalam Fathul Bari disebut sebagai haji yang ikhlas lillah, karena Allah, tidak ada riya.
Allah menyebutkan di dalam ayat-Nya:
وَأَتِمُّواْ ٱلۡحَجَّ وَٱلۡعُمۡرَةَ لِلَّهِۚ…..
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…..”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 196).
Balasannya pun bagi haji mabrur tiada lain adalah surga. Seperti disebutkan di dalam hadits:
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Artinya: “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Adapun tanda-tanda haji mabrur, terlihat sesudah kembali ke tanah air masing-masing, dengan adanya peningkatan aktivitas ibadah dan amal shalih. Bukan pada gelar “H” (Haji) yang dipajang di depan namanya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain menyebutkan tandanya, di dalam sabdanya:
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ
Artinya: “Tanda (haji mabrur) yaitu suka memberi makanan (sedekah) dan berbicara yang sejuk di hati”. (HR Ahmad, Thabrani, dan Khuzaimah).
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Di dalam Surat Al-Baqarah disebutkan tentang akhlak jamaah haji yang mabrur yakni tidak boleh berkata kotor, tidak boleh berbuat fasik dan tidak boleh berbantah-bantahan.
Gemar memberi sedekah adalah tanda haji mabrur. Sedekah dalam arti memberikan harta atau materi kepada yang memerlukan atau jariyah untuk pendidikan, sosial, dan sebagainya. Juga sedekah dalam arti seluas-luasnya, memberikan ilmu, manfaat, tenaga, senyum dan doa.
Allah menyebut akhlak haji di dalam ayat:
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٌ۬ مَّعۡلُومَـٰتٌ۬ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٍ۬ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۚ وَٱتَّقُونِ يَـٰٓأُوْلِى ٱلۡأَلۡبَـٰبِ
Artinya: “[Musim] haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal’. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 197).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Maka sesungguhnya yang lebih berat bukan pada pergi hajinya, tetapi justru pada memelihara kemabruran haji sesudahnya, baik dalam konteks fardiyah (individual), dan terlebih dalam ijtima’iyah (sosial kemasyarakatan) atau sering disebut dengan kesalihan sosial.
Semoga para hujjaj akan semakin memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kualitas diri, keluarga, tatanan masyarakat sekitarnya, dan bangsa, serta senantiasa berperan aktif perjuangan di jalan yang diridhai Allah (jihad fi sabilillah). Aamiin. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat