Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tangan Berdarah Zionis, Pembantai Anak-Anak Gaza

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 21 detik yang lalu

21 detik yang lalu

0 Views

Anak-anak Gaza menderita akibat kebiadaban zionis israel (foto: ig)

SEJAK serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel, militer Israel melancarkan operasi militer besar-besaran di Jalur Gaza. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan bahwa hingga April 2024, lebih dari 13.800 anak Palestina telah tewas akibat serangan tersebut, dengan lebih dari 12.000 lainnya mengalami luka-luka. ​

Organisasi Save the Children melaporkan bahwa dalam enam bulan pertama konflik, sekitar 2% dari populasi anak di Gaza telah terbunuh atau terluka. Selain itu, lebih dari 1.000 anak mengalami amputasi satu atau kedua kaki, seringkali tanpa anestesi yang memadai. ​

Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk dengan hancurnya sistem kesehatan. Sekitar 30 dari 36 rumah sakit telah dibom, meninggalkan hanya 10 yang berfungsi sebagian. Serangan juga menargetkan ambulans dan konvoi bantuan medis, memperparah krisis kesehatan di wilayah tersebut. ​

Selain korban jiwa, ribuan anak di Gaza mengalami trauma psikologis yang mendalam. Sebuah studi yang didukung oleh War Child Alliance menemukan bahwa 96% anak di Gaza merasa kematian mereka sudah dekat, dan hampir setengahnya mengungkapkan keinginan untuk mati karena trauma yang dialami.

Baca Juga: ​Amerika: Pelindung Penjahat Perang, Penjual Keadilan di Palestina

Kondisi kehidupan anak-anak di Gaza semakin diperparah oleh kekurangan makanan dan air bersih. UNICEF melaporkan bahwa ribuan anak menderita malnutrisi akut, dengan beberapa di antaranya meninggal akibat kelaparan dan dehidrasi.

Pendidikan anak-anak di Gaza juga terhenti. Semua 17 universitas di Gaza telah hancur akibat serangan udara Israel, dan banyak sekolah yang rusak atau digunakan sebagai tempat penampungan bagi pengungsi internal.

Komunitas internasional telah mengkritik keras tindakan Israel di Gaza. Chris Sidoti, seorang pengacara hak asasi manusia PBB, menyatakan bahwa jumlah anak yang terbunuh dalam konflik ini adalah yang tertinggi dalam konflik mana pun di abad ini.

Indonesia, sebagai negara mayoritas Muslim, telah menyatakan kesiapannya untuk menampung sementara warga Palestina yang terdampak perang di Gaza, termasuk anak-anak yang terluka dan yatim piatu. Presiden Indonesia menegaskan komitmen negara tersebut untuk berperan lebih besar dalam menyelesaikan konflik dan mendukung solusi dua negara.

Baca Juga: Zionis Penjajah Abadi Tanah Para Nabi

Meskipun ada seruan internasional untuk gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan, Israel terus melanjutkan operasinya di Gaza. Serangan terbaru menargetkan bangunan apartemen, menewaskan puluhan warga sipil, termasuk anak-anak. ​

Situasi di Gaza menunjukkan kebutuhan mendesak akan intervensi internasional untuk melindungi anak-anak dan warga sipil lainnya dari kekerasan yang terus berlanjut. Tanpa tindakan segera, generasi anak-anak Palestina menghadapi masa depan yang suram, ditandai dengan kehilangan, trauma, dan ketidakpastian.

Anak Gaza Bukan Statistik

Di balik reruntuhan bangunan yang hancur, masih terdengar suara tangis anak-anak yang kehilangan keluarga. Seorang bocah lelaki berumur tujuh tahun ditemukan merangkak di bawah puing rumahnya, memanggil ibunya yang sudah syahid. Ia tak menangis karena luka di tubuhnya, tapi karena pelukan terakhir dari sang ibu telah direnggut oleh bom yang tak mengenal belas kasih. Dunia seakan bisu menyaksikan penderitaan anak-anak ini, seolah nyawa mereka tak lebih berharga dari puing beton yang berserakan.

Baca Juga: Membunuh dengan Mesin: Keterlibatan AI dan Platform Digital dalam Genosida Gaza

Anak-anak Gaza bukanlah statistik. Mereka adalah jiwa-jiwa kecil yang seharusnya berlari di taman, menulis mimpi di buku sekolah, dan tertawa bersama teman-temannya. Namun di sana, suara tawa telah digantikan oleh dentuman bom. Mereka bangun bukan dengan semangat pergi ke sekolah, tapi dengan cemas apakah hari itu akan menjadi hari terakhir hidup mereka. Tidak ada anak yang seharusnya tumbuh di bawah bayang-bayang kematian.

Dalam pelukan ayah yang kehilangan segalanya, anak-anak yang telah syahid dibungkus dengan kain kafan mungil, seakan dunia ini terlalu kejam untuk mereka lalui. Para ibu mencium dahi anaknya untuk terakhir kali, sembari berbisik lirih bahwa mereka akan bertemu kembali di surga. Betapa pilu menyaksikan jenazah kecil disemayamkan satu per satu, sementara dunia hanya menonton dengan diam membeku.

Gaza mengajarkan kita arti dari ketabahan. Di tengah kehancuran, anak-anak yang masih hidup saling memeluk satu sama lain, berbagi sepotong roti yang tersisa, dan tetap berdoa dengan mata penuh harap. Mereka tidak menyimpan dendam, hanya ingin hidup dalam damai. Dunia wajib bertanya pada nuraninya, apakah kita akan terus membiarkan anak-anak ini hidup dalam neraka buatan manusia?

Kita sering mengeluh tentang hal-hal sepele dalam hidup, lupa bahwa di tempat lain, seorang anak hanya ingin tidur tanpa takut dibom. Betapa kita telah mati rasa, ketika darah anak-anak tak mampu lagi menggugah empati. Sudah saatnya suara kita bersatu, bukan untuk menyerang, tapi untuk membela kemanusiaan yang hampir musnah di tanah Gaza.

Baca Juga: Berfikir Kritis atas Kebijakan Tarif Trump

Jangan tunggu semuanya sunyi untuk peduli. Jangan tunggu tangisan terakhir bocah Palestina sebelum kita bersuara. Gaza bukan sekadar wilayah konflik; ia adalah cermin nurani dunia. Dan saat anak-anak Gaza gugur satu demi satu, pertanyaan besar menggantung di langit-langit hati kita: apakah kita masih manusia?[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Baca Juga: Gaya Selangit Isi Dompet Seuprit

Rekomendasi untuk Anda