Oleh Bahron Ansori*
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(Qs. At Taubah : 24).
Bagi setiap Muslim, ada tiga kecintaan, loyalitas dan jiwa pembelaan dan harus tertanam di lubuk hatinya; kepada Allah SWT, Rasulullah SAW dan jihad fie sabilillah. Tiga tangga kecintaan ini mempunyai hubungan yang paralel. Satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu saja tangga cinta itu terputus dan tidak utuh, berarti imannya belum mencapai tingkatan yang sempurna.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Tiga tangga cinta itu harus selalu ditumbuhkan dalam hati seorang Muslim. Ia juga harus bisa diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, sebab dengan begitu, kecintaan, loyalitas dan jiwa pembelaan itu akan dirasakan oleh Muslim yang lainnya. Tangga-tangga cinta itu, empat belas abad yang lalu telah dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari oleh Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya. Tangga-tangga cinta yang harus selalu tertanam dalam pribadi seorang Muslim itu adalah sebagai berikut;
Pertama, Cinta kepada Allah SWT
Cinta kepada Allah SWT adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim. Ia adalah tingkatan tangga cinta yang paling tinggi. Ketiga tangga cinta itu tak bisa terpisahkan. Dalam salah satu hadits diriwayatkan, “Tidaklah kalian termasuk orang yang cinta kepadaku hingga hawa nafsu kalian mengikuti segala apa yang aku bawa”. Riwayat lain lagi menyebutkan, “Ada tiga hal yang barangsiapa memilikinya maka ia akan mendapatkan manisnya iman, hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang hanya karena Allah dan membenci seandainya ia kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana ia membenci akan dilemparkan ke neraka.” (Muttafaq ‘Alaih).
Hadis tersebut mengisyaratkan adanya konsekuensi bahwa siapa saja yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya berarti harus rela mengesampingkan cintanya kepada yang lain.
Dengan demikian, kecintaan dan loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya juga harus dinomorsatukan dari kecintaan kepada yang lain. Akan tetapi bukan berarti jika seseorang sudah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tidak perlu lagi menjalin loyalitas kepada yang lain. Justru dengan loyalitas seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut ia akan dihiasi dengan kecintaan kepada yang lain. Seperti kecintaan kepada saudara, orang tua, anak, suami, istri, harta benda, tempat tinggal dan lain-lain. Jadi, kecintaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya akan selalu berada dalam naungan ridho, rahmat dan inayah-Nya. Ia akan diberkahi, dibimbing dan diarahkan serta dijauhkan dari tindak penyelewengan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Ada sebuah rahasia bahwa dalam bahasa iman dikenal istilah setiap orang yang semakin menggebu rasa cintanya justru akan semakin diliputi rasa takut dan harap-harap cemas kepada pihak yang dicintai. Sebab hanya satu yang ia idamkan yaitu ridho-Nya. Namun sebaliknya ia akan menghilangkan rasa takut, cemas, derita dan bahaya sekalipun yang terkadang tiba-tiba muncul di depan matanya, sampai-sampai ia harus mengorbankan nyawanya jika yang ia cintai itu bukan pada tempatnya.
Contoh yang paling nyata adalah ketakutan para malaikat kepada Allah. Kecintaan mereka justru membuat semakin mentaati semua perintah Allah, “la ya’shunallah ma amarahum wayaf’aluna ma yu’marun,” mereka tidak pernah maksiat kepada Allah dan mereka selalu mentaati semua perintah-Nya dengan seketika. Sebab mereka tahu dengan pasti apa yang disukai Allah dan apa yang tidak disukai.
Kedua, Cinta kepada Rasulullah SAW
Mencintai Rasul SAW adalah suatu kewajiban yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Sebab dengan mencintai Rasul setiap Muslim bisa meneladani setiap langkahnya dalam menjalankan syariat-syariat Allah SWT. Mencintai Rasul dengan mengikuti apa yang dibawanya terdapat dalam firman-Nya yaitu, “Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imran : 31-32)
Ayat di atas adalah bukti betapa pentingnya mencintai Rasulullah SAW. Mencintainya berarti berharap agar Allah mengasihi dan mengampuni segala dosa-dosa kita. Dan jika orang-orang yang beriman itu berpaling (tidak mau mencintai Rasul) berarti ia telah menjadi orang-orang yang kafir dan Allah murka kepadanya, na’udzubillah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Ketiga, Cinta Sesama Muslim
Dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW menyinggung hal tersebut. Dari Anas r.a, Nabi SAW bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaih). Dari hadis ini bisa ditarik pesan bahwa cinta kepada sesama saudara Muslim dimanapun adanya, apapun warga negaranya, dan siapapun dia, adalah tangga ketiga yang harus dilalui seorang hamba untuk mencapai cinta Allah. Dan ini suatu kepastian yang bisa dilakukan oleh setiap Muslim.
Renungan
Saudaraku, sudah berapa lamakah kita hidup di dunia ini? Selama itu, sudahkah kita memupuk rasa cinta dan loyalitas kita kepada Allah, Rasul dan saudara sesama Muslim? Pernahkah kita berfikir bahwa hidup kita akan berakhir, sehingga tiada hari yang kita lalui kecuali dengan semakin meningkatkan amal ibadah kita kepada-Nya.
Saudaraku, Hasan Al Bashri pernah berpesan kepada kita tentang kehidupan dunia ini. Katanya, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanya tiga hari. Hari kemarin, adalah hari yang sudah berlalu dari hadapan kita. Dan ia telah menjadi masa lalu dalam hidup kita. Hari kemarin adalah hari dimana segala sesuatunya tak akan pernah bisa kita ulang kembali.
Hari esok, adalah hari dimana kita tak pernah mengetahui apakah kita masih memiliki kesempatan didalamnya. Mungkinkah usia kita masih sampai esok hari? Kita tak pernah diberi ilmu untuk mengetahuinya sedikitpun. Dan hari ini, adalah hari dimana kesempatan untuk bertaubat atas segala dosa yang dilakukan masih terbuka lebar. Hari dimana kita masih bisa melakukan segala aktivitas yang bisa membawa kepada keridhoan-Nya. Karena itu saudaraku, beramallah sebaiak-baiknya pada hari ini, sebab hari ini masih menjadi milik kita.”
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Semoga hari-hari yang kita lalui menjadi penuh barokah dan ridho dari-Nya, sehingga kita bisa menggapai kebahagian tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Berusahalah mewujudkan tangga-tangga cinta dengan serius agar iman tumbuh dalam hati kita. Pupuklah iman itu agar subur sehingga akan timbul rasa takwa (takut). Dan perkuatlah selalu getaran takwa di hati kita, agar muncul semboyan ihsan (egosentris ‘ubudiah) dalam segala hal. Saudaraku, naikilah tangga-tangga cinta itu dengan jiwa yang sabar niscaya akan kita dapati kebahagiaan yang tidak semu yang tidak menyimpan bencana; bahagia dunia dan akhirat. Fastabiqulkhairat. Allahu a’lam.(T/R2/EO2)
*Redaktur MINA
Mi’raj Islamic News Agency / MINA
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat