Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad [47] ayat 24).
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Iman kepada Al-Quran adalah termasuk iman kepada kitab-kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadi bagian dari rukun iman yang enam.
Konsekuensi dari iman kepada Al-Quran di antaranya adalah bisa membacanya dengan baik dan benar, memahaminya dengan seksama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jangan sampai kita sekalian masuk dalam golongan orang-orang yang terkunci hatinya karena tidak melakukan tadabbur (merenung) kepada Al-Quran sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah peringatkan melalui firman-Nya di atas.
Sebab, Allah telah menetapkan bahwa orang-orang yang diberi Al-Kitab, yang kemudian orang-orang itu membacanya dengan sebenar-benarnya, maka merekalah yang dinilai oleh Allah beriman kepada Al-Kitab itu (Zabur, Taurat, Injil dan Al-Quran).
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah berfirman,
ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَـٰهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ يَتۡلُونَهُ ۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦۤ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِهِۦ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡخَـٰسِرُونَ
Artinya: “Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 121).
Karenanya, untuk lebih menyempurnakan iman kepada Al-Quran, kita diwajibkan untuk memahami makna ayat-ayat Al-Quran yang kita baca. Entah itu dengan menguasai bahasa Al-Quran atau Arab, atau dengan membaca kitab-kitab tafsir, atau dengan membaca terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, atau mengikuti kajian ilmu-ilmu tafsir yang ada.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Janganlah sampai kita hanya menjadi orang-orang yang hanya membaca tanpa mengerti apa makna ayat yang kita baca, sehingga dalam praktik sehari-hari, amalan dan perilaku kita bertentangan dengan aturan-aturan yang tersurat di dalam kitab suci pedoman umat manusia itu.
Al-Quran sendiri telah menceritakan kepada kita tentang penyesalan orang-orang yang tidak mau menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk hidupnya dan enggan mengamalkan ajarannya dalam kehidupan mereka di dunia.
وَيَوۡمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيۡهِ يَقُولُ يَـٰلَيۡتَنِى ٱتَّخَذۡتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلاً # يَـٰوَيۡلَتَىٰ لَيۡتَنِى لَمۡ أَتَّخِذۡ فُلَانًا خَلِيلاً # لَّقَدۡ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّڪۡرِ بَعۡدَ إِذۡ جَآءَنِىۗ وَڪَانَ ٱلشَّيۡطَـٰنُ لِلۡإِنسَـٰنِ خَذُولاً۬ # وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَـٰرَبِّ إِنَّ قَوۡمِى ٱتَّخَذُواْ هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ مَهۡجُورً۬ا
Artinya: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku’. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. Berkatalah Rasul, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini suatu yang tidak diacuhkan’.” (Q.S. Al-Furqan [25] ayat 27-30).
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Kewajiban kita terhadap Al-Quran
Pertama, bisa membacanya. Pertama kali kewajiban kita terhadap Al-Quran setelah mengimaninya adalah bisa membacanya dengan baik dan benar.
Kita tidak boleh sembarangan dalam membaca Al-Quran, karena ada kaidah-kaidah baca yang harus kita ikuti. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan,
وۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلاً
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Artinya: “Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan).” (Q.S. Al-Muazzammil [73] ayat 4).
Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah menafsirkan kata “tartil” yaitu membaca dengan menggunakan kaidah tajwid dan mengetahui di mana harus berhenti. (Kitab Abjadul ‘Ulum: 2/572).
Sedangkan Imam Qurthubi mengatakan, “Yang dimaksud dengan tartil adalah membacanya dengan pelan dan jelas disertai memahami maknanya.” (Tafsir al-Qurthubi: 19/37).
Maka dari itu, mempelajari ilmu tajwid tidaklah bisa dianggap suatu hal yang sepele atau remeh, baik secara teori maupun praktik. Bahkan para ulama sepakat bahwa belajar ilmu tajwid secara praktik hukumnya fardhu ‘ain (wajib bagi setiap Muslim). Sedangkan mepelajari tajwid secara teori hukumnya fardhu kifayah (wajib bagi sebagian Muslim saja).
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Dengan tegas Ibnu Jazri mengatakan, “Membaca Al-Quran bertajwid adalah perkara wajib. Siapa pun yang tidak mentajwidkan Al-Quran, maka ia berdosa. Karena begitulah bacaan Al-Quran diturunkan. Dan begitu pula Al-Quran sampai ke kita (dari generasi ke generasi).” (Sunanul Qurra’:110).
Kedua, bisa memahaminya. Bagaimana mungkin kita bisa menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup bila kita tidak mengerti isinya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ إِلَيۡكَ مُبَـٰرَكٌ۬ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S. Shaad [38] ayat 29).
Jika kita benar-benar mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kitab-Nya, niscaya kita akan selalu senang untuk membaca kitab-Nya dan berusaha memahami apa yang Allah bicarakan kepada kita di dalam Al-Quran.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Apabila kami belajar membaca Al-Quran kepada Rasulullah sepuluh ayat, kami tidak akan mempelajari sepuluh ayat berikutnya sampai memahami apa isinya.” (H.R. Al-Hakim).
Abu Hamzah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Saya cepat sekali membaca Al-Quran, mengkhatamkan Al-Quran sekali duduk.”
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Ibnu Abbas menimpali, “Seandainya aku membaca Surah Al-Baqarah dengan tartil (perlahan) dan memahami maknanya, maka lebih aku sukai daripada membaca Al-Quran seperti yang kamu lakukan.” (Riwayat Baihaqi: 5/7).
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berpesan kepada orang yang membaca Al-Quran, “Bacalah Al-Quran dan siapkanlah hatimu untuk memahaminya. Dan janganlah berkeinginan untuk segera sampai pada akhir surat.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah: 2/521).
Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah berkata, “Tidak akan mendapatkan kebaikan yang banyak bagi orang yang membaca Al-Quran tanpa men-tadabburi-nya.” (Mukhtashar Qiyamil Lail: 63).
Pemuka tabiin Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Wahai Anak Adam, bagaimana hatimu bisa lembut (saat membaca Al-Quran), kalau hasratmu adalah segera sampai pada akhir surat yang kamu baca?”
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Ketiga, bisa mengamalkannya. Jika kita telah membaca Al-Quran dan memahami artinya, maka kewajiban selanjutnya adalah mengamalkannya. Kita jadikan Al-Quran sebagai imam dan jalan hidup kita sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Ibnu Mas’ud dan Qatadah menafsirkan kalimat “yatlunahuu haqqa tilaawatih” dalam Surah Al-Baqarah ayat 121, “Menghalalkan apa yang dihalalkannya (Al-Quran) dan mengharamkan apa yang diharamkannya, serta membacanya sebagaimana ia diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak menambah atau menguranginya.” (Tafsir Ath-Thabari: 1/521).
Ikrimah dan Ibnu Abbas menafsirkan, “Mengikutinya dengan sebenar-benarnya.”
Sedangkan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menafsirkannya, “Apabila membaca ayat tentang surga, ia memohon surga kepada Allah. Apabila membaca ayat tentang neraka, ia berlindung kepada Allah dari siksa-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/64).
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Marilah kita terus giatkan membaca Al-Quran, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya, lalu kita pahami isinya dan kita amalkan bersama-sama (berjamaah). Janganlah kita masuk ke dalam golongan yang tidak memperdulikan Al-Quran.
Imam Ibnul Qayyi Al-Jauziyyah berkata, “Bentuk dari tidak memperdulikan Al-Quran itu bermacam-macam. Pertama, tidak mau membaca atau mendengarkannya, atau tidak mengimaninya. Kedua, tidak mau mengamalkannya, tidak mau mengharamkan apa yang diharamkannya dan tidak mau menghalalkan apa yang dihalalkannya, walaupun ia membaca dan mengaku beriman kepadanya. Ketiga, tidak mau berhukum kepadanya dalam masalah agama, baik yang pokok maupun yang cabang. Keempat, tidak mau men-tadabburi atau memahaminya serta enggan mempelajari petunjuk yang ada di dalamnya. Kelima, enggan untuk menjadikannya sebagai obat dan sebab kesembuhan dalam segala macam penyakit hati, atau lebih suka mencari obat dari selainnya dan mengabaikan Al-Quran.” (Al-Fawaid: 1/82).
Marilah membaca Al-Quran dengan tidak hanya sekedar membaca, tapi juga memaknai kandungannya, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
(P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)