Benghazi, MINA- Pasukan Amerika Serikat (AS) telah menangkap seorang militan yang diyakini berperan dalam serangan tahun 2012 di sebuah kompleks diplomatik AS di Benghazi, Libya. Serangan tersebut menewaskan Duta Besar AS Christopher Stevens dan tiga orang Amerika lainnya, seorang pejabat AS mengatakan pada hari Senin (30/10).
Menurut Presiden Donald Trump, tersangka yang ditangkap adalah Mustafa al-Imam dan akan segera menghadapi proses pengadilan di AS, demikian dilaporkan Middle East Eye (MEE) yang dikutip Mi’raj News Agency (MINA).
Serangan terhadap kedutaan pada tahun 2012 tersebut menjadi topik pembicaraan sejumlah rapat kongres, dengan anggota parlemen dari Partai Republik yang kritis, yang kemudian direspon oleh pihak terkait..
Baca Juga: Militer Israel Akui Kekurangan Tentara dan Kewalahan Hadapi Gaza
Awal bulan ini, jaksa AS membuka kasus mereka dengan tersangka Ahmed Abu Khatallah yang dicurigai sebagai pemimpin mereka.
Abu Khatallah telah menunggu persidangan sejak tahun 2014, saat dia ditangkap oleh sebuah tim yang terdiri dari pejabat militer AS dan FBI di Libya dan dibawa dalam perjalanan selama 13 hari ke Amerika Serikat di atas sebuah kapal Angkatan Laut.
Dalam pernyataan terbukanya, jaksa federal John Crabb mengatakan, Abu Khatallah membenci Amerika “dengan sepenuh hati” dan memiliki peran penting dalam mengorganisir serangan 11 September 2012 terhadap misi diplomatik AS di Benghazi.
“Abu Khatallah tidak melakukan pembunuhan sendiri. Dia tidak melakukan eksekusi pengeboman, dan dia tidak menembakkan mortir, tapi Anda akan mendengar dia sama bersalahnya dengan orang-orang yang melakukan eksekusi itu,” katanya
Baca Juga: Netanyahu Akan Tetap Serang Lebanon Meski Ada Gencatan Senjata
Abu Khatallah yang menghadapi tuduhan pembunuhan dan memberikan dukungan material kepada teroris, duduk di meja dengan mengenakan kemeja putih dan telepon seluler sebagai alat untuk menerjemahkan ke bahasa Arab di persidangan.
Pengacara Jeffrey Robinson membantah, bahwa kliennya ada kaitannya dengan rencana penyerangan tersebut.
Libya mengalami situasi kekacauan setelah pemberontakan yang didukung NATO untuk menggulingkan pemimpin lama Muammar Gaddafi enam tahun lalu.
Saat ini situasi Libya terbagi antara aliansi politik dan militer yang lemah dan berbasis di bagian timur dan barat, mengakibatkan kekosongan keamanan di pusat negara. (T/B05/P2)
Baca Juga: Agresi Israel Hantam Pusat Ibu Kota Lebanon
Mi’raj News Agency (MINA)