Tantangan dan Peluang Jurnalis Muslim di Era Media Digital

Oleh Aat Surya Safaat* Direktur Pemberitaan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA

Perkembangan Pers

Pers yang meliputi media cetak, elektronik, dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, serta kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Dalam upaya memfungsikan pers secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, maka diperlukan adanya undang-undang tentang pers.

Undang-undang pertama tentang pers di era Orde Baru (Masa pemerintahan Presiden Soeharto) keluar tahun 1966, yakni Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Undang-undang itu kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967, dan diubah lagi dengan Undang-undang No. 21 Tahun 1982 karena undang-undang sebelumnya sudah dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Tapi pada masa itu tercatat puluhan surat kabar yang dibredel atau dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP)nya karena ‘menyinggung’ kekuasaan (Harahap, 2002: 62). Undang-undang pers pun lalu disempurnakan lagi di masa reformasi dengan keluarnya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 Tentang Pers yang isinya antara lain menegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak diperbolehkan lagi adanya penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Ditegaskan pula bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, di samping dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers harus pula menghormati hak asasi setiap orang, sehingga dituntut adanya pers yang profesional  dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat, yakni dengan adanya jaminan hak jawab dan hak koreksi, baik yang dikemukakan oleh individu maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan oleh Dewan Pers.

Dengan kata lain, insan pers di dituntut untuk memenuhi Kode Etik Jurnalistik serta ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku di Tanah Air agar ekses-ekses dan sensasionalisme yang menyertai kebebasan pers dapat dihindari.

Meski di tengah keterpurukan ekonomi yang diperparah dengan terjadinya tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS) yang menyebabkan terguncangnya perekonomian global, industri pers di Indonesia sendiri secara kuantitatif mengalami perkembangan seiring berkembangannya era kebebasan pers yang ditandai naiknya jumlah dan produksi koran, majalah, dan tabloid, serta munculnya stasiun-stasiun televisi, radio swasta, dan media online.

Perkembangan media massa seakan berlomba dengan naiknya jumlah partai-partai politik baru di era reformasi. Keduanya menjadi ekspresi dan bukti hadirnya kebebasan pers dan demokrasi di Tanah Air.

Dari penjelasan di atas, nampak bahwa perkembangan politik dan regulasi pers pada dasarnya telah memberikan tantangan terhadap perusahaan pers dan informasi untuk maju dan berkembang sesuai kemampuan masing-masing serta sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.

Lembaga-lembaga pers termasuk wartawannya dituntut supaya melakukan terobosan-terobosan baru, termasuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi serta harus pandai membaca tanda-tanda zaman dalam upaya memelihara kelangsungan hidup serta meningkatkan kemampuannya di masa depan, sepanjang tidak melanggar ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku di Tanah Air.

Pers dan Jurnalis

Wartawan itu sendiri adalah pengemban profesi mulia, karena mewarisi tugas kenabian. Dasarnya, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an, yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus para rasul, kecuali untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan.” (Qs. Al-Kahf [18]: 56).

Bunyi surat Al-Kahf itu sesuai dengan fungsi pers yang diakui seluruh dunia, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur dan menjadi alat kontrol sosial (masyarakat). Ketiga fungsi pertama sama dengan menyampaikan kabar gembira, sedangkan ke empat sama dengan memberi peringatan.

Terinspirasi oleh ayat suci itu, setelah lebih dari 40 tahun berprofesi sebagai wartawan, mantan Pemimpin Umum LKBN ANTARA Pardi Hadi terdorong untuk menulis buku berjudul “ Profetik: Mengemban Tugas Kenabian.” Nabi dalam bahasa Inggris adalah prophet. Dengan alasan itu, ‘genre’ jurnalisme yang diusung Pardi Hadi disebut juga “Prophetic Jurnalism”.

Jurnalisme profetik mengacu pada Al-Quran, Hadits dan akhlak mulia Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang bisa disingkat STAF, yakni shidiq, tabligh, amanah, fathonah. Shidiq berarti mengungkapkan sesuatu berdasarkan kebenaran, tabligh berarti menyampaikan kepada orang lain dengan cara mendidik, amanah berarti dapat dipercaya atau akuntabel, dan fathonah berarti penuh dengan kearifan/kebijaksanaan (cerdas).

Misi jurnalisme kenabian adalah mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kejahatan atau dalam Islam ‘amar maruf nahi munkar’. Karena sumber dan acuan utama jurnalisme ini adalah Kitab Suci dan akhlak Rasulullah, dalam praktiknya, wartawan profetik melibatkan spiritualitas, di samping akal dan upaya-upaya lahiriah.

Jurnalisme muslim dalam melaksanakan tugasnya tentu mengemban misi memberi informasi (informing), mendidik (educating), menghibur (entertaining), memberi advokasi (advocating), mencerahkan (enlightening), menginsiprasi (inspiring), dan memberdayakan (empowering).

Kemudian para nabi dan rasul mengajarkan cinta atau ‘welas asih’ (compassion) kepada sesama makhluk. Karena itu, jurnalisme profetik bisa juga disebut sebagai ‘jurnalisme cinta’. Walau menyandang kata ‘cinta’, jurnalisme profetik harus kritis, tegas, dan berupaya keras turut memberantas kejahatan, termasuk perilaku atau tindakan korupsi.

Justru, karena menyandang tugas kenabian, wartawan dan media massa profetik harus lebih berani melakukan ‘investigative reporting’ atau laporan investigasi untuk mengungkap kejahatan yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan.

Terkait dengan pers Islam, pengertiannya tentu bukan hanya lembaga persnya yang bernuansa dan berwarna Islam, tetapi bisa juga wartawan yang beragama Islam bekerja pada media massa umum. Hanya saja mereka bisa mewarnai media dimaksud dengan selalu mengedepankan jurnalisme kenabian.

Perkembangan Teknologi Informasi

Dalam perjalanannya, tugas-tugas kewartawanan tidak dilepaskan dari perkembangan teknologi informasi. Saat ini, teknologi telah begitu cepat mengantarkan ke ranah publik. Hanya dalam hitungan menit, penyerangan terhadap World Trade Center (WTC) New York dan Pentagon yang kemudian dikenal dengan Tragedi 11 September 2001, misalnya, langsung dapat disaksikan di seluruh pelosok dunia.

Semua informasi menjadi mudah dan murah. Informasi tidak lagi menjadi milik orang-orang kota, terpelajar, dan pemilik modal. Informasi telah menjadi milik bersama tanpa batas wilayah, status sosial dan ideologi. Kecanggihan teknologi dan profesionalisme wartawan membuat semua itu bisa terjadi.

Sebagaimana dikemukakan oleh De Fleur dalam Liliweri (1991: 3), perkembangan komunikasi massa dan jurnalistik adalah seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Jurnalistik lahir ketika manusia sudah mampu menulis. Cikal bakal suratkabar muncul ketika manusia sudah mampu menulis secara teratur.

Jurnalistik menjadi kegiatan manusia yang lebih teratur terjadi pada masa pemerintahan Julius Caesar, raja Kerajaan Romawi, sekitar 50 tahun SM. Ketika itu, Julius Caesar memerintahkan penempelan catatan harian (Acta Diurna) dan catatan kegiatan parlemen (Acta Senatus) di tempat umum di kota Roma. Catatan-catatan itu disalin kembali oleh para ‘budak’ kaum elite Roma untuk dibaca majikannya di rumah.

Para ‘budak’ itu bertindak semacam reporter sekarang dan catatan-catatan yang mereka tulis merupakan cikal bakal suratkabar. Tidak heran bila istilah Arca Diurna secara morfologis kemudian berkembang menjadi journale (Perancis), journalism (Inggris), dan jurnalistik (Indonesia).

Ada pula pendapat bahwa rintisan jurnalistik berawal di daratan Cina, yaitu pada zaman pemerintahan Dinasti Han yang berkuasa 300-200 SM. Bahkan, rintisan kantor berita pun berawal pada zaman itu. Atas perintah kaisar, semua gubernur di seluruh penjuru negeri diharuskan mengirim laporan tertulis secara regular ke Beijing mengenai perkembangan di propinsi masing-masing. Lalu ‘tim media’ kaisar menyortir berita-berita penting untuk didistribusikan kembali kepada rakyat Cina.

Diperlukan waktu berabad-abad kemudian bagi jurnalistik untuk menjadi kegiatan yang bermotif ekonomi. Lalu Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak, sehingga memungkinkan suratkabar diproduksi secara missal. Sejarah mencatat bahwa suratkabar missal pertama muncul pada tahun 1609. Suratkabar itu diterbitkan Johann Carolus di Strausbourg, Jerman, dengan nama Relation.

Ketika radio ditemukan, jurnalistik radio berkembang. Siaran radio pertama bisa didengar publik tahun 1909 di San Jose, California, Amerika Serikat (AS). Begitu juga ketika teknologi memungkinkan gambar, jurnalistik televisi berkembang. Meskipun teknologi televisi sudah ada sejak 1920-an, siaran berita TV pertama baru mengudara tahun 1939. Banyak pihak yang berpendapat bahwa kehadiran televisi bukan lagi sekedar ‘melaporkan apa yang terjadi’, tetapi mampu ‘membuat sesuatu terjadi’. Apa yang disebut ‘CNN effect’ telah menggerakkan pasukan Amerika masuk ke dalam perang saudara di Somalia.

Saat internet berkembang, maka cyber journalism juga berkembang. Media-media online atau koran dunia maya menjadi fenomena baru jurnalistik mulai pertengahan 1990-an. Hampir semua media cetak di Indonesia kini telah memiliki edisi onlinenya. Mereka bersaing untuk menjadi yang tercepat dan terbaik dalam menyajikan informasi kepada publik. Pembaca, pendengar, dan pemirsa semakin dimanjakan untuk ‘to the first to know’.

Semua layanan informasi cepat saji itu membuktikan bahwa perkembangan jurnalistik sangat pesat seiring dengan kemajuan teknologi. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini sangat dipengaruhi oleh karya jurnalistik.

Perkembangan teknologi informasi itu telah menciptakan apa yang disebut para ahli sebagai ‘one wire world’, di mana orang hanya memerlukan satu alat saja berupa handphone untuk melakukan apa saja, dari mulai sekedar bicara, mendengar radio, menonton TV, mengirim e-mail, hingga mentransfer uang.

Bagaimana kemudian jurnalistik muslim harus bersikap di era konvergensi media seperti itu? Era konvergensi media itu sendiri adalah masa di mana perusahaan-perusahaan media besar membagi materi beritanya ke media cetak, media elektronik dan media online yang dimilikinya masing-masing, dan dunia jurnalisme mau tidak mau mengalami pergeseran dan menghasilkan beragam istilah, mulai dari cyberjournalism, online journalism, dan convergent journalism.

Ketika radio ditemukan, orang mengatakan media cetak akan mati karena journalisme koran dianggap telah usang. Koran menyajikan berita-berita kemarin, sementara radio mewartakan berita-berita yang sedang terjadi sekarang. Di era jurnalisme radio, ada pepatah yang mengatakan ‘Tak ada yang lebih basi dari koran kemarin’. Tetapi ternyata orang masih membaca koran di samping mendengarkan radio. Begitu juga ketika TV hadir, gempuran dari jaringan televisi yang menyiarkan berita langsung seketika ternyata juga tidak mampu mengubur jurnalisme cetak.

Ketika internet ditemukan dan koran elektronik baru diperkenalkan di Amerika Serikat awal tahun 1990-an, kebanyakan orang mendapatkan informasi dari layar computer ketimbang dari lembaran-lembaran kertas koran. Sebagian orang meramalkan bahwa konsumen media cetak akan beralih ke media online. Ternyata ramalan itu tidak sepenuhnya terbukti.

Bagi media massa Islam dan jurnalis muslim, perkembangan teknologi informasi seperti itu justru merupakan peluang, karena pers Islam pun pada dasarnya juga bergerak pada bisnis penyediaan jasa informasi dengan mengkonstruksi realita sosial dan membingkainya sesuai kebijakan internal dalam nuansa jurnalisme kenabian.

Jika sekarang disebut abad informasi, maka perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang informasi, termasuk pers Islam mestinya bisa terus hidup dan berkembang. Perkembangan media cetak, radio, televisi, dan media online yang menjamur tentunya juga menjadi pangsa pasar baru bagi pers Islam, terlebih Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Menurut catatan Kantor Berita ANTARA, saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 500 perusahaan media cetak yang menerbitkan koran, majalah, dan tabloid. Khusus untuk surat kabar harian terdapat sekitar 300 perusahaan yang mencetak 4,8 juta eksemplar koran.

Jika satu koran dibaca rata-rata lima orang berarti baru 11 persen saja penduduk Indonesia yang memperoleh informasi dari suratkabar. Penerbitan koran baru luar biasa besar, karena Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 telah memerdekakan pers dari intervensi pemerintah, perizinan, sensor, dan ancaman bredel.

Sebanyak 250 dari 300 koran di Indonesia berlangganan foto dari ANTARA. Koran-koran yang terbit di daerah ketergantungannya sangat besar kepada kantor berita itu. Banyak koran daerah yang isi beritanya 80 persen berasal dari ANTARA dan 20 persen sisanya dibuat wartawannya sendiri.

Koran-koran besar nasional, meskipun tingkat pengutipan berita ANTARA jauh lebih sedikit, tetap memerlukan ANTARA untuk menjadi pembuka mata (eye opener), pembanding atau bemper untuk berita-berita yang dianggap sensitif. Kompas Cyber Media (KCM), Media Indonesia Online (MIOL) atau Republika Online seringkali menggunakan berita-berita ANTARA untuk edisi onlinenya.

Selain itu, saat ini terdapat sekitar 1.200 stasiun radio. Menurut PRSSNI, sebanyak 94 persen penduduk Indonesia mendengar radio. Menurut BPS sebanyak 69,4 persen dari 45.653.804 (=31.653.740) rumah tangga Indonesia memiliki paling tidak satu radio. Seiring reformasi, maka radio selain menjadi alat hiburan, juga menjadi alat demokratisasi. Maka stasiun radio selain memutar lagu, juga menyiarkan berita, ulasan, dialog interaktif dan talkshow.

Sementara itu, jurnalisme televisi juga berkembang pesat. Sekarang ini ada sekitar 11 stasiun televisi jaringan anggota Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) ditambah dengan hampir 100 televisi lokal di berbagai daerah. Belum lagi media online yang muncul dan berkembang secara cepat dan pesat.

Dengan pangsa pasar relatif banyak, satu-satunya kunci sukses media massa Islam dan jurnalis muslim adalah kesiapannya berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan, termasuk perkembangan teknologi informasi, bahkan juga politik, ekonomi, dan sosial budaya serta tergantung pada kesiapan internalnya, terkait dengan bidang SDM, pemasaran, operasional dan keuangannya.

Media massa yang siaga dengan berbagai kemungkinan telah terbukti, bukan saja tetap ‘survive’, melainkan juga hidup makmur dan berpengaruh. Di sinilah tantangannya. Di satu sisi perlu adanya revitalisasi internal, di sisi lain media massa Islam dan jurnalis muslim juga perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi informasi agar eksistensinya tetap terpelihara, bahkan makin diperlukan bangsa dan negara di masa mendatang. (P011/P2)

  • Disampaikan pada Wisuda dan Penerimaan Mahasiswa Baru STIA Al-Fatah, Cileungsi, Kab. Bogor,  pada 27/8-2016.
  • Penulis adalah juga salah seorang pendiri Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Rujukan:

Boyd-Barrett, Oliver. 1980. The International News Agency. London: SAGE.

Depari, Edward dan Ma Andrrews, Collin. 1982. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Dominick, Joseph R. 2000. The Dynamics of Mass Communication. New York: Random House.

Gamble, Michael W. Teri Kwal Gamble. 2002. Introduction Mass Communication. Singapore: McGraw-Hill.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realita Politik dalam Media Massa (suatu study Critical Discourse Analysis terhadap berita-berita Politik). Jakarta: Granit.

Harahap, Krisna. 2002. Kebebasan Pers di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: Grafiti Budi Utami.

Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Little John, Steven W. 2000. Theories of Human Communication. California: Wadsworth Publishing Company.

McLuhen, Marshall. 2004. Understanding Media. New York: Routledge Classics.

Scheufele, Dietram A. 1999. Framing as Theory of Media Effect. Makalah. International Communication Assosiation.

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.