DALAM dunia yang semakin terhubung, perhatian global sering kali teralihkan oleh isu-isu yang dianggap lebih menarik atau kontroversial. Salah satu contoh yang mencolok adalah bagaimana tarian erotis wanita Arab mendapatkan sorotan media yang berlebihan, sementara penderitaan rakyat Palestina sering kali terabaikan.
Fenomena tarian erotis di dunia Arab telah menjadi topik hangat dalam berbagai platform media. Diskusi mengenai hal ini sering kali menyoroti aspek budaya, moralitas, dan kebebasan berekspresi. Bukan berarti menapikan berita dunia tentang hebohnya tarian erotis wanita Arab, tetapi, di balik perdebatan tersebut, ada ironi yang mendalam ketika isu-isu semacam ini mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina.
Sejak Oktober 2023, konflik di Gaza telah menyebabkan lebih dari 50.000 kematian, dengan ribuan lainnya mengalami luka-luka, termasuk 4.500 amputasi baru yang membutuhkan prostetik. Fasilitas medis yang terbatas dan infrastruktur yang hancur membuat pemulihan menjadi tantangan besar bagi para korban.
Selain itu, lebih dari 1,9 juta orang telah mengungsi berulang kali akibat serangan yang terus-menerus, dengan lebih dari 70% infrastruktur Gaza—termasuk layanan kesehatan, air, dan sanitasi—telah hancur. Situasi ini menciptakan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah tersebut.
Baca Juga: Ketika Dolar AS Jadi Alat Imperialisme Modern
Dampak ekonomi dari konflik ini juga sangat signifikan. Perekonomian Palestina menyusut sebesar 28% pada tahun 2024, dengan tingkat pengangguran meningkat hingga 51%. Penurunan ini mencerminkan kehancuran aktivitas ekonomi dan hilangnya mata pencaharian bagi jutaan warga Palestina.
Lebih lanjut, tingkat kemiskinan di Palestina diperkirakan mencapai 74% pada tahun 2024, mempengaruhi sekitar 4 juta orang. Angka ini menunjukkan peningkatan dramatis dalam jumlah individu yang hidup di bawah garis kemiskinan akibat konflik yang berkepanjangan.
Di tengah situasi yang suram ini, perhatian media internasional tampaknya lebih tertarik pada kontroversi seputar tarian erotis wanita Arab. Diskusi mengenai ekspresi budaya dan kebebasan individu memang penting, namun ketika isu-isu semacam ini menutupi tragedi kemanusiaan yang lebih mendesak, terjadi ketidakseimbangan dalam pemberitaan dan perhatian publik.
Kesehatan mental warga Palestina juga menjadi perhatian serius. Lebih dari separuh orang dewasa Palestina memenuhi kriteria diagnostik untuk depresi, dengan banyak anak-anak mengalami tekanan mental yang signifikan, terutama di Gaza. Paparan terhadap konflik, kondisi hidup yang buruk, dan pembatasan pergerakan berkontribusi pada tingginya tingkat gangguan mental di kalangan penduduk Palestina.
Baca Juga: Amerika dan Imperialisme Modern, Dunia dalam Cengkeraman Dollar
Krisis kemanusiaan ini juga diperparah oleh penahanan dan perlakuan buruk terhadap warga Palestina. Pada April 2025, Israel membebaskan 10 warga Palestina yang ditahan dari Gaza, yang melaporkan mengalami penyiksaan dan kondisi penahanan yang tidak manusiawi selama mereka ditahan. Laporan-laporan semacam ini menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh rakyat Palestina.
Sementara itu, upaya diplomatik untuk mengakui negara Palestina terus berlanjut. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengumumkan bahwa Prancis mungkin secara resmi mengakui negara Palestina pada konferensi PBB bulan Juni. Langkah ini menyoroti dinamika politik yang kompleks di Timur Tengah dan upaya internasional untuk mencapai solusi damai.
Namun, di tengah upaya diplomatik tersebut, serangan dan kekerasan terus berlanjut. Serangan udara Israel di Gaza, termasuk di tenda media di luar Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, menewaskan setidaknya dua orang, termasuk seorang jurnalis, dan melukai beberapa lainnya. Insiden-insiden semacam ini menyoroti risiko yang dihadapi oleh wartawan dan pekerja media di zona konflik.
Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Perkiraan menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Palestina dapat meningkat hingga 57% pada kuartal pertama 2024, dengan sekitar 507.000 pekerjaan hilang sejak dimulainya konflik. Kehilangan pekerjaan ini berdampak langsung pada pendapatan rumah tangga dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi.
Baca Juga: Fakta Mengejutkan, Israel adalah Negara Ilegal Menurut Hukum Dunia
Selain itu, penurunan populasi di Jalur Gaza menjadi perhatian serius. Laporan menunjukkan penurunan 6% populasi pada akhir 2024 akibat genosida yang terjadi, dengan banyak keluarga kehilangan anggota dan infrastruktur yang hancur. Penurunan ini mencerminkan dampak demografis yang signifikan dari konflik berkepanjangan.
Di sisi lain, protes dan aksi solidaritas internasional terus bermunculan. Will McCallum, co-direktur eksekutif Greenpeace UK, ditangkap setelah menuangkan pewarna merah ke kolam di kedutaan AS di London sebagai simbol pertumpahan darah di Gaza. Aksi-aksi semacam ini menunjukkan kepedulian global terhadap situasi di Palestina, meskipun sering kali tidak mendapatkan liputan media yang sebanding.
Dalam konteks ini, penting bagi media dan masyarakat internasional untuk menyeimb angkan perhatian dan pemberitaan terhadap isu-isu yang benar-benar menyentuh kemanusiaan. Kehebohan atas fenomena tarian erotis wanita Arab, meski memiliki sisi perdebatan budaya dan etika, tidak boleh menjadi pengalih utama dari tragedi besar yang tengah menimpa rakyat Palestina. Ketika kamera media lebih memilih mengekspos kontroversi sensualitas ketimbang penderitaan massal, kita dihadapkan pada krisis moral dalam dunia jurnalisme dan kepedulian global.
Media memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk opini publik dan arah perhatian dunia. Ketika tragedi kemanusiaan sebesar di Gaza tidak mendapatkan porsi liputan yang adil, masyarakat dunia kehilangan kesempatan untuk memahami dan merespons situasi tersebut secara tepat. Ketimpangan ini menciptakan ketidakadilan informasi, di mana suara korban dibungkam oleh hiruk-pikuk sensasi.
Baca Juga: Senjata Amerika dan Darah Muslim Palestina
Peran media seharusnya menjadi cermin realitas yang menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan kemanusiaan, bukan sekadar menjadi sarana hiburan yang menjual kontroversi. Tragedi di Palestina bukan sekadar berita biasa—itu adalah cerita tentang nyawa, martabat, dan masa depan sebuah bangsa yang terkoyak oleh konflik dan ketidakpedulian.
Masyarakat internasional, termasuk warganet dan konsumen informasi, juga memiliki tanggung jawab moral untuk tidak terjebak dalam arus berita yang dangkal. Mengedukasi diri, mencari sumber informasi yang kredibel, dan aktif menyuarakan dukungan terhadap keadilan kemanusiaan merupakan bagian dari solidaritas yang bermakna. Mengangkat isu Palestina bukan hanya soal politik, tapi soal nurani.
Kesadaran ini penting agar empati global tidak mati di tengah arus informasi yang semakin didominasi oleh algoritma dan sensasi. Palestina adalah simbol dari perjuangan kemanusiaan yang belum selesai, dan selama penderitaan mereka belum berakhir, dunia tidak boleh diam, apalagi alpa.
Dengan meningkatkan kesadaran, membangun tekanan publik, dan menyuarakan kebenaran melalui berbagai medium—baik tulisan, seni, aksi sosial, hingga diplomasi—masyarakat global masih bisa menjadi bagian dari solusi. Sebab diam terhadap ketidakadilan, adalah bentuk dukungan paling halus terhadap penindasan.
Baca Juga: Negara Penjajah, Arogansi Israel atas Nama Keamanan
Oleh karena itu, mari kita dorong media dan komunitas internasional untuk tidak hanya fokus pada isu-isu yang menghibur, tetapi juga pada mereka yang menggugah hati dan memanggil nurani. Ketika kita memilih untuk peduli, maka kita telah menjadi bagian dari perubahan. Ketika kita memilih untuk bersuara, maka kita telah memulai langkah menuju keadilan.
Dan semoga, dengan meningkatnya tekanan global dan kepedulian publik, jalan menuju kemerdekaan dan kedamaian bagi Palestina dapat semakin terbuka. Sebab tidak ada kebebasan yang lebih hakiki selain terbebas dari penindasan, dan tidak ada perjuangan yang lebih suci selain membela kemanusiaan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)