DI HADAPAN dunia, sebuah pertunjukan yang menyayat akal sehat dan mengguncang batin orang beriman terjadi di tanah yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang dikenal dengan berbagai pernyataan kontroversial terhadap umat Muslim, justru disambut meriah dengan tarian wanita-wanita yang mengibaskan rambutnya tanpa hijab di tanah Uni Emirat Arab. Bukan sembarang tempat—sambutan itu berlangsung di istana kepresidenan, simbol kehormatan dan martabat sebuah bangsa. Ironis, bukan?
Inilah wajah baru dari peradaban jahiliyah: dibungkus kemewahan, dibungkus modernitas, dan dilumuri oleh semangat tunduk kepada kekuasaan manusia, bukan kepada Allah. Dulu kaum jahiliyah menyembah berhala karena mereka tak tahu kebenaran. Kini, umat yang katanya sudah mengenal Al-Qur’an dan sunnah justru menyembah citra, menggadaikan prinsip demi popularitas, dan mengorbankan syariat demi tepuk tangan tamu asing yang bahkan tak menghormati nilai-nilai Islam itu sendiri.
Apa makna dari tarian kibas rambut yang dipertontonkan para wanita Muslimah kepada seorang laki-laki non-mahram, di muka umum, tanpa hijab, tanpa malu, tanpa takut kepada Allah? Apakah ini bentuk modernisasi? Apakah ini bentuk keterbukaan budaya? Tidak! Ini adalah bentuk nyata dari kebodohan spiritual dan pembangkangan terhadap perintah Allah yang dibungkus dengan kertas kado mewah bernama “sambutan resmi kenegaraan.” Betapa tragis. Betapa menyedihkan.
Allah Ta’ala telah berfirman dengan sangat jelas dalam surat An-Nur ayat 31, “Dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” Ini bukan ayat pilihan, bukan anjuran, tapi perintah langsung dari Rabbul ‘Alamin. Maka siapakah yang lebih durhaka daripada mereka yang menginjak-injak ayat Allah demi menyenangkan tamu dunia?
Baca Juga: Masjid Al-Aqsa, Doa dan Harapan
Apakah mereka lupa bahwa kehormatan wanita dalam Islam adalah kehormatan umat? Bahwa jilbab bukan hanya selembar kain, melainkan identitas, pelindung, dan bentuk ketaatan? Menanggalkan jilbab di hadapan laki-laki asing bukan hanya melukai dirinya sendiri, tetapi juga mencoreng wajah umat. Kini, itu dilakukan bukan di gang sempit, bukan di tempat hiburan malam, tapi di istana yang mewakili kekuasaan Muslim. Inikah peradaban yang hendak kita banggakan?
Jika hari ini para wanita menari di depan pemimpin asing demi menyambut “tamu negara”, besok siapa yang tahu apa lagi yang akan dikorbankan? Ketika aurat menjadi tontonan, ketika tubuh menjadi alat diplomasi, maka itu bukan kemajuan. Itu adalah kemunduran, penghinaan terhadap martabat wanita yang telah dijunjung tinggi oleh Islam sejak 1400 tahun lalu. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam datang untuk mengangkat derajat wanita, bukan menjadikannya alat hiburan para penguasa dunia.
Kita sering mencibir Barat karena menelanjangi wanita di atas panggung, menjadikan tubuh wanita sebagai alat iklan, sebagai pemuas nafsu mata. Tapi kini kita justru menirunya dengan bangga, tanpa rasa malu, bahkan menjadikannya sebagai bagian dari “seni budaya Timur Tengah”. Padahal budaya yang bertentangan dengan wahyu bukanlah warisan mulia, tapi belenggu jahiliyah yang dibungkus emas.
Wahai kaum Muslimin, tidakkah kita melihat bahwa ini adalah peringatan keras dari Allah? Tarian itu bukan sekadar goyangan rambut. Itu adalah simbol pengkhianatan terhadap risalah Islam. Itu adalah bentuk pembangkangan yang terang-terangan kepada perintah menutup aurat dan menjaga kehormatan. Dan lebih parah lagi, itu dilakukan dengan bangga, disiarkan ke seluruh dunia, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Baca Juga: Peringatan Nakba: Simbol Perlawanan dan Hak Kembali Bangsa Palestina
Apa yang kita harapkan dari generasi muda jika mereka melihat wanita Muslimah dijadikan tontonan di negeri sendiri? Bagaimana kita bisa berharap munculnya generasi penjaga Al-Qur’an dan pejuang Islam jika teladan mereka adalah wanita-wanita yang menari tanpa hijab demi menyenangkan musuh Islam? Bagaimana mungkin kita berharap rahmat Allah turun, jika kita sendiri menantang murka-Nya?
Muhasabahlah wahai saudara seiman. Ini bukan semata soal protokoler kenegaraan. Ini adalah soal aqidah, soal identitas, soal marwah umat. Umat yang tidak menjaga izzah-nya, akan diinjak oleh dunia. Umat yang tidak menjaga kehormatan wanitanya, akan hancur dari dalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari). Dan inilah buah dari tidak punya rasa malu: wanita Muslim menari tanpa hijab di depan laki-laki asing, di tanah Islam, disaksikan dunia.
Wahai para pemimpin negeri-negeri Muslim, tidakkah kalian takut kepada hari di mana seluruh amal akan diperhitungkan? Tidakkah kalian khawatir menjadi bagian dari pemimpin yang menyesatkan umat hanya karena ingin dipuji oleh manusia? Tidakkah kalian sadar bahwa lebih baik dimarahi dunia daripada dimurkai Allah?
Kita tidak anti tamu. Kita tidak anti sopan santun. Tapi sopan santun yang mengorbankan syariat bukanlah akhlak Islami. Islam mengajarkan penghormatan tanpa menggadaikan prinsip. Islam mengajarkan keramahan tanpa harus menjual kehormatan wanita. Islam mengajarkan toleransi, tapi bukan pada maksiat. Apa gunanya istana megah jika isinya adalah kemunafikan terhadap ajaran Rasulullah? Apa gunanya ekonomi kuat jika hati rakyatnya lemah terhadap perintah Allah?
Baca Juga: Kunjungan Trump ke Saudi, antara Normalisasi, Investasi dan Pemetaan Kawasan
Wahai kaum Muslimin, ini waktunya kita bangkit. Bukan hanya bangkit dalam ekonomi dan teknologi, tapi juga bangkit dalam iman dan akhlak. Sudah cukup kita menjadi penonton dari kemunduran spiritual umat. Sudah cukup kita bertepuk tangan atas acara-acara yang justru menghina Islam secara halus. Kini waktunya kita kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah. Tunduk pada Allah lebih mulia daripada tunduk pada protokol. Menyenangkan Allah lebih utama daripada menyenangkan pemimpin dunia.
Dan kepada para wanita Muslimah di seluruh dunia, jangan biarkan diri kalian dijadikan alat hiburan. Kalian adalah pilar umat. Kalian bukan untuk dipertontonkan, tapi untuk dihormati. Kalian bukan komoditas budaya, tapi amanah agama. Jangan jual kehormatan kalian demi ucapan “bagus” dari orang-orang yang bahkan tidak menghormati Islam.
Semoga kejadian ini menjadi bahan muhasabah bagi kita semua. Jangan sampai Allah murka, lalu mencabut keberkahan dari negeri-negeri Muslim hanya karena kita rela mengganti kehormatan dengan kebodohan berjubah modern. Ingatlah, jahiliyah bukan sekadar masa lalu—ia akan hidup kembali saat umat Islam melupakan Al-Qur’an dan lebih memilih tepuk tangan dunia daripada ridha Ilahi. Na’udzubillahi min dzalik.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: 77 Tahun Hari Nakbah, Genosida Harus Dihentikan