Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tasikmalaya Cegah Penyakit Sosial LGBT

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 25 Mei 2016 - 07:00 WIB

Rabu, 25 Mei 2016 - 07:00 WIB

595 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Berbagai upaya kongkrit pemerintah dan berbagai pihak untuk mencegah dan menanggulangi penyakit sosial LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) mulai giat dilakukan. Termasuk yang melibatkan Pemerintah Kota Tasikmalaya, didukung alim ulama, dokter, dan tenaga profesi lainnya, serta dibahas dalam Seminar Sehari Rahasia LGBT, Deteksi Dini dan Solusi, Ahad 22 Mei 2016. Seminar diselenggarakan oleh Lembaga Penyelenggara Klinik Bakti Tunas Husada bekerjasama dengan Pemkot Kota Tasikmalaya, Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, dan Badan Eksekutif Mahasiswa STIkes Bakti Tunas Husada.

Ini upaya merangkul tiap komponen masyarakat untuk turut andil dalam mengantisipasi dan mengurangi pertumbuhan perilaku menyimpang LGBT dengan melibatkan peran segenap lapisan masyarakat, dari unsur pemerintah, alim ulama, akademisi, mahasiswa, tenaga medis dan profesi lainnya.

“Kegiatan ini akan terus dikembangkan dan dibina melalui bidik misi yg berkelanjutan dalam menghadapi hegemoni dunia internasional dengan program HAM-nya,” kata Panitia Pelaksana, Jeffry Nugraha,MM.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Rupanya, Kota Santri Tasikmalaya memang ingin bersama-sama berembuk memecahkan permasalahan sosial LGBT yang penderitanya kian hari kian bertambah dan cukup mengkhawatirkan pihak pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat di negeri ini.

Masyarakat kota Tasikmalaya menyadari betapa tantangan dunia internasional yang semakin menjurus kepada penghancuran peradaban secara masal.

Dalam pandangan Adriano Rusfi, psikolog alumni UI yang meneliti fenomena di kampus-kampus mengatakan bahwa gejala sosial LGBT kini menyasar mahasiswa dan institusi akademik dengan maksud untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas kenormalan kaum LGBT. Di samping mereka pun aktif bergerilya secara efektif dengan dukungan atas nama payung HAM dan institusi internasional.

Menurutnya, dampak meluasnya LGBT ini sangat nyata. Maka, dapat diduga kuat bahwa HIV akan kian merajalela.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

“Penyakit yang belum ada obatnya ini, memang sejauh ini banyak ditularkan oleh kalangan homo. Penyakit ini tidak hanya diidap oleh LGBT saja, tetapi juga bisa menyebar mengenai siapa saja melalui banyak jalan. Salah satunya adalah melalui perilaku LGBT,” ujar Adriano.

Ia menambahkan, peningkatan penularan HIV melalui LGBT di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional melaporkan telah terjadi peningkatan jumlah penderita HIV di kelompok homoseksual dari 6% tahun 2008 menjadi 8% tahun 2010 dan terus menjadi 12% di tahun 2014.

Berdasarkan hal itu, maka dapat dipastikan bahwa ketika jumlah komunitas LGBT meningkat, maka risiko penularan HIV/AIDS pun akan terus meningkat secara eksponensial.

“Fenomena meningkatnya LGBT, khususnya di Indonesia secara otomatis akan meningkatkan kasus kriminal,” paparnya.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Contoh kongkritnya adalah di Jakarta, bahwa kasus kriminal di Jakarta lebih dari separuhnya adalah kasus pembunuhan yang melibatkan kaum homoseksual yang berakhir dengan mutilasi. Pelaku pada umumnya menusuk korban lebih dari 10 kali tikaman. Kasus ini dilakukan secara spontan, terkait pasangan seks. Sementara pelaku yang heteroseksual biasanya cukup menikam korban sekali dua kali saja, tanpa atau dengan mutilasi.

Menghadapi fenomena ini, pihak dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan serta Forum Rektor sudah angkat bicara menolak keras keberadaan dan penyebarluasan LGBT di kampus-kampus.

Pola Asuh

Dalam pandangan Neni Solihat,M.Psi, fenomena kini cukup mengkhawatirkan terhadap kasus LGBT yang mulai menyasar pada anak-anak sekolah. Ini terbukti dengan adanya anak-anak SMP Indonesia yang sudah berani memproklamirkan LGBT di Makasar. Mereka pun memperingati kelulusannya dan dibagikan di sosial media. Tentu sebuah fenomena yang cukup merisaukan bagi anak-anak usia sekolah yang memang sudah memakai gadget canggih.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Menurutnya, upaya yang perlu dilakukan terhadap anak-anak usia sekolah adalah pola asuh yang benar, dan oleh siapa yang dianggap paling disegani yang bisa memberikan pengaruh. Pengaruh akan lebih ditanamkan pada pendidikan agama.

Ini tentu hanya contoh kecil bagaimana perilaku LGBT di kalangan anak sekolah. Namun fenomena ini bagaikan fenomena gunung es. LGBT lebih banyak muncul karena gaya hidup.

Neni Solihat menyebutkan, secara psikologis biasanya pada awalnya anak itu normal, kemudian jadi homo dipicu oleh faktor traumatik seumur hidup dan menemukan kenyamanan baru sehingga berubah orientasinya.

“Masalah emosional, konsep diri, hasrat, kondisi lingkungan juga berpengaruh pada pola anak, di samping pola asuh,” ujarnya.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Ia menyebutkan temuannya, ada remaja yangmenjadi senang dengan sesama pria sejenis, dengan alasan pacaran sama perempuan ribet dan menyebalkan. Hal ini juga dipicu karena pada suatu waktu kemping tidur bersama dengan teman pria lainnya, merasakan nyaman. Sehingga ini menjadi perubahan orientasi menjadi seorang homo.

Tentu langkah preventif ada dalam keluarga dengan menerapkan pola asuh atau parenting yang benar adalah solusi yang memungkinkan dilakukan. Di sini perlunya peran orang tua yang harus memperbanyak wawasan belajar kekinian dan bukan kekunoan. Paling tidak ada suatu pengertian bahwa pada dasarnya parenting adalah proses wiring menyambungkan sel-sel syaraf anak melalui interaksi orang tua-anak.

Bagaimana perlakuan orang tua terhadap anak akan berpengaruh terhadap pembentukan sel-sel syaraf baru sebagai jawaban dari tindakan interaksi orang tua terhadap anaknya.

“Bila interaksi dan tindakan terhadap anak positif, maka hasil pembentukan sel-sel syaraf baru pun membentuk hasil positif dan benar untuk dijadikan sebagai pondasi anak berperilaku.” Papar Neni.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Ia menyarankan suatu pola parenting menjadi positif dalam suatu pola asuh, yaitu dengan pengasuhan anak secara langsung, jangan mengandalkan orang lain. Dukungan terhadap anak tentang apa minatnya, dengan hangat penuh kasih sayang, menyempatkan minimal 20 detik memeluk anak-anaknya dalam sehari. “Ini akan menghasilkan hormon oksitosin dan hormon pentitilamin yang keduanya adalah hormon cinta dan kasih sayang.

Lainnya dalah perlunya dorongan dengan memberi tahu adanya target dan standar dalam kehidupan keluarga. Ini supaya anak terbiasa dengan prestasi. Sehingga harus disiplin dalam hal bertingkah laku, sopan santun, bertingkah laku dan adanya aturan.

Bagian dari pola asuh adalah mendorong anak-anak untuk memiliki pendapat dan keyakinan sendiri. Namun pola ini juga diimbang dengan sikap bagaimana laki-laki menghargai perempuan misalnya.

Gaya Hidup

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Menurut pandangan dr. Kartidjo,Sp.KJ, perilaku LGBT mulai dianggap normal jika dilihat dari adanya peningkatan secara statistik. Walaupun belum tentu benar, karena belum melibatkan tinjauan aspek biologis, psikologis, biopsikososial, kultural dan spiritual.

Menurutnya, ternyata banyak klien yang datang kepadanya, bukan karena dia merasa tidak nyaman dengan kondisi LGBT, tetapi karena bermasalah dengan lingkungan sosialnya. Apalagi kemudian peilaku LGBT ini menjadi tren yang terus naik di televisi dan media sosial.

Tentu patut dicontoh oleh Pemda lain apa yang disebutkan Kepala Dinas Kota Tasikmalaya bahwa pemerintah harus terus-menerus berusaha meminimalisir berkembangnya LGBT dengan melibatkan pengobatan medis, tradisional, dan spiritualitas serta semua elemen masyarakat  karena merupakan tanggung jawab lintas sektoral. Juga upaya proaktif dalam bentuk rembug bareng dengan setiap elemen masyarakat dan bisa membentuk pusat layanan rehabilitasi sebagai bentuk kepedulian, yang didalamnya melibatkan peran ulama, dokter medis dan nonmedis sebagai suatu kesepakatan bersama lintas sektoral.

Self Therapy

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam mencegah pola dan perilaku LGBT, seperti kalau ada aspek organ dan biologi disembuhkannya dengan obat, jika ada aspek psikologi disembuhkannya dengan mengubah perilakunya dan kalau ada  aspek cara berfikir  yang keliru, disembuhkannya dengan mengubah kognitifnya.

Ada juga jika aspek lingkungan yang berpengaruh maka pola penyembuhannya dengan modifiksi perilaku sosial lingkungannya. Dan kalau ada pemahaman yang keliru di spritualitasnya, maka disembuhkannya dengan dikemblikan ke agamanya.

Slef thrapy menjadi solusi lainnya yang bisa dilakukan jika terindikasi LGBT, yaitu menyadari bahwa gejala kejiwaan ini adalah penyakit, harus keluar dari lingkungan pergaulan berpenyakit, harus menyadari tentang ajaran agama, bahwa Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan. Yang paling pokok adalah  harus membenahi kesalahan dan bertaubat dari kekhilafan, berdoa bersungguh-sungguh kepada Allah.

Semoga fenomena LGBT terus diwaspadai dan disertai upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan sejak dini, terus-menerus dan tanpa putus asa. Hingga negeri ini dapat terhindar dari azab Allah. (P4/P001)

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Internasional
MINA Millenia
Indonesia
Kolom
Kolom
Khadijah