Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tatanan Baru Palestina dan Ujian Bagi Solidaritas Dunia Islam

Redaksi Editor : Arif R - 46 detik yang lalu

46 detik yang lalu

0 Views

Kondisi anak-anak Gaza (UN News)

Oleh Muhammad Ridwan, Direktur Al-Jama’ah TV

SETELAH gencatan senjata diumumkan di Gaza, banyak yang berharap ini menjadi awal perdamaian. Namun di balik jeda itu, muncul tanda-tanda bahwa dunia sedang menyiapkan sebuah “tatanan baru” bagi Palestina — sebuah rancangan politik yang bisa jadi lebih berbahaya daripada perang itu sendiri.

Leila Sansour, seorang intelektual Palestina-Inggris menulis bahwa gencatan senjata kali ini bukan sekadar jeda, tetapi bagian dari proses “penataan ulang kekuasaan”. Dalam bahasa diplomasi, ia disebut “rekonstruksi dan stabilitas”, namun dalam bahasa rakyat, itu berarti pengendalian baru atas masa depan Palestina.

Negara-negara besar dan sebagian pemerintah Arab kini membicarakan Gaza seolah-olah proyek yang perlu “dikelola”, bukan bangsa yang harus dimerdekakan. Gerakan perjuangan Islam, termasuk Hamas, perlahan disingkirkan dari percaturan politik. Sementara itu, Otoritas Palestina ditekan agar patuh pada syarat-syarat baru yang ditentukan dari luar.

Baca Juga: Menuju Indonesia Terang 2030: Listrik untuk Semua, Energi untuk Kedaulatan

Inilah wajah kolonialisme modern: tidak lagi datang dengan tank dan senjata, tapi dengan kata-kata seperti “reformasi”, “stabilitas”, dan “modernisasi”. Padahal, yang sejatinya terjadi adalah penjinakan, agar perjuangan Palestina kehilangan arah, dan semangat perlawanan berganti menjadi ketergantungan.

Namun di tengah skenario besar itu, masih ada suara yang menolak diam. Masih ada gerakan solidaritas yang tidak mau terjebak dalam permainan politik global. Salah satunya adalah Aqsa Working Group (AWG), lembaga yang sejak lama berdiri teguh menyuarakan kemerdekaan Palestina dari sudut pandang iman dan kemanusiaan.

Ketika sebagian dunia mulai lelah mendengar kata “Gaza”, AWG dan jaringan solidaritas serupa tetap mengingatkan bahwa Palestina bukan isu politik semata, melainkan amanah keimanan. Mereka tidak memiliki pasukan, tapi mereka memiliki suara, doa, dan kepedulian yang terus menyala.

Di sinilah makna sejati dari solidaritas: bukan hanya berteriak ketika bom meledak, tapi juga menjaga kesadaran saat dunia berusaha melupakan Palestina.

Baca Juga: Semangat Santri: Dari Pesantren Nusantara Menuju Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina

Sansour menulis, “yang berhak menentukan masa depan Palestina hanyalah rakyat Palestina sendiri.” Kalimat itu seolah menggemakan pesan yang selalu digaungkan oleh para aktivis kemanusiaan, bahwa perjuangan ini tidak boleh dikooptasi oleh kepentingan politik siapa pun.

Rakyat Palestina harus menjadi tuan di negerinya sendiri. Palestina yang merdeka dan berdaulat hanya dapat dibangun di bawah kepemimpinan bangsa Palestina sendiri, bukan oleh kekuatan asing atau faksi-faksi yang dijadikan alat kepentingan luar. Mereka telah menumpahkan darah, kehilangan rumah, dan mempertahankan martabat, merekalah yang paling berhak menentukan masa depan tanah suci itu.

Kini, tugas umat Islam dan para pejuang kemanusiaan adalah memastikan bahwa tatanan baru yang sedang disusun dunia tidak menjadi kuburan bagi cita-cita kemerdekaan Palestina. Kita harus tetap menjadi saksi, tetap bersuara, dan tetap menolak untuk lupa.

Sebab Al-Qur’an telah memperingatkan:

Baca Juga: Ketika Cinta kepada Nabi Dikriminalisasi dan Ketika Kebencian Menjadi Hiburan

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin-pemimpinmu selain orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberikan alasan yang nyata bagi Allah untuk menghukummu?”
(QS. An-Nisa [4]: 144)

Ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan umat Islam tidak boleh diserahkan kepada pihak yang tidak beriman kepada nilai-nilai Allah. Karena ketika urusan umat diserahkan kepada mereka yang tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan Ilahi, maka kehormatan dan kemerdekaan akan menjadi barang dagangan.

Palestina kini menjadi cermin bagi dunia Islam: apakah kita akan membiarkan masa depan Baitul Maqdis diatur oleh tangan-tangan asing yang hanya memikirkan “stabilitas” tanpa keadilan? Ataukah kita akan bangkit dengan kesadaran baru, bahwa membela Palestina berarti membela marwah Islam itu sendiri?

Selama masih ada yang meneteskan air mata untuk Al-Aqsa, selama masih ada yang mengangkat tangan di malam hari memohon kemerdekaan bagi Palestina — maka perjuangan itu tidak akan pernah padam.

Baca Juga: Israel sebagai Buffer State AS yang Semakin Terisolasi

Sselagi umat Islam menolak tunduk pada tatanan yang zalim, sejarah akan mencatat bahwa kebenaran tetap punya saksi, dan Palestina tidak pernah benar-benar sendiri. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Tabiat Abadi Zionis Israel, Selalu Melanggar Perjanjian

Rekomendasi untuk Anda