Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tawakal Itu Bukan Diam

Bahron Ansori - Sabtu, 26 Maret 2016 - 14:35 WIB

Sabtu, 26 Maret 2016 - 14:35 WIB

606 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Bisa jadi cara kita mempersepsi istilah tawakal masih jauh dari benar. Sebagian orang mengartikan tawakal itu diam, pasrah dan sama sekali tak berbuat apa-apa kecuali menyandarkan segalanya kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Inilah makna keliru yang pada akhirnya membuat sebagian orang merasa apatis menjalani kehidupan.

Secara bahasa, tawakal berasal dari bahasa arab at tawakul yang di bentuk dari kata wakala, artinya menyerahkan, mempercayai, atau mewakilkan, bersandar kepada dinding. Sedang secara istilah, tawakal adalah rasa pasrah hamba kepada Allah SWT disertai dengan segala daya dan upaya mematuhi, setia dan menunaikan segala pertintah-Nya.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menghadapi masalah yang seolah tak kunjung berakhir; selesai satu masalah, muncul masalah lain yang sudah menanti. Seorang Muslim, harus menyadari bahwa setiap masalah yang dihadapinya adalah jalan dari Allah untuk mengangkat derajatnya dan menguji sejauh mana kualitas imannya. Jika dalam menghadapi satu masalah saja ia sudah putus asa, bagaimana mungkin ia akan mampu menghadapi ujian lainnya yang kelak akan terus berdatangan.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Sebab ujian adalah fitrah bagi manusia, maka ia harus dihadapi dengan mempersiapkan ilmu dan iman. Rasa tawakal, jika hanya dipahami sebagai upaya pasrah secara totalitas, maka itu tidak akan membuat Allah menurunkan pertolongan-Nya. Tawakal itu perlu diluruskan dulu maknanya sehingga Allah akan ridha kepada hamba-Nya yang diberi ujian. Yang benar, tawakal itu usaha maksimal hingga benar-benar seseorang melihat kemahabesaran Allah dalam menolongnya.

Belajar dari Burung

Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, Nasaai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Imam Tirmidzi berkata : hasan shahih)

Hadis di atas menjadi tolak ukur tentang makna tawakal bagi setiap Muslim. Tawakal bukan pasrah secara totalitas. Tawakal bukan duduk di masjid bersimpuh memanjatkan doa tanpa usaha. Belajarlah dari tawakalnya burung, yang pergi dengan perut kosong lalu pulang petang dalam keadaan kenyang. Hadis diatas mengandung makna jika seseorang sudah berusaha maksimal, maka yakinlah pertolongan Allah itu akan datang.

Sekali lagi lihatlah seekor burung. Siapakah yang memberinya makan dan minum? Pernahkan ia duduk seharian di dalam sangkarnya dan membiarkan anaknya mati kelaparan? Tidak, burung dengan instingnya yang tajam akan terbang meninggalkan sangkarnya untuk mencari makan bagi dirinya juga anaknya. Ia tidak akan pulang sebelum mendapatkan makanan yang bisa dibaginya kepada anaknya. Inilah tawakal yang sempurna, tawakal yang dicontohkan Nabi SAW melalui burung.

Para ulama mendefinisikan tawakal sebagai, “Kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala dalam mendatangkan kemaslahatan dan mencegah dari bahaya pada semua urusan dunia dan akhirat, bersandar dalam semua perkara kepada-Nya serta beriman dengan sungguh-sungguh bahwa tidak ada yang dapat memberi dan mencegah, mendatangkan manfaat dan bahaya selain-Nya.”

Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital

Diantara nama baik Allah adalah “Al-Wakiil”. Ibnul Atsir mengatakan, makna nama Allah “Al-Wakil” adalah: Allah satu-satunya yang menjamin dan memberikan rizki bagi hamba-hamba-Nya, Dia menyendiri dalam segala hal yang dijaminnya. Al-Ghazali menyatakan, “Al-Wakiil” adalah Yang disandarkan kepada-Nya segala urusan. Termasuk dalam hal ini adalah urusan rizki seorang Muslim.

Tanpa tawakal, usaha untuk mendapatkan rizki akan mendatangkan banyak malapetaka karena bisa jadi menghalalkan semua cara dan usaha. Penyelewengan manusia dalam orientasi mencari rizki terjadi ketika kekuatan tawakal sangat lemah. Mencari rizki hanya sebagai pandangan dunia semu semata, tidak langsung menembus ke akhirat. Yang dicari hanya materi dan materi tanpa  berfikir keberkahan dan memberi manfaat yang banyak bagi banyak orang. Segala sesuatu hanya diukur dari uang dan uang tanpa berharap pahala akhirat.

Orang yang lemah dan salah dalam memhami makna tawakal ini tidak akan segan mencari penghasilan dengan jalan menghalalkan segala cara seperti korupsi, menipu, mencuri, menjegal termasuk merampok hak-hak orang lain. Baginya, bagaimana meraih keuntungan sebesar-besarnya. Ia lupa bahwa segala kenikmatan dunia ini hanya sementara, dan kenikmatan akhirat itulah yang lebih baik.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal.” (Qs. As-Syura: 36)  

Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!

Orang-orang tawakal sangat yakin rizki di dunia ini milik Allah, Allah yang membagi-baginya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sementara rizki-Nya di akhirat kelak jauh lebih baik dan kekal.

Tawakal adalah ciri orang beriman. Allah SWT berfirman yang artinya, “Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (Qs. Ali ‘Imran: 122). Namun, sikap tawakal tentu bukan berarti pasrah menunggu dan berpangku tangan. Tawakal justru disertai kerja dan usaha. Tawakal bersifat aktif dan tidak pasif. Bekerja sama sekali tidak menafikan nilai tawakal.

Hadis tentang burung di atas terdapat dalil atas hal ini. “Pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang petang dalam keadaan kenyang.” Mubarakfuri berkata, “Hadis ini mengisyaratkan bahwa tawakal bukanlah dengan diam menganggur, tapi berusaha untuk mencari sebab, karena burung itu diberi rizki dengan berusaha dan mencari. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata, “Hadis ini tidak menunjukkan atas meninggalkan usaha, akan tetapi padanya justeru terdapat dalil atas mencari rizki.” (Tuhfah al-Ahwadzi).

Andai kaum Muslimin di dunia ini bisa memahmi makna tawakal dengan sebenarnya, tentu keberkahan akan berlimpah mengitari dan dirasakan oleh seluruh umat Islam di berbagai belahan dunia. Tawakal memang mudah diucapkan, tapi kadang sulit dalam aplikasi jika tidak dipahami dengan benar.

Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI

Tak jarang kita merasa sudah pasrah dengan segala upaya yang kita lakukan, padahal di mata Allah upaya itu belum lagi maksimal. Tak sedikit di antara kita yang merasa sudah puas dengan hasil apa adanya, padahal jika kita mau maksimal dengan mengerahkan semua potensi yang diberikan Allah, maka hasil yang lebih baik dan berkah tentu akan kita peroleh. Tapi, itulah manusia, selalu merasa puas dengan apa yang ada. Walhasil, yang ada tidak pernah meningkat menjadi lebih baik, tapi sebaliknya semakin memburuk.

Sejatinya, setiap Muslim memahami dengan benar bahwa tawakal itu letaknya di awal dan bukan di akhir sebuah usaha. Lihatlah burung itu, sebelum ia terbang meninggalkan sarangnya, terlebih dulu ia mempersiapkan hatinya untuk tawakal. Sebagai bentuk upayanya, maka ia terbang meninggalkan sangkarnya dan tidak akan kembali sebelum membawa makanan yang cukup.(R02/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika

 

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
MINA Preneur
Kolom
Kolom
Kolom
Kolom
Indonesia
MINA Millenia
Kolom
MINA Preneur
MINA Health