SUATU pagi, Amirul Mukminin Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu bertanya kepada Hudzaifah bin Yaman, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” Jawaban Hudzaifah sungguh mengejutkan, “Pagi ini aku mencintai fitnah, membenci kebenaran, shalat tanpa wudhu, dan aku memiliki di bumi apa yang tidak dimiliki Allah di langit.” Mendengar perkataan ini, Umar pun naik pitam. Bagaimana bisa seorang sahabat Rasulullah berkata seperti itu?
Menyaksikan kemarahan Umar, datanglah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Setelah mendengar penjelasan Umar, Ali pun tersenyum dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang dikatakan Hudzaifah adalah benar. Fitnah yang ia maksud adalah istri dan anak-anak, sebagaimana dalam firman Allah:”
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
‘Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (fitnah), dan di sisi Allah pahala yang besar.’ (QS. At-Taghabun: 15).”
Ali melanjutkan bahwa “kebenaran” yang dibenci Hudzaifah adalah kematian—suatu kebenaran yang pasti, namun tidak disukai oleh kebanyakan manusia.
Baca Juga: Keadilan, Pilar Utama Peradaban Manusia
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati,” demikian firman Allah QS Al Ankabut ayat 57.
Shalat tanpa wudhu yang disebutkan Hudzaifah adalah bentuk shalawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam, yang tidak mensyaratkan wudhu. Sementara “memiliki di bumi apa yang tidak dimiliki Allah di langit” maksudnya adalah istri dan anak—dua hal yang menjadi bagian dari kehidupan manusia, namun tidak layak disandarkan pada Allah yang Maha Suci dari sifat-sifat makhluk-Nya.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ
“Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,” QS Al Ikhlas ayat 3
Setelah penjelasan mendalam dari Ali, Umar pun berkata, “Sungguh buruklah negeri yang tidak ada Abu Al-Hasan di dalamnya.”
Baca Juga: Selamatkan Masa Depan Anak, Indonesia Harus Berani Putus Mata Rantai Industri Tembakau
Ucapan ini adalah pengakuan akan keluasan ilmu Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai pintu gerbang ilmu. Ia dibesarkan dalam naungan kenabian sejak kecil, menyerap langsung cahaya hikmah dari Rasulullah.
Beberapa hikmah dapat kita ambil dari kisah di atas . Pertama, sikap Amirul Mukminin, Umar bin Khatab mencerminkan kepeduliannya terhadap kemurnian iman dan kejelasan akidah. Namun, tidak semua ucapan dapat dipahami secara harfiah. Terkadang, kebenaran tersembunyi dalam lapisan makna yang lebih dalam.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat: 6)
Kedua, Mereka yang tumbuh bersama cahaya kebenaran akan menjadi pelita bagi umat. Ilmu bukan sekadar hafalan, tapi pemahaman yang menghidupkan hati dan membimbing akal.
Baca Juga: 10 Tanda Muslim Sejati Adalah: Cek Apakah Anda Memenuhi Semuanya?
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” (QS. Az-Zumar: 9)
Kisah ini adalah pelajaran tentang kedalaman makna, keutamaan ilmu, dan pentingnya menahan diri dalam menilai.
Seorang pemimpin seperti Umar pun terbuka pada kebenaran ketika ia datang dengan penjelasan yang jernih. Inilah bukti bahwa sahabat Nabi adalah teladan, bukan hanya dalam tindakan, tetapi juga dalam menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya.
[]
Baca Juga: Korelasi Mukmin Sejati dengan Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina