Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Teknologi Bisa Mengajar, Tapi tak Mampu Membentuk Karakter

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 6 menit yang lalu

6 menit yang lalu

8 Views

Salsabila Meutuah

Oleh  Salsabila Meutuwah, Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry

KECERDASAN buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari dunia kerja hingga hiburan, teknologi ini telah mengubah cara kita beraktivitas. Namun, pengaruh terbesar mungkin justru terasa dalam dunia pendidikan , di mana AI menjadi “guru baru” yang membantu jutaan siswa memahami pelajaran dengan cara yang lebih cepat dan personal.

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla, dalam Rapimnas PGRI 2025, menegaskan bahwa AI akan membawa perubahan besar bagi sistem pendidikan nasional. Para guru dituntut lebih adaptif, bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing di tengah derasnya arus digital.

Survei nasional bahkan menunjukkan bahwa lebih dari 80% pelajar Indonesia telah menggunakan AI untuk mengerjakan tugas sekolah maupun kuliah. Fakta ini menunjukkan bahwa teknologi bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan sudah menjadi bagian dari proses belajar generasi masa kini.

Baca Juga: Pelajaran Bahasa Inggris Wajib di Sekolah Dasar Mulai Tahun Ajaran 2027

AI: Guru Baru yang Selalu Siap Menjawab

AI kini hadir dalam berbagai bentuk , mulai dari chatbot, asisten virtual, hingga aplikasi belajar interaktif. Platform seperti ChatGPT, Google Gemini, dan beragam aplikasi berbasis AI lainnya mampu menjelaskan materi sesuai kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing siswa.

Bagi guru, kehadiran AI juga menawarkan kemudahan dalam mengelola pembelajaran. Sistem berbasis AI dapat membantu membuat evaluasi otomatis, menganalisis kebutuhan siswa, hingga merekomendasikan metode pengajaran yang paling efektif. Dalam konteks ini, AI berperan bukan sebagai pesaing guru, melainkan mitra digital yang mendukung proses belajar mengajar agar lebih efisien dan menarik.

Kemudahan yang Menggoda, tapi Bisa Menjerumuskan

Baca Juga: Generasi Gawai dan Krisis Bahasa Anak

Namun, di balik semua manfaatnya, AI juga membawa tantangan baru yang tak bisa diabaikan.
Banyak siswa kini mulai terjebak pada pola belajar instan. Mereka lebih memilih mencari jawaban cepat melalui sistem AI tanpa benar-benar berusaha memahami materi. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis dan daya analisis menurun.

Ketika semua jawaban bisa didapat dalam hitungan detik, fungsi otak untuk mengolah informasi pun perlahan melemah. Otak menjadi “malas berpikir”. Padahal, esensi dari belajar bukan sekadar mencari jawaban, tetapi melatih cara berpikir dan memahami proses menemukan solusi.

Selain itu, penggunaan AI secara berlebihan juga membuat interaksi sosial antara guru dan siswa menurun. Padahal, pendidikan sejatinya tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk sikap, karakter, dan empati sosial.

Kecerdasan Buatan Perlu Kearifan Manusia

Baca Juga: Ketika Ayah Jadi Sahabat Bicara Anak di Rumah

AI memang mampu menyediakan data, rumus, dan jawaban. Namun, hanya manusia yang bisa menanamkan nilai, moral, dan kebijaksanaan. Di sinilah peran penting guru dan orang tua: membimbing siswa agar memanfaatkan AI sebagai alat bantu berpikir, bukan alat pengganti berpikir.

Guru dan orang tua perlu hadir sebagai pengarah, memastikan teknologi digunakan secara proporsional. Sementara itu, siswa harus belajar menyeimbangkan antara kemudahan yang ditawarkan teknologi dan usaha untuk memahami materi dengan kemampuan sendiri.

Menjadikan AI sebagai Sahabat Belajar, Bukan Jalan Pintas

Kecerdasan buatan memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan jika digunakan dengan bijak. Ia bisa membantu siswa belajar sesuai kecepatan masing-masing, memberikan penjelasan tanpa lelah, dan membuka akses luas terhadap ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Takut Ketinggalan Zaman: Ketika FOMO Menjadi Gaya Hidup Gen Z

Namun, jika digunakan tanpa kendali, AI bisa menjadi pedang bermata dua, membuat siswa kehilangan rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir kritis.

Maka, kuncinya bukan pada menolak teknologi, melainkan mendidik manusia agar bijak memanfaatkannya. Dengan keseimbangan antara teknologi dan kesadaran berpikir, AI dapat menjadi mitra emas Pendidikan, bukan sekadar mesin pencari jawaban, melainkan jembatan menuju pembelajaran yang lebih bermakna dan berkarakter. []

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Pendidikan Pesantren: 3 Kunci Membangun Generasi Islami Berkualitas dan Berakhlak Mulia

Rekomendasi untuk Anda