Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Menurut riwayat, ayah Imam Hanafi [Tsabit] di kala masih kecil pernah diajak orang tuanya berziarah kepada Ali bin Abi Thalib ra. Waktu itu Ali berkenan menerima tamunya dan sebelum pulang ke rumah, Ali berdoa, “Mudah-mudahan dari antara keturunan Tsabit ada yang menjadi orang yang tergolong baik-baik dan berderajat luhur.”
Imam Hanafi adalah seorang yang kuat jiwanya, selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan beribadah dan berakhlak karimah.
Imam Ibrahim bin Ikrimah pernah berkata tentang Imam Hanafi, “Di masa hidupku, belum pernah aku melihat seorang alim yang amat benci kemewahan hidup dan lebih banyak ibadahnya kepada Allah dan yang lebih pandai tentang urusan agama, selain Imam Abu Hanifah.”
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Abu Hanifah terkenal berani dalam menegakkan kebenaran yang telah diyakini. Berani dalam pengertian yang sebenarnya, berani yang berdasarkan bimbingan wahyu Ilahi. Ia tak cinta terhadap kemewahan hidup, maka tak sedikitpun hatinya khawatir menderita sengsara.
Dia berani menolak kedudukan yang diberikan oleh kepala negara; berani menolak pangkat yang ditawarkan oleh pihak penguasa waktu itu dan tidak sagggup menerima hadiah dari pemerintah berupa apapun. Karena ia ditangkap dan di penjara, dipukul, didera dan dianiaya menyebabkan kematiannya.
Suatu hari Gubernur Iraq Yazid bin Amr menawarkan jabatan qadhi kepada Imam Hanafi, tetapi ia menolaknya. Tentu saja sang gubernur tersingggung dan kurang senang. Perasaan kurang senang itu menumbuhkan rasa curiga. Oleh sebab itu, segala gerak-gerik Imam Hanafi diamati.
Akibatnya, Abu Hanifah diberi ancaman hukum cambuk atau penjara jika masih juga menolak tawaran itu. Sewaktu mendengar ancaman tersebut, ia menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan menduduki jabatan itu, sekalipun aku sampai dibunuh karenanya.”
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Sejumlah ulama besar negeri Irak mengkhawatirkan nasib Imam Abu Hanifah. Mereka datang berduyun-duyun ke rumahnya untuk menyampaikan harapan supaya dia menerima jabatan itu.
Imam Hanafi tetap teguh pada kebenaran pendirianya. Akibatnya ia ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi negara selama dua Jumat. Gubernur memerintahkan agar Imam Abu Hanifah setiap hari dicambuk sebanyak 10 kali.
Ketika Imam Hanafi keluar penjara, tampak kelihatan di wajahnya bengkak-bengkak bekas cambukan. Hukuman itu disambut dengan penuh kesabaran serta dengan suara bersemangat ia berkata, “Hukuman dunia dengan cemeti masih lebih baik dan lebih ringan bagiku daripada cemeti di akherat nanti.”
Demikian hal ihwal Imam Abu Hanifah tatkala menghadapi ujian berat pada pertama kali. Padahal ia sudah berusia agak lanjut, kurang lebih 50 tahun.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Imam Abu Hanifah di usia itu sempat menyaksikan peralihan kekuasaan negara, dari tangan bani Umayyah ke tangan bani Abbasiyyah sebagai kepala negara pertama adalah Abu Abbas as Saffah. Sesudah itu kepala negara digantikan oleh Abu Ja’far al Manshur, saudara muda dari Khalifah sendiri, wallahua’lam.[]
Sumber: Biografi 60 Ulama Ahlus Sunnah, Syaikh Ahmad Farid
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia