Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Teladan Nabi Ayub Hadapi Ujian Virus yang Gerogoti Tubuhnya

Rudi Hendrik - Jumat, 10 April 2020 - 21:58 WIB

Jumat, 10 April 2020 - 21:58 WIB

16 Views

 

Oleh: Sakuri, Waliyul Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Jabodetabek

 

Warga dunia sekarang sedang berjuang keras melawan wabah virus corona atau COVID-19 yang menggeroti tubuh manusia hingga menghadapi risiko kematian.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Menurut rilis data Universitas Johns Hopkins, Baltimore, Maryland, AS – universitas terkemuka di dunia yang didirikan untuk menjadi pusat penelitian dan dikutip berbagai media – memprediksikan kasus COVID-19 di seluruh dunia akan terus bertambah.

Hingga Kamis, 9 April 2020 pukul 15.00 WIB, tercatat jumlah kasus mencapai 1.485.981 di seluruh dunia. Jumlah kematian mencapai 88.538 jiwa. Italia menjadi negara dengan jumlah kematian terbanyak, yaitu 17.669, jauh melebihi Cina, negara tempat virus pertama kali dideteksi. Sementara itu untuk pasien sembuh dinyatakan sebanyak 330.782. Jumlah pasien sembuh terbanyak berasal dari Cina dan Spanyol.

The Chinese City yang berada di jantung pandemi Wuhan, dibuka kembali pada Rabu, 8 April 2020, setelah 76 hari ditutup. Di tempat lain, dampak ekonomi, politik dan psikologis dari memerangi virus corona baru semakin jelas dan semakin sulit ditanggung.

New York City mengalami lonjakan kematian akibat COVID-19 dengan jumlah korban melewati angka yang terbunuh pada peristiwa 11 September 2001. Tercatat  731 kematian akibat virus corona baru, lompatan satu hari terbesarnya, dengan jumlah korban di seluruh negara bagian hampir 5.500 kasus.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

 

Cara Nabi Ayub Hadapi Cobaan

Al-Quran lebih dari 14 abad yang lalu telah memberikan informasi tentang penyakit yang menggeroti tubuh Nabi AyubAlaihissalam untuk dijadikan ibrah, pelajaran umat sesudahnya dalam menghadapi tersebarnya wabah penyakit.

Allah berfirman dalam QS Al-Anbiya ayat 83-84:

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (83) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ (84

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.”

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an menjelaskan, Ayub adalah contoh hamba yang sabar dan tidak merasa sempit dadanya karena menerima ujian dan merasa bosan dari penyakit yang menimpanya yang tidak ada duanya sepanjang sejarah. Bahkan dia merasa seperti malu untuk memohon kepada Tuhan-nya agar dikeluarkan dari ujian itu. Dia menyerahkan urusan itu sepenuhnya kepada Allah.

Itu merupakan sikap tenang Ayub dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui keadaannya. Dia tidak butuh pada pernyataan yang terang dan jelas dari permintaan hamba-hamba Nya.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Pada momen Ayub menghadap Tuhan-nya dengan keyakinan dan adab yang tinggi itu, datanglah pengabulan doanya, rahmat Allah turun dan ujian pun berakhir.

“Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, ..”

Ibunu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ayub ‘Alaihissalam dan musibah yang menimpanya sebagai cobaan untuk dirinya. Musibah itu menimpa harta benda, anak-anaknya, juga tubuhnya. Demikian itu karena Ayub adalah seorang yang memiliki banyak ternak dan lahan pertanian, ia pun memiliki banyak anak serta tempat-tempat tinggal yang menyenangkan. Maka Allah menguji Ayub dengan menimpakan bencana kepada semua miliknya itu, semuanya lenyap tiada tersisa.

Kemudian cobaan ditimpakan pula kepada jasad atau tubuh Ayub sendiri. Menurut suatu pendapat, penyakit yang menimpanya adalah penyakit lepra yang mengenai sekujur tubuhnya, sehingga tiada suatu bagian pun dari anggota tubuhnya yang selamat dari penyakit ini, kecuali hati dan lisannya yang selalu berzikir mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Cobaan ini membuat orang-orang tidak mau berdekatan dengan Ayub. Maka Ayub mengarantinakan dirinya tinggal terpencil menyendiri di pinggir kota tempat tinggalnya, semacam melakukan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk istilah sekarang.

Tiada seorang manusia pun yang mau datang kepadanya selain dari istrinya yang bertugas merawatnya dan mengurusi keperluannya. Istri Ayub jatuh miskin, lalu ia bekerja menjadi pelayan bagi orang lain yang hasilnya ia gunakan untuk keperluan suaminya.

Jika sekarang disebut social distancing yang merupakan salah satu langkah pencegahan dan pengendalian infeksi virus corona dengan menganjurkan orang sehat untuk membatasi kunjungan ke tempat ramai dan kontak langsung dengan orang lain. Belakangan istilah social distancing diganti dengan physical distancing oleh pemerintah.

 

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Level cobaan

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda sehubungan dengan masalah tingkatan level cobaan ini,

“أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ”

“Orang yang paling keras cobaannya ialah para nabi, kemudian orang-orang saleh, lalu menyusul orang-orang yang utama dan orang-orang yang sebawahnya.”

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Di dalam hadis lain disebutkan:

“يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى قَدْرِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلَابَةٌ زِيدَ فِي بَلَائِهِ”

“Seorang lelaki diuji sesuai dengan kadar agamanya; jika agamanya kuat, maka cobaan yang menimpanya diperkuat pula.”

Nabi Ayub ‘Alaihissalam adalah seorang yang sangat penyabar, sehingga kesabarannya patut diteladani.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Yazid ibnu Maisarah mengatakan bahwa ketika Allah menimpakan cobaan kepada Ayub ‘Alaihissalam dengan melenyapkan keluarganya, harta benda, dan anak-anaknya, sehingga Ayub tidak memiliki sesuatu pun lagi. Ayub berzikir kepada Allah dengan baik. Dalam doanya ia mengatakan, “Aku memuji-Mu, wahai Tuhan semua makhluk. Engkau telah memberiku dengan pemberian yang baik, Engkau telah memberiku harta benda dan anak, sehingga tiada suatu ruang pun dalam kalbuku melainkan disibukkan olehnya. Lalu Engkau mengambil kesemuanya dariku dan Engkau kosongkan hatiku, sehingga tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi antara aku dan Engkau (untuk berzikir mengingat-Mu). Seandainya musuhku si iblis itu mengetahui apa yang aku perbuat, tentulah dia akan dengki kepadaku.” Mendengar hal tersebut, maka iblis menjadi marah. Setan yang mengganggu Ayub dikenal dengan sebutan Mabsut.

Cobaan umat Islam sekarang ini dengan wabah virus corona. Menurut sebuah laporan, kerugian akibat wabah virus corona di seluruh dunia ditaksir mencapai  US$ 347 miliar atau sekitar Rp 4.962 triliun dengan asumsi kurs Rp14.300 per dolar AS. Hingga kini, COVID-19 telah menjangkit lebih dari 1.485.981 di seluruh dunia. Jumlah kematian mencapai 88.538.

Kembali ke Ibnu Katsir, Yazid ibnu Maisarah melanjutkan kisahnya. Ayub mengatakan dalam doanya, “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah memberiku harta dan anak, dan tidak ada seorang manusia pun yang berdiri di hadapan pintu rumahku mengadu tentang kezaliman yang kulakukan terhadapnya. Dan Engkau Maha Mengetahui tentang itu. Sesungguhnya telah disediakan bagiku sebuah hamparan untukku, tetapi aku meninggalkannya, dan kukatakan kepada diriku sendiri, ‘Hai tubuhku, sesungguhnya kamu diciptakan bukan untuk berbaring di atas hamparan (kasur) itu,’ aku tinggalkan hal tersebut tiada lain hanyalah semata-mata mengharapkan rida-Mu.”

Menurut suatu riwayat, Ayub mengalami cobaan ini dalam masa yang sangat lama. Kemudian para ulama berselisih pendapat mengenai penyebab yang membuat keadaan Ayub sedemikian parahnya.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa Ayub ‘Alaihissalam dicoba selama tujuh tahun lebih beberapa bulan dalam keadaan terbaring di tempat pembuangan sampah kaum Bani Israil. Sehingga hewan-hewan berkeliaran menginjak tubuhnya. Lalu Allah membebaskannya dari cobaan itu dan memberinya pahala yang besar serta memujinya dengan pujian yang baik.

Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa Ayub ‘Alaihissalam tinggal dalam keadaan dicoba selama tiga tahun, tidak lebih dan tidak kurang.

As-Saddi mengatakan bahwa daging tubuh Ayyub berguguran rontok, sehingga tiada yang tersisa dari tubuhnya selain otot-otot dan tulang-tulangnya. Selama itu Ayub dirawat oleh istrinya yang selalu mendatanginya dengan membawa abu. Setelah sakit Ayub cukup lama, istrinya berkata kepadanya, “Hai Ayub, sekiranya kamu berdoa kepada Tuhanmu untuk kesembuhanmu, tentu Dia akan melenyapkan penyakitmu ini.” Ayub menjawab, “Saya telah menjalani masa hidup selama tujuh puluh tahun dalam keadaan sehat. Masa (sakitnya, pen) itu sebentar, maka sudah sepantasnya bagiku bersabar demi karena Allah selama tujuh puluh tahun.” Maka istrinya merasa terkejut dan mengeluh mendapat jawaban tersebut, lalu ia pergi.

Istri Ayub bekerja pada orang-orang dengan memperoleh imbalan upah, kemudian ia datang kepada Ayub seraya membawa hasil dari kerjanya, lalu ia memberi makan Ayub.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

Iblis pun pergi menemui dua orang Palestina sahabat karib Ayub, keduanya bersaudara. Ketika iblis telah sampai pada keduanya, iblis mengatakan, “Saudara kamu berdua yang bernama Ayub sedang mengalami cobaan anu dan anu. Maka datanglah kamu berdua kepadanya seraya membesuknya, dan bawalah besertamu minuman ini. Sesungguhnya minuman ini berasal dari khamr negeri kalian, jika dia mau meminumnya, tentulah ia akan sembuh dari penyakitnya.”

Kedua orang lelaki itu lalu datang menjenguk Ayub. Ketika keduanya melihat keadaan Ayub, maka keduanya menangis, dan Ayub bertanya, “Siapakah Kamu berdua?” Keduanya menjawab, “Saya adalah anu dan Fulan.” Ayub menyambut kedatangan keduanya dan mengatakan, “Marhaban (selamat datang) dengan orang-orang yang tidak menjauhiku saat aku tertimpa cobaan ini.” Keduanya berkata, “Hai Ayub, barangkali kamu menyembunyikan sesuatu, lalu menampakkan yang lainnya. Oleh karena itu, Allah mengujimu dengan cobaan ini.”

Maka Ayub menunjukkan pandangannya ke langit, lalu berkata, “Dia mengetahui saya tidak menyembunyikan sesuatu di balik apa yang saya lahirkan, tetapi Tuhanku sengaja sedang mengujiku untuk Dia lihat apakah saya bersabar ataukah mengeluh (tidak sabar).” Lalu keduanya berkata, “Hai Ayub, minumlah khamr yang kami bawa ini, karena sesungguhnya jika kamu meminum sebagian darinya, tentulah kamu akan sembuh.”

Ayub marah dan berkata, “Rupanya si busuk (iblis) itu telah datang kepada kalian berdua dan menganjurkan agar menyampaikan ini. Kalian haram berbicara denganku, begitu pula makanan dan minuman kalian haram bagiku.” Lalu keduanya pergi meninggalkan Ayub.

 

Berkurban dengan seekor lalat?

Kemudian iblis datang lagi kepada istri Ayub dalam rupa seorang tabib. Iblis berkata kepadanya, “Sesungguhnya suamimu menderita sakit yang cukup lama. Jika ia menginginkan sembuh dari sakitnya, hendaklah ia menangkap seekor lalat, lalu menyembelihnya dengan menyebut nama berhala Bani Fulan. Sesungguhnya ia akan sembuh dari penyakitnya, kemudian dapat melakukan tobat sesudahnya.”

Istri Ayub mengatakan apa yang dipesankan oleh iblis itu kepada suaminya. Maka Ayub menjawab.”Sesungguhnya engkau telah kedatangan makhluk jahat itu lagi. Demi Allah, seandainya aku telah sembuh dari sakitku ini, aku akan menderamu sebanyak seratus kali pukulan.”

Istri Ayub pergi untuk mencari nafkah buat suaminya, tetapi rezeki terhalang darinya, tidak sekali-kali ia mendatangi rumah suatu keluarga untuk menawarkan jasa pelayanannya, melainkan mereka menolaknya. Setelah bersusah payah mencari rezeki, tetapi tidak berhasil juga, ia merasa khawatir suaminya Ayub akan kelaparan, maka ia terpaksa mencukur salah satu kepangan rambutnya, lalu menjualnya kepada seorang anak perempuan dari keluarga orang yang terhormat lagi kaya. Maka mereka memberikan imbalan kepadanya berupa makanan yang baik-baik lagi berjumlah banyak. Istri Ayub membawa makanan itu kepada suaminya. Ketika Ayub melihat makanan itu, ia merasa curiga, lalu bertanya kepada istrinya, “Dari manakah kamu dapatkan makanan ini?” Ia menjawab, “Saya bekerja kepada orang lain dan mereka memberikan makanan ini sebagai imbalannya,” lalu Ayub mau memakannya.

Pada keesokan harinya istri Ayub keluar lagi untuk mencari pekerjaan, tetapi ia tidak menemukannya, hingga terpaksa memotong lagi kepangan rambutnya yang masih tersisa, lalu menjualnya kepada anak perempuan yang sama. Keluarga anak itu memberinya makanan sebagai pembayarannya, sama dengan makanan yang kemarin. Istri Ayub membawa makanan kepada suaminya, maka Ayub bertanya, “Demi Allah, aku tidak mau memakannya sebelum aku ketahui dari manakah makanan ini didapat.” Maka istri Ayub membuka kerudung yang menutupi kepala­nya. Ketika Ayub melihat rambut istrinya dicukur, ia sangat terpukul dan merasa sedih yang amat sangat. Maka pada saat itu juga Ayub berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: (Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. (Al-Anbiya: 83)

Singkat kisah, sampailah pada suatu saat Nabi Ayub ‘Alaihissalam diangkat penyakitnya dan disehatbugarkan kembali oleh Allah.

Ibnu Abbas mengatakan, bahwa Allah memberinya pakaian dari surga, lalu Ayub menjauh dari tempatnya dan duduk di suatu tempat yang agak jauh dari tempat semula. Ketika istrinya datang, istrinya tidak mengenalinya; lalu si istri bertanya, “Hai hamba Allah, ke manakah perginya orang yang mengalami musibah, tadi ia di sini? Saya khawatir bila ia dibawa pergi oleh anjing-anjing atau oleh serigala-serigala pemangsa.” Kemudian istri Ayub mengajaknya berbicara selama sesaat. Maka Ayub (yang telah berganti rupa itu) menjawab, “Celakalah kamu, saya ini Ayub.” Istrinya berkata, “Apakah engkau memperolok-olokku, hai hamba Allah?” Ayub berkata, “Celakalah kamu, aku adalah Ayub. Allah telah mengembalikan tubuhku seperti sediakala.”

Ibnu Abbas mengatakan pula bahwa Allah mengembalikan semua harta dan anak-anaknya saat itu juga, kemudian diberi lagi anak yang berjumlah sama dengan mereka.

Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa Allah menurunkan wahyu kepada Ayub, “Sesungguhnya Aku telah mengembalikan kepadamu seluruh keluargamu dan harta bendamu, ditambah dengan yang sejumlah dengan mereka. Maka mandilah dengan air ini, karena sesungguhnya pada air ini terkandung kesembuhan bagimu. Lalu berkurbanlah untuk sahabat-sahabatmu dan mintalah ampunan bagi mereka, karena sesungguhnya mereka telah durhaka kepada-Ku karena kamu.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Abu Hatim mengatakan:

حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَة، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَرْزُوقٍ، حَدَّثَنَا همام، عن قتادة، عن النضر ابن أَنَسٍ، عَنْ بَشير بْنِ نَهِيك، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَمَّا عَافَى اللَّهُ أَيُّوبَ، أَمْطَرَ عَلَيْهِ جَرَادًا مِنْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيَجْعَلُهُ فِي ثَوْبِهِ”. قَالَ: “فَقِيلَ لَهُ: يَا أَيُّوبُ، أَمَا تَشْبَعُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ، وَمَنْ يَشْبَعُ مِنْ رَحْمَتِكَ”.

Telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Marzuq, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari An-Nadr ibnu Anas, dari Basyir ibnu Nuhaik, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah bersabda: Setelah Allah memulihkan kesehatan Ayub, maka Allah menghujaninya dengan belalang emas. Lalu Ayub memungutinya dengan tangan dan memasukkannya ke dalam baju. Maka dikatakan kepadanya, “Hai Ayub, tidakkah engkau merasa kenyang?” Ayub menjawab, “Wahai Tuhanku, siapakah yang merasa kenyang dengan rahmat-Mu?” (menurut Ibnu Katsir hadits ini Shahihan).

Hikmah pelajarannya yang bisa dipetik dari kisah keteladanan Nabi AyubAlaihissalam untuk pencegahan tersebarnya COVID-19 dan terapinya adalah hendaknya selalu bersikap tenang dan sabar dalam menerima ujian dibarengi sikap roja’, optimis atas kasih sayang Allah seperti seruan Nabi Ayub ‘Alaihissalam: “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang.”

Nabi Ayub juga menolak tegas tawaran cara-cara terapi dengan sesuatu yang diharamkan Allah seperti anjuran iblis untuk minum khamr dan berkurban meskipun dengan seekor lalat sebagai tumbal untuk kesembuhannya. Ini memberi pelajaran bahwa dalam prosedur penanganan COVID-19 dengan cara-cara mendatangkan rida Allah bukan dengan cara-cara yang membuat murkanya Allah.

Selain itu Nabi Ayub juga sudah mengajarkan kepada kita agar tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain dengan mengikuti prosedur kesehatan yang dikenal dunia kesehatan sekarang seperti lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB), social distancing dan physical distancing.

Wallahu a’lam bish-showab. (A/RS5/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Rekomendasi untuk Anda

Khutbah Jumat
Amerika
Tausiyah
Palestina
Indonesia
Kolom
Kolom
Khadijah