HARI Raya Idul Adha adalah momentum tahunan umat Islam untuk merefleksikan nilai-nilai ketauhidan, pengorbanan, dan kepatuhan kepada Allah. Di balik perayaan kurban, tersimpan kisah agung keluarga Nabi Ibrahim Alaihi Salam, yakni Ibrahim, Ismail, dan Hajar, yang menjadi simbol keteladanan lintas zaman.
Dalam kisah mereka, umat Islam belajar bukan hanya dari seorang nabi, tetapi dari sebuah keluarga spiritual yang setiap anggotanya menunjukkan kualitas iman yang luar biasa. Al-Qur’an mengabadikan keteladanan mereka bukan untuk dikenang saja, tetapi untuk dijadikan ibrah (pelajaran) oleh generasi setelahnya.
Nabi Ibrahim adalah sosok yang dikenal karena keberaniannya menolak politeisme dan mengajak kaumnya kepada tauhid murni. Dalam QS. Al-An’am ayat 79, Ibrahim berkata:
“Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh keikhlasan, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.”
Baca Juga: Ketika Orang-orang Bodoh Syariat Bercanda Tentang Neraka
Ketika diuji dengan perintah untuk menyembelih putranya, Ibrahim menunjukkan ketaatan tanpa syarat. Hal ini diceritakan dalam QS. As-Saffat ayat 102:
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.”
Tafsiran klasik seperti dalam Tafsir al-Tabari menekankan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Maka perintah ini bukan simbolik, melainkan nyata. Ibrahim tidak menunda atau mencari celah untuk menghindari. Ia menjalankan perintah dengan penuh keikhlasan—sebuah pelajaran bahwa iman yang benar adalah iman yang siap diuji.
Yang juga luar biasa adalah respon Nabi Ismail. Dalam usia remaja, ia justru mendukung ayahnya:
Baca Juga: 58 Tahun Hari Naksah Palestina, Perlawanan Tak Pernah Padam
“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102)
Menurut Tafsir al-Qurthubi, kalimat ini menunjukkan tidak hanya kepasrahan Ismail, tapi juga keyakinannya yang matang bahwa perintah Allah adalah kebenaran mutlak. Dalam konteks psikologi remaja, ini merupakan contoh luar biasa tentang pendidikan tauhid dalam keluarga, bagaimana keimanan seorang anak dibentuk sejak dini sehingga ia mampu menghadapi ujian besar.
Di tengah krisis relasi orang tua-anak masa kini, keteladanan Ismail menjadi jawaban: taat bukan karena takut, tapi karena cinta dan yakin akan hikmah Tuhan.
Sosok Hajar
Baca Juga: Siapa Putra Nabi Ibrahim yang Disembelih?
Seringkali dilupakan dalam narasi besar Idul Adha, Hajar sesungguhnya memainkan peran penting dalam sejarah spiritual Islam. Ketika Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di lembah Makkah yang tandus, Hajar bertanya:
“Apakah ini perintah Allah?” Ibrahim menjawab: “Ya.” Maka Hajar berkata: “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.” (HR. Bukhari)
Tindakan Hajar yang berlari antara Shafa dan Marwah tujuh kali mencari air kemudian diabadikan menjadi bagian dari manasik haji: Sa’i. Allah lalu menghadiahkan mata air zamzam sebagai jawaban atas perjuangannya.
Tafsir modern seperti Tafsir al-Mishbah (Quraish Shihab) menekankan bahwa Hajar bukan sekadar figur pendukung, melainkan protagonis spiritual yang menggambarkan kombinasi iman, usaha, dan kepercayaan mutlak kepada Allah.
Baca Juga: Keutamaan Puasa Arafah Dapat Menghapus Dosa Dua Tahun
Ibrahim adalah contoh ideal seorang kepala keluarga yang memimpin dengan visi kenabian. Ia tidak memaksakan perintah Allah tanpa berdialog. Kalimat: “Maka pikirkanlah apa pendapatmu” menunjukkan bahwa ketaatan tidak bertentangan dengan musyawarah, bahkan dalam hal-hal sangat prinsip.
Ketaatan Ismail tidak muncul tiba-tiba. Ia adalah hasil pendidikan tauhid sejak kecil. Dalam QS. Maryam ayat 54-55 disebutkan:
“…Sesungguhnya ia (Ismail) adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya melaksanakan salat dan menunaikan zakat…”
Artinya, sebelum dewasa, Ismail sudah terbiasa dengan nilai-nilai ubudiyah.
Baca Juga: Hikmah Wukuf di Arafah, Semua Sama Yang Membedakan Hanyalah Takwa
Hajar menunjukkan bahwa perempuan bukan sekadar pendamping laki-laki, melainkan pusat spiritualitas keluarga. Sa’i adalah simbol bahwa doa dan usaha seorang ibu bisa mengubah sejarah umat manusia.
Kisah ini tidak berakhir dengan penyembelihan Ismail, karena Allah menggantinya dengan hewan (QS. As-Saffat: 107):
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Ini menunjukkan bahwa Allah tidak ingin darah dan daging, tapi ketaatan dan keikhlasan (QS. Al-Hajj: 37):
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalian yang dapat mencapainya…”
Idul Adha dalam konteks hari ini harus dibaca sebagai kritik terhadap egoisme dan cinta dunia yang berlebihan. Dunia modern menuntut pengorbanan untuk hal-hal duniawi, sementara agama mengajarkan pengorbanan untuk nilai ilahiah.
Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan, melainkan undangan spiritual untuk meneladani Ibrahim yang tegar, Ismail yang taat, dan Hajar yang percaya penuh. Jika umat Islam mampu membangun keluarga sekuat keluarga Ibrahim, maka tidak mustahil masyarakat pun akan berubah menjadi lebih adil, kuat, dan penuh keimanan.
Seperti kata Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Qur’an: “Kisah Ibrahim dan keluarganya bukan dongeng masa lalu, tetapi cetak biru bagi setiap muslim yang ingin hidup dalam ridha Allah.” []
Baca Juga: Kubur Tak Butuh Status, Tapi Amalan Tulus
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Percuma Cerdas Bila Tak Beradab: Rahasia Ilmu yang Tak Pernah Sampai ke Hati