Bandung, MINA – Pelatihan bisnis yang bertajuk “Temu Pengusaha Muslim Jawa Barat” digelar di Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat (Jabar), Senin (30/9), menghadirkan DR. Rusli Abdullah seorang pakar bisnis kuliner Malaysia.
Pelatihan tersebut diikuti 25 peserta, terdiri dari 29 pengusaha muslim dan 6 pengusaha muslimah.
DR. Rusli Abdullah, yang tenar dengan juluk Chef Li, membongkar mind-set peserta dengan mengajak mereka jujur menilai bisnis yang dijalankan masing-masing. Ternyata para peserta masih termasuk di antara 80 persen rerata pengusaha etnis Melayu (di Malaysia dan Indonesia) yang berbisnis tanpa perhitungan yang teliti.
“Anggapan bahwa yang penting usahanya berjalan, produknya enak dan dagangannya laris manis, tidaklah cukup. Bila usaha tidak dengan kalkulasi yang cermat, maka meskipun produk laris sebenarnya usaha semakin rugi,” kata Rusli.
Baca Juga: Ulet Dalam Prespektif Islam
Dia mengungkapkan, hal itu karena setiap unit yang terjual memuat unsur biaya yang tidak dikontrol dan beresiko merugikan sang pengusaha. “Untuk menghindarkan kerugian maka kalkulasi yang cermat harus dilakukan dan dikawal dengan pengendalian biaya,” kata Chef Li.
Dia sangat menegaskan pentingnya profitabilitas, di mana bisnis kuliner baru akan benar-benar menguntungkan bila punya margin laba sekitar 400 persen dari ongkos produksi per produk.
“Memang angka itu seperti angka yang tidak mungkin dicapai oleh rerata pengusaha kuliner. Namun karena ini merupakan hasil dari studi empiris maka setiap pengusaha perlu belajar untuk mencapainya. Untuk itu hal yang wajib dipelajari adalah hal perhitungan biaya,” ungkapnya.
Selain itu, Chef Li juga berbagi konsep 5 S yaitu System, Strategy, Synergy, Society dan Study. Bila 5 S itu dimiliki oleh seorang pengusaha maka jalannya ke arah sukses semakin terbuka lebar.
Baca Juga: Kreativitas
Meski tak sampai sehari acara itu digelar, materinya sudah menjadi “mind-boosting” bagi para peserta.
“Meskipun baru tahu ilmu ini sekarang, saya tetap besyukur…,” ungkapan yang terselip penyesalan ini dari Ma’ruf, pengusaha Gudeg di Bandung usai mengikuti pelatihan tersebut.
Setelah berbisnis gudeg sekitar dua dekade, Ma’ruf baru menyadari beberapa kelemahan usahanya dari tinjauan ilmu yang dibagikan oleh sang instruktur. Bisnisnya tidak berkembang pesat, hanya berlaba sekedarnya di atas modal. Selama ini dia berbisnis mengalir begitu saja dan kurang mengevaluasi prosesnya secara seksama.
Kini dia tersadar bahwa modal yang lebih utama dalam berbisnis apalagi di dunia kulineri bukanlah uang melainkan ilmu. Dia terdorong untuk lebih memperhitungan aspek pembiayaan dan bagaimana mensiasati harga bahan yang semakin tinggi untuk mendapatkan produk yang bermutu namun terjangkau oleh pembelinya.[]
Baca Juga: Nelayan Sambas Miliki Kilang Ubur-Ubur
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kekuatan Misi