Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terinspirasi Ihya Ulumuddin, Hudzaifah Temukan Ketentraman Hati

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - Jumat, 2 Agustus 2024 - 12:52 WIB

Jumat, 2 Agustus 2024 - 12:52 WIB

90 Views

Khudzaifah Menemukan Ketentraman Hati setelah menemukan Islam yang sejati (foto: Widi)

Kajian ilmu dapat mengantarkan sesseorang kepada jalan kebaikan dan ketentraman hati yang semula gundah. Ilmu yang dicari, dipelajari, dan diamalkan dapat meneguhkan jiwa untuk istiqamah di jalan dakwah.

Hal ini juga, setidaknya yang dialami oleh Hudzaifah Sadewa (66).  Pria asli Kulonprogo, Yogyakarta ini tipe orang yang haus akan ilmu dan mencari majelis-majelis ilmu yang bisa diikutinya.

Bukan tanpa alasan, di daerahnya di Kulonprogo saat itu, jauh dari pesantren sehingga akses untuk belajar agama dan terasa sangat kurang. Ia berpikir, ilmu agamanya sangat minim, padahal hal itu sangat penting untuk bekal kehidupan dunia dan akhirat.

Maka, pada tahun 1983, Hudzaifah memutuskan untuk merantau, dengan niat hijrah  belajar agama, sekaligus mencari penghidupan yang lebih baik.

Baca Juga: Buya Hamka, Ulama Produktif Penulis Lebih dari 100 Buku

Berlabuhlah Ia di Kota Bogor, Jawa Barat, sambil bekerja di sebuah perusahaan furnitur di wilayah tersebut.

Prinsipnya dalam bekerja adalah kejujuran dan kedisiplinan. Dengan hal itu, pimpinan perusahaan memberi kepercayaan kepada Hudzaifah untuk  terus bekerja di sana hingga purnatugas.

Hudzaifah memiliki delapan anak dengan dua putra dan enam putri. Semua putra-putrinya disekolahkan di Pondok Pesantren Al-Fatah. Baginya, pesantren tersebut memiliki keunggulan, yakni mengajarkan persatuan, persaudaraan, dan kehidupan berjamaah, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Kepada putra-putrinya ia senantiasa berpesan untuk mengutamakan belajar ilmu agama, dengan tanpa meninggalkan ilmu dan ketrampilan lainnya, karena hal itu yang akan menjadi bekal kehidupan di dunia dan selanjutnya (akhirat).

Baca Juga: Teuku Muhammad Hasan, Pejuang Kemerdekaan Asal Aceh

Baginya, kebahagiaan sejati bukan pada banyaknya harta benda, pangkat dan kedudukan, melainkan ketika ia bersama keluarganya mampu menunaikan perintah agama, dekat dengan Allah Yang Mahapencipta.

Hudzaifah juga berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak manja, terlena dengan fasilitas dan kenikmatan dunia. Baginya, mempersiapkan bekal menuju kehidupan akhirat harus lebih diutamakan. Sikap manja hanya akan membuat orang malas dan terlena hingga ia akan menyesal di kemudian hari.

Berkat didikan Khudzaifah, putra-putrinya kini menjadi para ahli di bidangnya masing-masing. Ada yang menjadi dosen, tenaga medis, hingga menjadi ustadz yang berdakwah, mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat.

Menemukan Ketentraman Hati 

Baca Juga: Jejak Dakwah Ustaz Wahyudi KS, Merajut Ukhuwah Menyatukan Umat

Selama merantau, tekadnya untuk bisa belajar agama terus membara. Ia mulai bergabung di beberapa majelis pengajian. Beberapa buku ia baca, mulai dari buku motivasi hingga bernuansa sufi. Hingga ketemulah ia dengan buku (terjemahan) Ihya Ulumuddin, karya Imam Al-Ghazali.

Dalam buku tersebut, ia sangat tertarik dengan sebuah maqolah, bahwa umat Islam haruslah bersatu, memiliki pemimpin dan hidup terpimpin dalam sebuah kepemimpinan berciri khas Islam.

Jika umat Katolik saja bisa bersatu dan memiliki satu pemimpin, yaitu Paus, maka seharusnya umat Islam juga memiliki hal itu. Karena sesungguhnya persatuan itu adalah ciri khas ajaran Islam. Sementara berpecah-belah, bermusuh-musuhan adalah larangan dalam Islam.

Ia lantas meminta penjelasan kepada para ustadz tentang maksud dari maqolah tersebut. Ia ingin m=dapat mengamalkan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya.

Baca Juga: Cut Nyak Dien, Ibu Perbu Orang Sumedang

Rasa penasaran Hudzaifah terobati ketika ia bertemu dengan seorang ustadz yang berdakwah dengan penuh keteduhan, bernama Ustaz Abdurrahman. Dari beliau lah, Hudzaifah menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk dalam hatinya, termasuk masalah kepemimpinan umat Islam.

Ustaz Abdurrahman menjelaskan, bahwa Islam memang fitrahnya bersatu, memiliki pemimpin, sama seperti dalam shalat berjamaah. Ada makmum dan ada imaam. Imaam membimbing para makmum dalam beribadah dan makmum mentaati imaamnya selama ia mentaati Allah dan rasul-Nya.

Kepemimpinan berciri khas Islam adalah yang mencontoh pola kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dan para sahabatnya, ikhlas semata-mata karena melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya, bersih dari unsur kepentingan-kepentingan duniawi seperti ingin mendapat harta, pangkat, jabatan, kekuasaan, pujian dan lainnya.

Jika ada orang yang mengajak kepada kebaikan, namun setelah itu ia meminta imbalan, atau ingin mendapatkan harta, kedudukan dan jabatan, maka perlu dipertanyakan keikhlasannya. Tentu hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Baca Juga: Sa’ad bin Rabi, Inspirasi Persaudaraan dan Solidaritas Muslim

Dari Ust Abdurrahman itulah, Hudzaifah mulai memahami dan mengamalkan kehidupan berjamaah. Bersama dengan umat Islam dan masyarakat lainnya, Hudzaifah menjalani hidup dalam suasana persaudaraan, saling membantu dan menasihati dalam kebaikan dan kebenaran.

Hudzaifah merasakan keberkahan dan ketentraman dalam kehidupannya setelah ia mengamalkan kehidupan berjamaah. Hidup dalam nuansa persaudaraan, membangun kasih sayang di antara umat Islam, bertoleransi kepada pemeluk agama lain, sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang aman dan damai.

Jika ada persoalan yang timbul di antara sesama umat Islam, maka hal itu diselesaikan dengan semangat kekeluargaan, dengan jalan bermusyawarah. Namun jika belum terselesaikan juga, maka ada pemimpin dan peradilan yang memberi solusi dan memutuskan perkara.

Kepada generasi muda, ia berpesan untuk terus belajar, mendalami dan memahami Al-Qur’an dan hadist. Selanjutnya diamalkan dan didakwahkan sekuat kemampuannya.

Baca Juga: Dua Emas Olimpiade 2024 Persembahan Pemuda Muslim Pontianak dan Serang

“Jangan berhenti belajar, karena tugas belajar itu sampai akhir hayat kita,” ucapnya.

Hingga saat ini, di usianya yang sudah tidak lagi muda, Hudzaifah masih terus bersemangat dalam belajar.

Ia menjadi jamaah aktif di Masjid At-Taqwa, Pondok Pesantren AL-Fatah, Cileungsi, Bogor.

Setiap kajian di tempat tersebut, ia selalu hadir dan menjadi peserta setia. []

Baca Juga: Izzuddin Al-Qassam Ulama Pelopor Perlawanan Bersenjata Palestina

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Tukul Sunarto, “Mendidik  dengan Ikhlas Jembatan Menuju Surga”

Rekomendasi untuk Anda

Sosok
Kolom
Kolom
Khutbah Jumat