Muhammad (26) sering menatap potret adik laki-lakinya, Farhad. Di sana, terbingkai senyum seorang anak berusia 13 tahun, namun senyum itu hanya menjadi kenangan yang membekas dalam sebuah foto.
Farhad telah hilang selama berbulan-bulan, dan Muhammad hanya bisa berharap sambil memandangi satu dari sedikit foto yang ia miliki.
Pada bulan Mei 2024, Farhad diculik saat perjalanan pulang dari sekolahnya, yang terletak di dalam kamp pengungsi Balukhali, salah satu kamp terbesar dan terpadat di Bangladesh.
Nama kedua saudara itu telah disamarkan demi melindungi keselamatan mereka di tengah ancaman yang terus menghantui kamp.
Baca Juga: Turkiye akan Buka Perbatasan dengan Suriah untuk Pulangkan Pengungsi
Kehidupan di kamp pengungsi bukanlah hal baru bagi Farhad dan saudara-saudaranya. Mereka tiba di sana pada Agustus 2017, setelah melarikan diri dari kekerasan militer di Myanmar.
Sejak itu, kamp ini menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi mereka, hingga akhirnya penculikan merenggut rasa aman yang tersisa.
“Saya lebih dari sekadar kakaknya,” ungkap Muhammad saat berbicara dengan Radio Free Asia pada bulan Juni. “Saya seperti ayah baginya. Farhad bukan sekadar adik, dia seperti anak bagi saya.”
Meskipun Muhammad tidak tahu siapa yang menculik Farhad, kamp pengungsi di Cox’s Bazar terkenal dengan aktivitas kriminal, termasuk geng-geng yang beroperasi di sana.
Baca Juga: Israel Gempur Suriah di Tengah Upaya Oposisi Bentuk Pemerintahan Baru
Banyak di antara mereka terlibat dalam penculikan pengungsi Rohingya, menyelundupkan mereka kembali ke Myanmar untuk dijadikan tentara dalam perang yang berkecamuk di sana.
Kekerasan dan penculikan telah lama menjadi ancaman di kamp-kamp ini. Pengungsi kerap diperdagangkan untuk kerja paksa atau eksploitasi seksual, sementara para pemimpin yang berani bersuara seringkali diculik sebagai balasan atas advokasi mereka.
Dalam beberapa kasus, penculikan dilakukan untuk memeras uang dari keluarga korban.
Namun, sejak awal tahun 2024, modus penculikan di kamp-kamp pengungsi mulai berubah. Di tengah kerugian besar di medan perang, pemerintah militer Myanmar mengumumkan diberlakukannya kembali undang-undang wajib militer yang sebelumnya tidak diterapkan.
Baca Juga: Amnesty International Sebut Israel Lakukan Genosida di Gaza
Di negara bagian Rakhine, di mana junta berjuang melawan kelompok-kelompok pemberontak, upaya perekrutan paksa meluas hingga ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Dalam percakapan telepon yang singkat dengan Muhammad, Farhad mengungkapkan bahwa dirinya diselundupkan ke negara bagian Rakhine dan dibawa lebih jauh ke selatan, menuju Buthidaung.
Di sana, ia diserahkan kepada militer Myanmar dan ditempatkan di sebuah kamp pelatihan bersama sekitar 40 pria dan anak laki-laki Rohingya lainnya.
Selama dua pekan pertama, Farhad diberi pelatihan senjata, namun tak lama kemudian ia dikeluarkan dari pelatihan militer dan dipaksa membantu tentara dalam tugas-tugas domestik, seperti memasak dan membersihkan.
Baca Juga: Yordania Kecam Upaya Israel Duduki Wilayah Suriah
Semua ini ia ceritakan kepada Muhammad dalam panggilan teleponnya yang penuh kecemasan.
Jessica Olney, seorang analis independen yang telah mempelajari krisis pengungsi Rohingya selama bertahun-tahun, menggambarkan situasi ini sebagai salah satu perkembangan paling mengerikan di kamp-kamp tersebut.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh United States Institute of Peace pada Mei 2024, Olney menjelaskan bagaimana penculikan dan wajib militer paksa di Myanmar serta kamp-kamp pengungsi telah memperburuk keadaan yang sudah sangat buruk.
Bagi para pengungsi di kamp Balukhali, teror ini telah mengubah tatanan kehidupan sehari-hari. Toko-toko ditutup, pintu-pintu dikunci rapat, dan jalanan yang dulu ramai oleh anak-anak bermain kini sepi. Munculnya orang asing hanya memicu kecurigaan dan ketakutan.
Baca Juga: Bayi Yesus dengan Keffiyeh, Adegan Kelahiran Bersejarah di Vatikan
Banyak keluarga menyembunyikan anak laki-laki mereka, mencoba melindungi mereka dari nasib yang sama seperti Farhad.
Teman-teman sekelas Farhad kini hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang konstan. “Sebagian besar siswa sangat takut,” kata Muhammad.
“Namun, penculikan ini seperti telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di kamp.” Sebuah kehidupan di mana setiap hari bisa menjadi hari terakhir seseorang terlihat. []
Sumber: Radio Free Asia (RFA)
Baca Juga: Penjajah Israel Nyatakan Suriah sebagai Front Pertempuran Keempat
Mi’raj News Agency (MINA)