KITA hidup di zaman ketika layar kecil di genggaman tangan telah menjadi penguasa hati. Drakor — singkatan dari drama Korea — kini bukan lagi sekadar tontonan, tapi telah menjelma jadi candu yang menyihir jutaan jiwa. Banyak yang menontonnya hanya untuk “hiburan ringan”, tapi tanpa sadar, hati, pikiran, bahkan nilai-nilai hidup ikut digiring, dijajah, dan ditundukkan oleh budaya yang bukan berasal dari iman. Di sinilah tragedi itu bermula — ketika tontonan berubah menjadi tuntunan, dan hiburan menjadi candu yang perlahan mencuri arah hidup kita sebagai Muslim.
Coba tengok sekeliling. Betapa banyak yang mengidolakan aktor-aktor Drakor melebihi kecintaan mereka pada Rasulullah ﷺ. Betapa banyak yang menghafal nama pemeran, judul drama, bahkan lagu temanya, tapi tak hafal surat-surat pendek dalam Al-Qur’an. Betapa banyak yang rela begadang menatap layar hingga dini hari, tapi berat untuk bangun menatap sajadah di waktu tahajud. Drakor bukan lagi sekadar hiburan — ia telah menggeser fokus hidup sebagian kaum Muslim dari zikrullah menuju fantasi dunia fana.
Fenomena ini menyedihkan bukan karena menonton itu haram, tapi karena hati yang seharusnya dipenuhi cahaya iman kini malah diselimuti kabut ilusi. Setiap adegan romantis yang ditonton tanpa kendali bisa merusak pandangan tentang cinta sejati. Cinta yang seharusnya suci — diikat oleh halal dan ibadah — kini dipelintir menjadi bumbu fantasi tanpa batas. Remaja Muslimah meniru gaya rambut, rias wajah, bahkan gaya pacaran yang ditampilkan, tanpa sadar mereka sedang menukar jati diri Islam dengan budaya asing yang menjual syahwat dalam balutan estetika.
Dan yang lebih menakutkan — fitnah ini datang dengan sangat halus. Tak ada paksaan, tak ada ancaman. Hanya scroll, click, dan senyum yang menipu. Namun di balik senyum itu, terselip racun lembut yang mematikan ruh iman. Drakor mengajarkan kita untuk bermimpi, tapi bukan tentang surga. Ia membuat kita menangis, tapi bukan karena dosa. Ia membuat kita tersentuh, tapi bukan oleh ayat-ayat Allah. Saat hati lebih mudah tergerak oleh kisah fiktif daripada firman Tuhan, di situlah iman sedang sekarat.
Baca Juga: Peran Diaspora Palestina dalam Perlawanan Naratif Global
Wahai saudaraku, sadarlah! Umat Islam pernah menjadi penguasa peradaban. Kita pernah menulis sejarah dengan tinta ilmu, iman, dan akhlak yang luhur. Tapi kini, banyak yang lebih mengenal kisah fiksi daripada sejarah sahabat Rasul. Kita bangga meniru budaya orang lain, padahal kita punya teladan terbaik dalam diri Muhammad ﷺ. Kita terpesona pada cinta dunia maya, padahal cinta yang sejati adalah cinta yang mendekatkan kita kepada Allah.
Bangkitlah, wahai Muslim! Jangan biarkan dirimu hanyut dalam arus fitnah global yang membungkus racun dengan rasa manis. Jadikan tontonan sebagai pelajaran, bukan pelarian. Jadikan layar sebagai sarana dakwah, bukan sumber lalai. Dunia digital ini bisa menjadi ladang pahala bila digunakan untuk kebaikan — tapi bisa pula menjadi jalan kehancuran bila disalahgunakan. Maka kendalikanlah dirimu sebelum teknologi mengendalikanmu.
Ingatlah firman Allah dalam QS. Al-Mu’minun ayat 3, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”
Ayat ini seharusnya menjadi pengingat bahwa seorang Muslim sejati tidak menenggelamkan dirinya dalam hal-hal sia-sia. Waktu yang kita buang untuk menonton berjam-jam, bisa jadi waktu yang berharga untuk belajar, beribadah, atau menebar manfaat. Jangan biarkan hari-harimu berlalu tanpa makna, sementara malaikat terus mencatat setiap detik yang terlewat.
Baca Juga: Solidaritas Palestina; Dari Ruang Kelas hingga ke Puncak Gunung
Bukan berarti Islam menolak hiburan. Tidak. Islam mencintai keindahan, seni, dan ekspresi yang membawa kebaikan. Namun hiburan yang melalaikan, yang menurunkan rasa malu, yang menormalisasi zina dan kebohongan, bukanlah hiburan — itu jebakan setan yang dibungkus dengan warna indah. Maka berhati-hatilah, karena tidak semua yang manis itu madu; sebagian adalah racun yang membunuh perlahan.
Wahai para Muslimah, jangan jadikan Drakor sebagai cermin hidupmu. Kecantikan sejati bukan pada kulit putih atau rambut lurus, tapi pada hati yang bersih dan taat pada Rabb-nya. Wahai para pemuda, jangan jadikan aktor Korea sebagai idola. Idola sejati adalah mereka yang menegakkan kalimat La ilaha illallah meski harus kehilangan segalanya.
Kini saatnya bangkit. Saatnya kembali menghidupkan hati dengan Al-Qur’an, bukan dengan drama. Saatnya memperbaiki diri, membangun generasi yang mencintai Islam lebih dari dunia. Jadilah umat yang cerdas memilih tontonan, karena apa yang engkau lihat akan membentuk apa yang engkau pikirkan, dan apa yang engkau pikirkan akan menentukan ke mana arah hidupmu.
Kita tidak bisa menghentikan derasnya arus budaya luar, tapi kita bisa memilih untuk tidak hanyut. Peganglah tali iman itu erat-erat, karena dunia hari ini penuh tipu daya yang lembut tapi mematikan. Jangan biarkan dirimu tersihir oleh dunia yang fana, sementara surga menanti dengan keindahan yang abadi.
Baca Juga: Proyek Israel Raya, Upaya Menguasai Timteng dengan Dukungan AS
Inilah waktunya untuk berkata: Cukup!
Cukup terseret ilusi. Cukup diperbudak layar.
Kini saatnya Muslim bangkit — bukan dengan kemarahan, tapi dengan kesadaran.
Bangkit dengan ilmu, dengan iman, dan dengan cinta kepada Allah.
Karena yang sejati bukan mereka yang larut dalam drama,
melainkan mereka yang menulis kisah nyata menuju ridha-Nya.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
















Mina Indonesia
Mina Arabic