Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Thariq bin Ziyad dilahirkan pada tahun 50 H atau 670 M di Kenchela, Aljazair, dari kabilah Nafzah. Ia bukanlah seorang Arab, akan tetapi seorang yang berasal dari kabilah Barbar yang tinggal di Maroko. Masa kecilnya sama seperti masa kecil kebanyakan umat Islam saat itu, ia belajar membaca dan menulis, juga menghafal surat-surat Al-Quran dan hadis-hadis.
Tidak banyak yang dicatat oleh ahli sejarah mengenai masa kecil Thariq bin Ziyad, bahkan sejarawan seperti Imam Ibnu al-Atsir, ath-Thabari, dan Ibnu Khaldun tidak meriwayatkan masa kecil Thariq bin Ziyad dalam buku-buku mereka.
Thariq bin Ziyad adalah bekas budak seorang gubernur Musa bin Nushair di bawah kekhalifahan Bani Umayyah, Al-Walid.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Thariq bin Ziyad memiliki peran penting di dalam penaklukkan yang dilakukan oleh pasukan Muslimin. Tingginya kepercayaan Musa bin Nushair terhadap Thariq, membuat bekas budak itu mendapat kepercayaan sebagai pemimpin pasukan.
Musa dan Thariq berhasil memperluas pengaruh Dinasti Umayyah dan menyebarkan Islam hingga ke Tanger (Maroko), sehingga penduduknya banyak yang memeluk Islam. Mereka baru berhenti ketika terbentur benteng Sabtah (Ceuta) yang digubernuri oleh Julian.
Sementara itu, Spanyol berada pada masa akhir kerajaan Visigoth yang sedang mengalami kemerosotan. Hal ini disebabkan kewajiban pajak yang sangat memberatkan rakyat dan hanya dikumpulkan untuk memperkaya orang-orang kaya, juga karena para agamawan menjadi semakin memiliki pengaruh dalam kekuasaan negara, ditambah wabah penyakit yang menewaskan banyak orang.
Saat itu, Spanyol dipimpin oleh seorang raja bernama Witiza (orang Arab menyebutnya Ghaithasyah). Setelah itu digantikan oleh anaknya, Achila. Selanjutnya, Achila dikudeta oleh panglimanya sendiri, Roderick.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Akan tetapi Julian, gubernur Ceuta memendam permusuhan kepada Raja Roderick, karena raja itu telah menodai putri Julian.
Julian memutuskan menemui gubernur Tanger (Maroko), Musa bin Nushair, untuk meminta bantuannya dalam menyerang Spanyol. Julian menggambarkan lemahnya kekuatan kerajaan Spanyol dan dia berjanji akan membantu pasukan Muslimin saat menyerang Spanyol.
Gubernur Musa bin Nushair melaporkan hal tersebut kepada Khalifah Al-Walid yang masih ragu dengan rencana tersebut. Khalifah kemudian memerintahkan Musa terlebih dulu mempelajari kekuatan Spanyol.
Tak lama kemudian, Musa bin Nushair mengirim Tharif bin Malik dengan kekuatan 500 pasukan, mereka menyerang perbatasan Spanyol dengan bantuan Julian. Mereka kembali dengan kemenangan dan harta rampasan yang banyak.
Cara Thariq mengalahkan 70.000 pasukan Roderick
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Pada bulan Sya’ban 92 H, Thariq bin Ziyad bersama 7.000 pasukan Muslimin menyeberang laut menuju Spanyol dengan empat armada kapal yang disiapkan oleh Julian menyeberangi Selat Gibraltar.
Thariq dan pasukannya tiba di Jazirah Al-Khadhra’ (Algeciras), kemudian mereka singgah di daerah yang disebut Buhairah, Spanyol Selatan. Thariq dan pasukannya mulai menaklukkan benteng dan beberapa kota. Hal ini segera direspon oleh Raja Roderick dengan menyiapkan pasukan 70.000 orang.
Thariq bin Ziyad kemudian mengirim utusan untuk meminta bantuan pasukan kepada Musa bin Nushair. Musa segera mengirim 5.000 pasukan sehingga jumlah pasukan Thariq menjadi 12.000 orang.
Namun, ketakutan mulai menghinggapi hati-hati pasukan Muslimin ketika mengetahui pasukan Raja Roderick kian mendekat.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Melihat kondisi itu, semangat Thariq bin Ziyad justeru semakin bertambah dan kuat. Lalu dia memerintahkan membakar keempat kapalnya. Namun kisah pembakaran kapal ini masih menjadi perdebatan para ahli sejarah.
Thariq menyampaikan sebuah pidato kepada pasukannya yang terus dikenang oleh sejarah. Pidato itu begitu mengobarkan semangat jihad, juga perintah agar pasukannya menekuni kesabaran. Thariq berpidato:
“Wahai sekalian manusia, ke mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian, musuh di hadapan kalian. Sungguh keberadaan kalian di semenanjung ini lebih sempit dari pada keberadaan anak yatim di tengah-tengah perjamuan orang-orang jahat. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali keikhlasan dan kesabaran. Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan mereka besar sekali, sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang-pedang kalian, dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan, dan kalian tidak segera dapat mengatasinya, akan sirnalah kekuatan kalian. Kekuatan mereka terhadap kalian akan berubah menjadi keberanian terhadap kalian.”
Pidato tersebut memberi pengaruh besar terhadap moral pasukan. Semangat pasukan Muslimin berkobar sehingga mereka yakin apabila mematuhi nasehat Thariq bin Ziyad ini, mereka akan mengalahkan musuh.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Akhirnya pada 28 Ramadhan 92 H bertepatan dengan 18 Juli 711 M, bertemulah dua pasukan yang tidak berimbang ini di lembah Lakkah, Medina Sidonia. Pertempuran besar pun terjadi. Thariq dan pasukannya menghadapi musuh dengan gigih dan berhasil membunuh Roderick. Pasukan Muslimin menang.
Salah satu faktor yang membantu kemenangan pasukan Muslimin adalah bergabungnya anak-anak Witiza (mantan Raja Spanyol sebelum Roderick mengkudeta) bersama Thariq. Sebelumnya, mereka menemui Thariq untuk meminta perlindungan. Di samping itu, Raja Julian juga berhasil mengambil hati sebagian pasukan Roderick, sehingga memecah persatuan tentara Roderick.
Maka takluklah Spanyol di tangan kepemimpinan Thariq bin Ziyad. (T/P001/R03)
Disarikan dari beberapa sumber.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)