Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tiga Karakter Utama Santri

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - Sabtu, 10 Agustus 2024 - 21:31 WIB

Sabtu, 10 Agustus 2024 - 21:31 WIB

45 Views

Ali Farkhan Tsani (Foto: Hadis/MINA)

Tulisan ini mengupas bagaimana karakter utama santri yang sedang mondok di pesantren, di antaranya adalah kemandirian, keikhlasan dan kesederhanaan.

  1. Karakter Kemandirian

Kemandirian perilaku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan santri yang biasa berlangsung di pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat penting-insidental dan keputusan yang bersifat harian atau rutinitas.

Terutama dalam pembiasaan harian santri, santri dilatih untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara mandiri. Mulai dari bagaimana mengelola keuangan, perencanaan belanja, perencanaan jadwal aktivitas rutin, dan sebagainya.

Mencuci baju sendiri, menjemur sepatu sendiri, hingga berjalan menuju klinik jika sakit, adalah kebiasaan-kebiasaan mandiri yang perlu terus dipelihara. Jangan dimanja dengan laundry, atau dicucikan orang lain dengan berbayar. Ini sama saja dengan di rumah sendiri yang tinggal suruh pembantu atau malah orang tua.

Baca Juga: Thufanul Aqsa, Perjuangan Menuju Kebebasan

Jika jiwa mandiri ini telah terpatri kuat di dalam diri santri, maka saat pulang pun ia tetap mencuci baju sendiri. Karakter mandiri sudah menjadi kebiasaannya.

  1. Karakter Keikhlasan

Ini karakter utama santri yang tiada tara nilainya dibandingkan di sekolah-sekolah umum. Saat ia punya jajan lebih, rela berbagi. Ketika ada temannya belum dapat kiriman dan hendak pinjam, diberikannya.

Apalagi bila kyainya atau ustadznya memintanya beramal shaleh, membersihkan pekarangan pesantren atau di ladang milik pesantren. Para santri mengerjakannya dengan ikhlas, bahkan senang dan gembira. Ia malah menganggapnya sebagai refreshing dari keseharian baca kitab dan ngaji.

Maka, jangan heran kalau sang kyai tidak hadir tanpa memberitahu sekalipun, para santri tetap saja mengaji, seraya mendoakan semoga tidak ada apa-apa dengan kyainya, dan semoga selalu dalam penjagaan Allah. Kegiatan belajar mengajar tetap berjalan dengan keikhlasan masing-masing, juga karena asas kemandirian tadi.

Baca Juga: Enam Tips Hadapi Musim Penghujan

Jadi, kalau kita melihat para santri, hatta sudah lulus puluhan tahun sekalipun, ia selalu mencium tangan kyainya atau asatidznya, manakala bertemu. Bahkan ada yang cium tangan bolak-balik. Bukan kultus individu, tapi lebih ke bentuk takdzim, hormat dan tawadhu, serta ingin meraih berkah ilmu dan doa dari sang guru.

Bahkan, tatkala sebagai santri diberi hukuman atau tugas yang sekiranya cukup berat. Santri pun dengan ikhlas menerimanya, dengan menyadari akan kesalahannya. Karena itu bagian dari pendidikan. Sebab ia sangat yakin apa yang dilakukan gurunya adalah untuk kebaikan dirinya.

Jika keikhlasan ini sudah menjadi kebiasaannya, maka ia akan menjadi manusia-manusia pembangunan yang bekerja mengemban amanat karena Allah, ikhlas bekerja dan ikhlas berbagi menyejahterakan rakyat.

  1. Karakter Kesederhanaan

Kesederhanaan dalam berkata, bertingkah laku, berpakaian dan dalam sendi-sendi kehidupan merupakan kebiasaan di lingkungan pesantren. Maka, pada umumnya walau ada santri dan kini malah banyak, dari kalangan berada, di pesantren tetap mendapat perlakuan yang sama. Ia akan tetap menempati dipan yang sama, almari yang sama, hingga kamar mandi yang sama.

Baca Juga: Sampah Menumpuk, Salah Siapa?

Uang pun tidak boleh berlebihan dipegangnya. Ia mesti menitipkannya pada asatidz pembimbingnya atau bagian keuangan. Pakaian jenis levis, model rambut punkrock, pakai tindik, apalagi tatto, atau lainnya pun ‘haram’ dipakai selama di pesantren.

Katakter hidup sederhana jika terus dikembangkan hingga ke dunia kerja, akan menjadikannya manusia-manusia pembangunan berakhlak karimah, pandai berhemat, tidak boros,  dan tidak akan berbuat korup.

Karakter itu semua, didapatkan santri selama mesantren melalui keteladanan kyai dan asatidznya, latihan dan pembiasaan tiap hari, tausiyah-tausiyah berkala, kedisiplinan tepat waktu shalat berjamaah dan belajar, serta adanya pemberian penghargaan dan hukuman yang mendidik.

Perilaku-perilaku seperti itu akan terus menguat seiring semakin lama di pesantren itu. Pendidikan karakter santri tersebut akan menjadi kebiasaan otomatis.

Baca Juga: BPS: Pengangguran Terbanyak Lulusan SMK

Berkaitan dengan ini, Imam Al-Ghazali menyatakan, “Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya melakukan perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik dan diridhai”.

Inilah antara lain tiga karakter yang diperlukan oleh para santri, calon-calon pemimpin bangsa dan umat serta manusia-manusia pembangunan, yang akan membangun negerinya tercinta, umat yang menantinya, dan dunia yang menunggu kiprahnya, dengan akhlakul karimah. []

Mi’raj News Agency (MINA)  

Baca Juga: Pembebasan Baitul Maqdis dan Palestina Melalui Literasi dan Edukasi

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
MINA Millenia
MINA Millenia
MINA Preneur