Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Faisal bin Farhan mengisyaratkan kemungkinan menyelesaikan keretakan tiga tahun dengan tetangganya, Qatar, menyusul pertemuan di Washington dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
“Kami berkomitmen untuk menemukan solusi,” ujarnya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat, sebuah wadah pemikir, pada Kamis (15/10/2020). Seperti dilaporkan Al Jazeera.
“Kami terus bersedia untuk terlibat dengan saudara-saudara kami, Qatar, dan kami berharap mereka juga berkomitmen untuk keterlibatan itu. Kita perlu mengatasi masalah keamanan yang sah dari kuartet tersebut dan saya pikir ada jalan menuju itu. Sebuah solusi dalam waktu yang relatif dekat,” kata Pangeran Faisal.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Pada tahun 2017, Arab Saudi bersama dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Doha dan memberlakukan blokade laut, darat dan udara dengan negara kaya minyak dan gas itu.
UEA dan Bahrain belum lama ini menjalin hubungan normalisasi dengan Israel. Mesir sudah lebih dulu, menjalin perjanjian damai dengan Israel sejak 1979.
Negara-negara tersebut menuduh Qatar mendukung “terorisme” dan mencampuri urusan dalam negeri mereka selama bertahun-tahun. Doha juga dituduh terlalu dekat dengan Iran, rival Arab Saudi dkk.
Qatar dengan keras membantah klaim tersebut, dan mengatakan “tidak ada pembenaran yang sah” untuk embargo .
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Qatar juga menolak tuntutan negara-negara pemblokir yang memberikan batas waktu 10 hari, mencakup penutupan Jaringan Media Al Jazeera, memutuskan hubungan dengan kelompok-kelompok Islam Ikhwanul Muslimin dan Hamas, membatasi hubungan dengan Iran dan mengusir pasukan Turki yang ditempatkan di negara itu.
Qatar menyebutkan, keputusan itu adalah “pelanggaran terhadap kedaulatannya” dan Qatar akan bekerja untuk memastikan bahwa blokade itu tidak akan mempengaruhi warganya.
Menyambut pernyataan Saudi baru-baru ini, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani mengatakan bahwa negaranya siap untuk berdialog untuk menyelesaikan krisis diplomatik. Namun, ia menekankan bahwa solusi apa pun untuk krisis tersebut harus menghormati kedaulatan negaranya.
Kuwait yang berperan sebagai negara mediator, mengatakan memang ada kemajuan untuk menyelesaikan kebuntuan tersebut, walaupun hanya sedikit.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Qatar sendiri sejauh ini telah mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai diskriminasi rasial. Belum diketahui apakah akan melanjutkannya atau mencabutnya, setelah ada sinyal pembukaan blokade.
Dampak Ekonomi
Bagaimana dampak keuangan bagi Qatar setelah empat negara memblokade darat, laut dan udara dengan Qatar? Terutama Arab Saudi, UEA dan Bahrain yang berbatasan dan bertetangga langsung dengan Qatar.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Ekonomi Qatar dalam tiga tahun masa blokade, ternyata terbukti tangguh, menurut pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF).
IMF menyebutkan, kinerja ekonomi Qatar tercatat membaik pada tahun kedua blokade tahun 2018. Ekonomi Qatar justru berhasil menyerap guncangan dari penurunan harga hidrokarbon 2014-2016 dan keretakan diplomatik pada 2017.
Pertumbuhan PDB riil Qatar sebesar 2,2 persen, atau naik dari 1,6 persen pada tahun 2017. Sektor perbankan negara itu juga dikategorikan sehat, meskipun ada penurunan di pasar perumahan, lanjut IMF.
Bahkan prediksi IMF, pertumbuhan Qatar akan sedikit melebihi UEA dan Arab Saudi pada tahun 2020.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Ahmed Bin Saeed Al-Rumaihi, mengatakan “Qatar lebih kuat dari sebelumnya, meskipun telah lewat tiga tahun sejak blokade yang tidak adil.”
Mengenai dialog, Al-Rumaihi menekankan bahwa itu harus dilakukan dalam kerangka saling menghormati kepentingan bersama, tidak mendikte kebijakan luar negeri dan tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negaranya.
Dia menghubungkan keberhasilan negaranya dalam menangani blokade dengan “instruksi Pangeran Tamim bin Hamad dan pendekatan negara yang tenang dan tegas dalam mengelola krisis.” Seperti disebutkan Anadolu Agency.
Menurutnya, blokade justru telah mengumpulkan berbagai pengalaman yang memungkinkan negaranya mencapai keberhasilan luar biasa dalam menangani berbagai masalah ekonomi, termasuk dalam penanganan krisis virus Corona, sesuai Visi Nasional 2030.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Dia menyebutkan berbagai kemajuan dalam diversifikasi ekonomi, peningkatan sektor swasta, kapasitas produksi pembangkit listrik serta sistem produksi pertanian, hewan, dan perikanan. Termasuk lompatan besar dalam proyek-proyek energi.
Rute Alternatif
Pascablokade, Qatar terus mengkonsolidasikan hubungan bilateral dengan negara-negara sahabat dan sekutu, di luar empat negara tersebut. Termasuk rute alternatif dengan Turki dan negara-negara Eropa, bahkan dengan Iran.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Terlepas dari ketergantungan pada makanan dan impor penting lainnya dari mitra Teluknya selama ini, Qatar berhasil dengan cepat meringankan tantangan ini dan membangun rute perdagangan alternatif, membantu ekonominya untuk bertahan hidup dan bahkan lebih makmur.
Sebuah laporan Chatham House pada November 2019 menunjukkan Qatar telah berhasil meningkatkan impor dari Uni Eropa dan Amerika Serikat. Bahkan mampu mengembangkan industri makanannya sendiri, menjadi lebih mandiri dalam produksi susu, irigasi tanaman dan sayuran.
Qatar juga mengembangkan lebih banyak perdagangan dengan Turki dan Iran. Termasuk dengan negara-negara di Tanduk Afrika, setelah memulai pembangunan di Pelabuhan Hobyo, Somalia Agustus 2019, dengan tujuan memperluas hubungan di tempat lain di benua Afrika.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Peta Politik Regional
Saat ini krisis Teluk telah memicu perpecahan yang lebih besar di seluruh wilayah itu. Terutama dipicu oleh langkah kontroversial UEA dan Bahrain yang menjalin normalisasi hubungan dengan Israel.
Langkah ini dikecam keras oleh pimpinan Palestina dan seluruh faksi di dalamnya, yang menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap Inisiatif Damai Arab (Arab Peace Initiative) yang diluncurkan tahun 2002.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Inisiatif ini adalah keputusan KTT Liga Arab di Beirut tahun 2002 dan kembali disahkan pada KTT Liga Arab 2007 dan 2017.
Isi inisiatif yang digagas Arab Saudi ini menawarkan normalisasi hubungan dunia Arab dengan Israel, dengan syarat penarikan penuh Israel dari wilayah pendudukan, termasuk Tepi Barat, Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Lebanon, sebuah “pemukiman yang adil” bagi pengungsi Palestina berdasarkan Resolusi PBB 194, dan pembentukan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.
Situasi politik regional semakin mendekatkan Qatar dengan Turki sementara UEA dan Arab Saudi berusaha menghukum Somalia, melihat kedekatannya dengan Qatar dan Turki. Saudi juga menekan negara-negara Afrika lainnya untuk mendukung UEA-Saudi.
Mesir ikut berusaha untuk mengarahkan Sudan pasca-revolusi mulai April 2019 menuju blok anti-Qatar.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Situasi pandemi virus corona yang semestinya dapat meredakan ketegangan di Teluk, dengan mengedepankan penanganan bersama, namun justru disinformasi dan kampanye berita palsu telah meningkat.
Persaingan dan kekhawatiran terhadap pengaruh regional sebagian besar mendorong ketegangan. UEA menyatakan akan bersedia untuk terlibat secara diplomatis dengan Qatar jika mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA 2022 Qatar.
Arab Saudi sendiri dilaporkan merasa lebih rentan ekonomi, setelah serangan dari kelompok bersenjata yang berkuasa di Yaman, Houthi, terhadap fasilitas minyak Aramco September 2019. Houthi dikenal memiliki hubungan kedekatan dengan Iran.
UEA meskipun mengkritik Qatar karena kedekatannya dengan Iran, ternyata telah meningkatkan hubungan dengan Iran di tengah krisis virus Corona.
Ini seperti dilakukan menteri luar negeri kedua negara yang berbicara secara virtual pada 2 Agustus 2020, untuk bekerja sama selama pandemi COVID-19.
Pada pembicaraan itu, Sheikh Abdullah bin Zayed al-Nahyan mengatakan kepada mitranya dari Iran Mohammad Javad Zarif bahwa memperkuat kerja sama bilateral adalah elemen penting dalam mengatasi virus corona, kata kantor berita negara UEA WAM.
Menlu Zarif mengatakannya dalam sebuah tweet bahwa itu adalah “percakapan video yang sangat substantif, jujur dan bersahabat” tentang COVID-19 serta “situasi bilateral, regional dan global.” Seperti disebutan VoA News.
Dengaan demikian UEA yang kini menjalin hubungan diplomat dengan Israel dipandang telah menunjukkan pembangkangannya sendiri atas blokade Doha dan penyimpangan dari prinsip-prinsip pendirian negara-negara Teluk (GCC) pada tahun 1981. Sebagian besar prinsip GCC ditujukan untuk menahan pengaruh Iran di kawasan.
Anggota Liga Arab lainnya, Kuwait lebih tidak memihak dan mencoba menengahi krisis, sebagai upaya satu-satunya. Sementara tetangganya, Oman, telah menghadapi tekanan Saudi dan Emirat atas sikapnya yang lebih netral dalam perang Yaman.
Palestina Termarjinalkan
Sisi lainnya dari peta Liga Arab adalah nasib Palestina yang semakin termarjinalkan oleh tetangga-tetangga kaya rayanya. Ini setelah usulan Palestina agar Liga Arab mengecam UEA dan Bahrain yang menjalin hubungan damai dengan Israel, tapi ditolak sidang KTT Liga Arab.
Dari sisi bantuan keuangan pun berdampak cukup signifikan. Seperti diungkapkan pejabat Palestina yang merasa bahwa perjanjian normalisasi baru-baru ini antara negara-negara Teluk dan Israel telah menyebabkan penurunan dalam pendanaan dari negara-negara Arab kepada Otoritas Palestina.
Menurut The New Arab, data dari layanan Kementerian Keuangan Palestina di Ramallah menyebutkan, Otoritas Palestina sudah tidak menerima lagi bantuan dari negara-negara Arab sejak Maret 2020, selain penurunan bantuan luar negeri sebesar 50%.
Total pendapatan Palestina pun turun sekitar 70% tahun ini. Kemampuan pendanaan pemerintah Palestina juga turun setengahnya sehubungan dengan bantuan luar negeri dalam tujuh bulan pertama tahun ini, dari $ 500 juta pada 2019 menjadi $ 255 juta.
Bantuan negara-negara Arab selama periode yang sama juga turun sebesar 85%, dari $ 267 juta pada 2019 menjadi $ 38 juta pada 2020.
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Maliki menyebutkan alasan di balik penurunan itu, “sebagian besar negara Arab tidak mematuhi keputusan KTT Arab untuk menyediakan jaring pengaman finansial sebesar $ 100 juta untuk Palestina dalam menghadapi sanksi AS dan Israel.”
Situasi keuangan diperparah dengan pandemi virus corona, yang memerlukan dana ekstra yang tidak sedikit.
The Jerusalem Post mengungkapkan, Presiden AS Donald Trump mengatakan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa dia telah “meminta negara-negara Arab kaya untuk tidak membantu membayar Palestina.”
Krisis keuangan ini memaksa Otoritas Palestina untuk meningkatkan pinjaman domestiknya dan mencari sumber pendapatan baru.
Qatar, negara yang terblokade tetangga-tetangganya, paling konsisten untuk terus membantu finansial Palestina. Dalam penanganan pandemi Corona saja, Qatar menyediakan bantuan senilai 150 juta dolar AS (sekitar Rp2,48 triliun) untuk mendukung Jalur Gaza. Selain sumbangan 180 juta dollar AS (sekitar Rp2,6 triliun) dalam setahun terakhir.
Negara jauh di luar tetangga Liga Arab, Turki yang dipandang dekat dengan Qatar, ikut serta memberikan bantuan 5 juta dolar AS (sekitar Rp83 miliar) kepada Palestina, khusus untuk memerangi wabah Covid-19. Di samping pernyataan pembelaan yang kuat Turki terhadap Palestina dan kecaman terhadap Israel, di berbagai forum internasional.
Ini sama seperti statemen-statemen Iran yang kencang membela Palestina, mengecam Israel, AS dan negara-negara Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Yang jelas, menyadari ‘pengkhianatan’ beberapa negara Arab, membuat internal Palestina merapat dan mengencangkan rekonsiliasi persatuan Nasional. Pertemuan seluruh faksi perjuangan Palestina, mulai dari Fatah, Hamas, Jihad Islam, Front Demokratik, dan lainnya pada virtual poros Ramallah-Beirut, September lalu, menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina akan sangat ditentukan oleh persatuan kokoh seluruh komponen Palestina itu sendiri.
Itu didukung seluruh kaum Muslimin dan aktivis kemanusiaan di seluruh dunia. (A/RS2/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)