Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Imaamul Muslimin, KH Yakhsyalah Mansur,MA dalam salah satu nasihatnya mengawali bulan suci Ramadhan 1443 Hijriyah ini mengarahkan agar umat menghiasi bulan Ramadhan dengan Tadarus dan Tilawah Al-Quran.
Ada dua kata yang sering diartikan sama, yaitu Tadarus dan Tilawah. Keduanya sama-sama berkaitan dengan membaca Al-Quran.
Perbedaannya, Tilawah artinya membaca Al-Quran sendiri dengan pelafalan yang tartil (baik dan benar). Sedangkan Tadarus membaca Al-Quran dengan pelafalan yang tartil (baik dan benar) secara bergiliran.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Baik Tilawah maupun Tadarus, harus disertai dengan memahami makna dari ayat-ayat yang dibacanya. Sehingga dari kegiatan tersebut diharapkan akan mendapatkan petunjuk dari ayat-ayat yang dibacanya itu. Lebih dari sekedar Qira’ah (membaca).
Qira’ah itu sendiri, walaupun membaca tanpa mengetahui maknanya, tetap mendapatkan pahala dari setiap huruf yang dibacanya. Begitulah salah satu keutamaan membaca Al-Quran.
Ini sebagaimana disebutkan di dalam hadits:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».
Artinya : “Siapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya. Aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR At-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Tentang Tilawah, di dalam Al-Quran antara lain disebutkan di dalam ayat:
وَأَنۡ أَتۡلُوَاْ ٱلۡقُرۡءَانَۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَقُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ
Artinya: “Dan supaya aku membacakan Al-Quran (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan”. (QS An-Naml/27: 92).
Di dalam Tafsir Al-Quran Kementerian Agama RI dijelaskan, pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW diperintahkan supaya membacakan Al-Quran kepada manusia, untuk mengungkap makna dan rahasia yang terkandung di dalamnya, dan menyerap dalil-dalil tentang kekuasaan Allah yang dapat dilihat pada alam semesta. Dengan demikian, dapat menyelami hakikat hidup yang sebenarnya dan menerima limpahan karunia Allah.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Pada ayat lain disebutkan :
اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ
Artinya : “Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al-Baqarah/2: 121).
Tilawah pada ayat ini dimaksudkan, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya dengan memahaminya sepenuh hati, tidak mentakwilkan atau menafsirkannya menurut keinginan sendiri, tidak menambah, mengurangi atau mengubahnya.
Ibnu Mas’ud menambahkan, “Haqqo Tilawatih” bermakna membaca dengan bacaan yang sebenarnya, yaitu menghalalkan yang dihalalkanya, mengharamkan yang diharamkannya, membacanya seperti yang diturunkan Allah, tidak mengubah-ubah atau memalingkan perkataan dari tempat yang semestinya dan tidak menakwilkan sesuatu dari kitab itu dengan takwil yang bukan semestinya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Adapun Tadarus Al-Quran, antara lain disebutkan di dalam ayat :
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ
Artinya : “Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (QS Ali Imran/3: 79).
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak patut bagi seseorang yang telah diberinya oleh Allah Al-Kitab, hikmah dan Kenabian, lalu meminta-minta orang menyembahnya tanpa Allah atau menyembahnya bersama-sama dengan Allah. Janganlah seperti Ahli Kitab yang menyembah para pendeta-pendetanya.
Karena para Rasul itu adalah utusan Allah kepada hamba-hamba-Nya, menyampaikan apa yang diamanatkan kepada mereka tugas yang telah dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Allah memberi tahu para Rasul itu untuk mengajak umat manusia agar menjadi ahli ibadah dan bertakwa (rabbaniyin) sesuai dengan apa yang mereka pelajari dan ketahui dari Al-Quran dan kitab-kitab Allah. Para Rasul itu hanya menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukannya.
Selanjutnya, Rasul itu bertugas mengajarkan Al-Kitab dan mempelajarinya.
Kata Tadrusun pada ayat ini bermakna memahami, membahas, mempelajarinya, untuk mendapatkan informasi dan pesan-pesan yang dikandungnya.
Begitulah, seorang Rabbani (pendidik, Rasul) harus terus menerus mempelajari Kitab Suci dan mengajarkannya, karena manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Firman-firman Allah itu sedemikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali dan dipejari, akan semakin banyak yang dapat diraih walupun yang dibaca adalah teks yang sama.
Kitab Allah yang tertulis (Qouliyah) tidak ubahnya dengan kitab-Nya yang terhampar (Qouniyah), yaitu alam raya. Walaupun alam raya sejak diciptakan hingga kini tidak berubah. Namun rahasia yang dikandungnya tidak pernah habis terkuak. Rahasia-rahasia alam tidak henti-hentinya terungkap, dan dari saat ke saat ditemukan hal-hal baru yang belum ditemukan sebelumnya.
Pada ayat lain disebutkan :
أَمۡ لَكُمۡ كِتَٰبٞ فِيهِ تَدۡرُسُونَ
Artinya: “Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?” (QS Al-Qolam/68 : 37).
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
Kata Tadrusun di sini berarti mempelajari atau meneliti sesuatu guna mengambil manfaatnya. Dalam hal ini, Tadrusun adalah membahas Kitab Suci (Al-Quran) untuk mengambil informasi dan pesan-pesan yang dikandungnya.
Ketentuan Tadarus
Selanjutnya kegiatan Tadarus Al-Quran itu, menurut Ahmad Syarifuddin, memiliki ketentuan, antara lain: dilakukan oleh dua orang atau lebih di suatu majelis, forum, atau
halaqah (forum melingkar), ada yang membaca dan ada yang menyimak serta ada upaya membetulkan bacaan, saling memberi dan menerima.
Begitulah, setiap bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertadarus Al-Quran bersama Malaikat Jibril. Seperti disebutkan di dalm hadits :
Baca Juga: Pemberantasan Miras, Tanggung Jawab Bersama
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
Artinya: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Malaikat Jibril, dan Malaikat Jibril menemui beliau pada setiap malam bulan Ramadhan untuk mempelajari Al-Quran.” (HR Bukhari dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu).
Jadi, dengan bertadarus Al-Quran pada bulan Ramadhan, yang disebut dengan bulan Al-Quran, kita akan dapat memperbaiki bacaan Al-Quran. Di samping itu, denga bertadarus Al-Quran, kita juga dapat mamahami, memaknai , menghayati dan mengamalkan isi Al-Quran.
Semoga kita dapat mengikuti arahan Imaamul Muslimin dalam mengisi amaliyah pada bulan Ramadhan ini dengan Tilawah dan Tadarus Al-Quran. Aamiin. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil