Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Timur Tengah dalam Bayang-Bayang Konflik: Antara Revolusi Iran dan Normalisasi

Widi Kusnadi - 19 jam yang lalu

19 jam yang lalu

0 Views

Pengamat Timur Tengah dan Penasehat ISMES Smith Alhadar. (Foto: Smith Alhadar/MINA)

Cibubur, MINA – Konflik geopolitik di Timur Tengah terus memunculkan dinamika yang kian kompleks. Negara-negara Arab Teluk, dengan sistem monarki absolutnya, menghadapi tantangan strategis berupa ancaman militer dari Iran yang memiliki kekuatan signifikan di kawasan. Situasi ini semakin rumit dengan adanya upaya normalisasi hubungan beberapa negara Arab dengan Israel yang menuai pro dan kontra.

“Iran bukan monarki, melainkan republik yang sangat kuat secara militer. Perbedaan ini menjadi alasan negara-negara Arab menjaga jarak dengan Iran,” kata Smith Alhadar, pengamat Timur Tengah sekaligus penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), dalam program Buka Mata Buka Telinga di Radio Silaturahim, Ahad (29/6).

Smith menjelaskan bahwa sejak Revolusi Islam Iran pada 1979, pengaruh Tehran meluas di kawasan, terutama di negara-negara dengan populasi mayoritas Syiah seperti Bahrain, Irak, dan komunitas Syiah di Arab Saudi. Gerakan Syiah di Bahrain pernah memimpin aksi protes besar melawan monarki, sementara komunitas serupa di Arab Saudi turut menggelar demonstrasi anti-pemerintah pada tahun yang sama.

“Iran di bawah kepemimpinan Ayatullah Ali Khamenei telah mengambil pendekatan yang lebih rasional dalam kebijakan luar negeri, tidak lagi mengekspor revolusi Islam secara terbuka seperti pada era Ayatullah Khomeini,” ungkapnya.

Baca Juga: BMKG Jelaskan Penyebab Cuaca Dingin dan Kabut Tipis di Bekasi

Namun, Iran tetap konsisten menentang keberadaan Amerika Serikat dan Israel di kawasan. “Bagi Iran, kehadiran kedua negara tersebut adalah bentuk penjajahan modern yang harus diakhiri,” tegas Smith.

Dilema ini menempatkan negara-negara Arab dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka membutuhkan perlindungan Amerika Serikat, tetapi di sisi lain mereka khawatir kehilangan dukungan publik jika mendekat ke Israel. Situasi ini semakin mencuat sejak normalisasi hubungan antara Israel dan empat negara Arab—Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko—yang dimediasi Presiden AS Donald Trump pada 2020.

Rencana serupa dengan Arab Saudi sempat terdengar sebelum pecahnya konflik terbaru pada 7 Oktober 2023, ketika Hamas melancarkan serangan terhadap Israel. Kekejaman Israel di Gaza yang terus meningkat setelahnya membuat simpati publik Arab terhadap Israel menurun drastis.

“Jika mendukung Iran, mereka kehilangan dukungan Amerika Serikat. Namun, jika mendukung Israel, mereka kehilangan simpati rakyatnya sendiri,” ujar Smith. []

Baca Juga: Pemuda Pancasila Kota Sabang Galang Dana Untuk RSIA di Gaza

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda