oleh: Illa Kartila*
Perang di kawasan Timur Tengah terus berkobar, tiga diantara beberapa negara yang terlibat konflik di dalam negerinya – Suriah. Mesir dan Irak – terjebak dalam perseteruan yang tidak berkesudahan yang mengakibatkan rakyat mereka mengalami penderitaan parah berkepanjangan.
Menurut organisasi pemantau masalah hak azasi Suriah, 2014 merupakan tahun paling mematikan dalam konflik 4 tahun di Suriah dengan lebih dari 140 ribu orang tewas dan sekitar 2,5 juta warga Suriah mengungsi ke luar negeri dan sekira 6,5 juta jiwa lainnya kehilangan tempat tinggal dalam konflik yang meletus sejak Maret 2011.
Secara rinci disebutkan, ada sebanyak 11.420 anak usia 17 tahun yang tewas. 389 Lainnya, yang berusia di bawah 17 tahun, tewas ditembak sniper. “764 anak dieksekusi mati dan lebih dari 100 bayi disiksa,” demikian laporan yang dimuat BBC.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Jumlah anak laki-laki yang tewas lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak-anak tersebut, rata-rata berusia 13-17 tahun. “Jumlah kematian tertinggi terjadi di Kota Aleppo. Ada 2.223 anak yang tewas di kota tersebut.”
Pejabat badan pelapor data kematian anak, Hana Salama menjelaskan, cara para bocah yang tidak berdosa itu dibunuh sangat tidak berperikemanusiaan. “Dibom di rumah mereka atau saat sedang bermain dan bersekolah. Ada juga yang ditembak dari jauh, disiksa dan dieksekusi mati.”
Serangan udara yang dipimpin AS terhadap kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (bahasa Inggris:Islamic State of Iraq and Syria atau Islamic State of Iraq and ash-Sham-ISIS atau juga dikenal sebagai Islamic State of Iraq and the Levant-ISIL), pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak di Suriah, dan kekerasan sektarian di Irak juga menyumbang angka kematian yang besar.
Perang saudara di Suriah antara pasukan pemerintah dan kelompok oposisi masih berlanjut. Puluhan ribu korban jiwa terus berjatuhan. Sekira dua juta warga Suriah terpaksa mengungsi ke negara tetangga seperti Lebanon dan Turki. Baik kubu Presiden Assad maupun kelompok oposisi masih bersikeras pada pendiriannya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Assad tak mau turun jabatan, oposisi ingin sang presiden mundur.
Hingga kini belum ada tanda-tanda konflik antara pasukan pemerintah dan oposisi di Suriah bakal mereda. Bahkan analis politik Amerika Serikat Daveed Gartenstein-Ross menilai perang bisa terus terjadi hingga 10 tahun mendatang. “Skenario paling mungkin, seperti yang diprediksi komunitas intelijen Amerika, perang akan berlanjut hingga satu dekada atau lebih.”
Menurut dia, prediksi itu lantaran pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad kini dapat dukungan terang-terangan dari Iran dan Rusia. “Assad memilih strategi perang ‘Machiavellian’ (menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan). Dia didukung kelompok militan al-Nusra dan Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) atau Negara Islam Irak dan Syam.”
Kondisi tersebut menurut dia, membuat Amerika Serikat harus berperang melawan 2 kubu, yakni tentara pemerintah dan para militan al-Nusra dan ISIL. Selain itu, Assad tidak hanya ditopang keuangan dan persenjataan militer yang canggih, tapi juga pengaruh dari Iran dan Rusia untuk membiarkan kelompok militan ikut campur dalam perang Suriah.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Para militan kini sedang memegang kendali dan menghalangi negara Barat. Mereka juga sudah bisa menunjukkan kekuatannya,” ujar Daveed.
Dialog telah diupayakan di Jenewa, Swiss, akhir Februari 2014 yang diinisiasi AS dan Rusia, tidak membuahkan hasil meski sudah berlangsung 2 kali.
Sementara itu Masdarsada, alumnus pasca sarjana KSI, Universitas Indonesia berpendapat, konflik Suriah hakekatnya bukan sekedar upaya dari kaum pemberontak untuk memaksa Presiden Assad mundur dari tampuk kekuasaan, melainkan merupakan proxy war alias perang perpanjangan tangan antara tiga negara adidaya.
Barat dalam hal ini AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di satu sisi, sedang di kubu Timur adalah Rusia, Cina, dan Iran. Suriah menjadi sasaran perebutan pengaruh antar ketiga negara adidaya tersebut karena secara geopolitik punya nilai strategis.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Bukan karena kandungan minyak dan gas buminya yang melimpah ruah, melainkan karena nilai strategis geopolitik Suriah sebagai pipa penyalur (pipeline). Posisi geografisnya sebagai geopolitic of pipeline telah menempatkan Suriah sebagai pipa penyalur minyak (pipanisasi) minyak dan gas di Suriah, secara lintas negara dan bahkan lintas benua, kata Masdarsada.
Suriah menjadi ajang perebutan hidup dan mati antar tiga negara adidaya tersebut di atas, disebabkan letaknya sebagai “Titik Simpul” Jalur Sutra yang membentang antara Shinjiang di Timur Tengah, hingga ke benua Eropa. Jalur ini sendiri ialah rute yang melegenda sejak dahulu kala, karena merupakan lintasan ekonomi dan jalur militer di dunia.
“Itulah jalur strategis dan vital bagi kaum kapitalis global. Sehingga mengendalikan jalur tersebut sama saja dengan menguasai dunia, sebab jalur itu membedah antara Dunia Timur dan Barat. Inilah geopolitic leverage yang dimiliki oleh Suriah. Sehingga menjadi incaran negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia dan Cina,” ujarnya.
Dia juga menilai rencana strategis Washington untuk mencaplok Suriah bukan sekadar isapan jempol belaka. Menurut Road Map yang disusun oleh Pentagon yang bertajuk “Penaklukkan Dunia”, penaklukkan kawasan Jalur Sutra sudah dirancang Washington dengan dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Somalia, dan Sudan.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Sedangkan menurut dokumen Sentral Komando 1995 yang sudah dideklasifikasikan AS kepada publik, target pertama memang Irak. Tampaknya “target pertama” telah berhasil dikerjakan oleh Presiden George W. Bush pada 2003.
Pasca referendum konstitusi di Mesir, konflik di sana belum tampak akan berakhir. Ini menunjukkan bahwa situasinya cukup kompleks. Menurut Abdul Muta’ali, Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI), ada perubahan drastis terhadap adagium Mesir antara dulu dengan saat ini.
“Dulu, adagiumnya: Mesir adalah Ikhwanul Muslimin (IM), Mesir adalah sekularisme, Mesir adalah militer, dan Mesir adalah Al-Azhar,” ujar alumnus Program Doktoral dari Universitas di Sudan itu. “Namun, adagium itu sekarang berubah menjadi: Mesir adalah IM, Mesir adalah Sekularisme, Mesir adalah Militer dan Mesir adalah Israel.”
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Lantas, kenapa Al-Azhar bisa hilang dari adagium Mesir, dan mengapa Israel bisa masuk ke salah satu faktor adagium itu? Jawabannya menurut Muta’ali, karena banyak sekali kepentingan yang bermain dalam konflik politik Mesir saat ini. Faktor Al-Azhar bisa hilang dari peta Mesir saat ini, karena Al-Azhar dan militer berada pada faksi yang sama.
“Sikap Al-Azhar seiring sejalan dengan sikap militer. Militer berhasil mengkooptasi Al-Azhar, dan Al-Azhar pun menopang militer, Jadi militer adalah Al-Azhar,” kata dosen di Departemen Sastra Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI itu.
Menurut dia, banyak orang berharap ketika Muhammad Mursi dilantik menjadi Presiden, konsolidasi ormas-ormas Islam semakin dinamis. Namun, penyakit lama rupanya kambuh kembali. “Rabun kekuasaan telah menjadi kolestrol yang menyumbat peredaran ukhuwwah,” jelas pengajar bahasa Arab di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI ini.
Organisasi-organisasi Islam selain IM juga terlihat mulai mendukung pemerintahan transisi di bawah pimpinan Presiden Adly Mansour, mantan Ketua Mahkamah Agung Mesir. Hal ini, ujarnya, secara gamblang terungkap dari sikap politik Partai An-Nour yang berbalik 180 derajat mendukung pemerintahan transisi di bawah pimpinan Presiden Adly Mansour, pasca kudeta terhadap Presiden Mursi. Padahal, sebelumnya partai itu mendukung Presiden Mursi.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Israel menjadi adagium baru di Mesir karena pengaruh perjanjian Camp David tahun 1978. Berdasarkan perjanjian itu, pintu perbatasan Rafah harus selalu ditutup oleh otoritas Mesir. Jika tidak ditutup, maka harga gandum akan meningkat tajam, kata Muta’ali.
Itulah sebab mengapa harga gandum di Mesir melonjak tinggi hingga 30 Pounds ketika Presiden Mursi berkuasa. Pasalnya, Presiden Mursi membuka selebar-lebarnya pintu perbatasan Rafah untuk perjalanan internasional lintas negara Mesir – Palestina.
Peristiwa konflik politik yang terjadi di Mesir, menurutnya, mirip dengan peristiwa konflik yang terjadi di Afghanistan. Ketika Afghanistan berjihad melawan penjajahan Uni Soviet, seluruh mujahidin dan faksi-faksi Islam bersatu angkat senjata melawan Uni Soviet.
Namun, ketika ummat Islam di Afghanistan menang, tuturnya, lalu pemerintahan dikuasai oleh faksi Taliban, rabun kekuasaan itu justru terjadi. Sejak kemenangan Taliban di Afghanistan, pasca mundurnya Uni Soviet, faksi-faksi Islam di Afghanistan terus bertikai dan berseteru hingga saat ini.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Sejauh ini krisis politik di Mesir tampaknya membawa Negara itu kea rah perang saudara, seperti yang terjadi di Suriah. Ancaman perang saudara ini sudah diperingatkan oleh Imam Besar Masjid Al-Azhar, seorang ulama berpengaruh di Mesir, Ahmed El-Tayeb.
Masyarakat internasional juga sudah melihat ancaman tersebut. Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan, “Suriah sudah berada dalam cengkeraman perang saudara…dan Mesir kini sedang bergerak ke arah yang sama.”
Sejumlah media asing juga memaparkan potensi ancaman perang saudara di Mesir. Salah satunya harian The Jerusalem Post mengingatkan bahwa huru-hara di Mesir bisa saja berakhir seperti yang dialami tetangganya, Aljazair, 20 tahun lalu.
Perang saudara di Aljazair dimulai setelah militer setempat ikut campur dalam gelanggang politik dengan menghentikan jalannya putaran kedua Pemilu pada Januari 1992. Partai Islam terbesar di Aljazair – Fron Penyelamat Islam – saat itu di ambang kemenangan Pemilu setelah unggul pada putaran pertama pemungutan suara.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Namun, langkah mereka dihentikan paksa oleh militer dan berlanjut ke perang saudara selama sekian tahun yang menewaskan sekitar 200.000 orang. “Sepertinya ini bisa terjadi juga di Mesir,” tulis koran Israel itu.
Kekerasan di Irak yang melibatkan sesama Muslim, Syiah dan Sunni menewaskan lebih dari 15.000 warga dan petugas keamanan sepanjang tahun lalu. Angka itu membuat 2014 sebagai tahun paling mematikan sejak pertumpahan darah aliran meletus pada 2007.
Data yang dihimpun kementerian kesehatan, dalam negeri dan pertahanan menyebutkan, korban tewas 15.538 orang, berbanding 17.956 pada 2007 selama puncak pembunuhan aliran Sunni-Syiah. Jumlah itu juga lebih dari dua kali lipat dari 6.522 orang tewas pada 2013.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Sebagian besar korban tewas akibat aksi serangan kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS serta kelompok-kelompok militan lainnya di kedua negara.
Tahun 2014 di Irak diawali dengan konflik berdarah di mana pemerintah kehilangan kendali atas bagian ibukota provinsi Anbar, Ramadi dan seluruh Fallujah akibat direbut pemberontak yang menentang pemerintah.
Kekerasan itu dipicu pembongkaran kubu unjukrasa menentang pemerintah Arab Sunni negara itu di dekat Ramadi pada akhir 2013.
Kekerasan menyebar ke Fallujah dan pasukan keamanan kemudian ditarik dari kedua kota tersebut. Hal tersebut membuat kedua kota itu terbuka untuk direbut. Pada Juni 2014, kelompok Negara Islam memelopori serangan besar-besaran dengan menyapu pasukan keamanan. Mereka menyerbu kota kedua Irak, Mosul dan kemudian melaju ke selatan menuju Bagdad.
Mereka akhirnya berhenti, tapi merebut sejumlah bagian dari lima propinsi utara dan barat ibukota tersebut.
Untuk menghadapi ISIS, PM Irak Haider al-Adabi meminta bantuan kepada Turki, dengan melatih pasukan Irak dan menyediakan intelijen. PM Turki Ahmet Davutoglu menyatakan siap untuk melatih dan memperlengkapi pasukan Irak, namun, enggan memberikan dukungan lebih besar untuk koalisi pimpinan AS.
Terkait keengganan itu, Turki menegaskan bahwa pasukan koalisi juga harus bertujuan untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar Assad dari tahtanya.
Kekerasan yang terus terjadi di beberapa wilayah di Irak dengan sasaran mayoritas penganut Syiah, dikhawatirkan mengarah ke perang besar antar mazhab dengan minoritas penganut Sunni di Irak. Konflik antara sesama penganut agama yang diklaim sebagai “agama damai” ini diprediksi Menlu Kanada John Baird, dapat memicu terjadinya perang saudara di Irak.
Para pengamat juga melihat bahwa perseteruan Muslim Syiah dan Sunni telah merambat dan memicu ketegangan dan konflik agama di Irak. Pemberontak Suriah yang menganut Islam Sunni berusaha menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad yang menganut Islam Syiah.
Muslim militan Hezbollah yang beraliansi pada mazhab Syiah dengan sokongan dari Iran (mayoritas Syiah), kini membantu Presiden Bashar al-Assad bersama-sama melawan para pemberontak Sunni.
Sunni Irak yang membenci perlakuan pemerintah PM Syiah Nuri al-Maliki terhadap mereka telah melakukan protes massal. Muslim militan Sunni, beberapa dari mereka terkait dengan al Qaeda, telah mengeksploitasi kerusuhan, mendesak kaum Sunni untuk mengangkat senjata.
Seorang pengamat masalah Timur Tengah, Prasiddha Santika berpendapat, sesungguhnya penyebab utama konflik di Irak adalah invasi AS ke Irak yang dapat memicu peningkatan radikalisme di kalangan Muslim. Dalam menghadapi isu Irak, kalangan Muslim mempunyai sikap sama: menolak invasi militer AS.
Perubahan sosial yang diasumsikan muncul sebagai dampak dari invasi Amerika pada masyarakat Irak, salah satunya adalah adanya kekhawatiran meletusnya perang saudara antara penduduk Irak sendiri, khususnya antara pendukung setia Saddam Hussein dan kelompok yang kontra terhadapnya.
Kelompok yang pro adalah para pendukung Partai Baath, partai terbesar wadah politik Saddam semasa pemerintahannya, dan yang kontra umumnya dari orang-orang bermazhab Syi’ah di Irak, karena Saddam dinilai diktator dan bertindak sewenang-wenang terhadap mereka di negerinya.
Kelompok radikal Sunni paling gencar melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Syiah bentukan AS. Setelah Saddam Hussein meningal di tiang gantungan, kemarahan orang-orang Sunni di Iran pun makin menjadi-jadi. Karena faktor Irak tersebut, kaum Sunni di Irak dan Iran terpojok.
Yang menarik menurut Prasiddha, adalah hampir semua negara Arab kaya minyak mitra AS dan mendukung AS di Irak, mayoritas beragama Islam. Di sini AS menghadapi dilema. Satu sisi, orang Sunni di negara-negara Arab adalah teman-teman dekatnya. Di sisi lain, orang Sunni di Irak adalah musuhnya. Lalu, orang Syiah di Irak adalah sekutunya. Pemerintahan Syiah di Iran adalah musuh bebuyutannya
Tetapi seperti kata pengamat masalah Timur Tengah itu, negara-negara Arab juga menghadapi dilema. Membantu orang Sunni di Irak, artinya sama dengan menyerang AS. Sementara gerakan Sunni di Iran, hanya akan menimbulkan kecurigaan Iran kepada negara-negara Arab. (T/R01/P3)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
* Illa Kartila adalah redaktur senior MINA. (Ia dapat dihubungi via Email:[email protected])