Tinjauan Syar’i Zakat Untuk Operasional Lembaga Pendidikan (Oleh : Taufiqurrahman, Lc)

Oleh : Taufiqurrahman, Lc

untuk operasional lembaga pendidikan diambil dari pos fii sabilillah. Unit-unit pembiayaannya mencakup pembangunan gedung, pengadaan peralatan dan media pembelajaran serta unit-unit lain yang terkait dengan kebutuhan operasional sekolah.

Sabilillah (سبيل الله) secara bahasa berasal dari kata sabil (سبيل) yang di-idhofah-kan kepada lafdhu Al Jalalah (الله). Makna sabil secara bahasa berarti طريق (thariq/jalan). Diantara makna bahasa thariq adalah jalan yang ditempuh atau dipijak dengan kaki. Selain itu juga bermakna parit di bumi (Al Zamili dan Rasyad, 2007). Sedangkan sabilillah maknanya adalah طريق الهدى (jalan petunjuk) yang manusia diseru padanya (Habibullah, Ibdalsyah dan Tarmidzi, 2017).

Secara istilah kata fii sabilillah bersifat umum mencakup segala perbuatan yang tulus. Dengan perbuatan itu jalan yang mendekatkan kepada Allah ditempuh. Baik dalam bentuk penunaian amal-amal yang wajib, sunnah atau tathawuat. Namun apabila kata tersebut dimutlakkan maka umumnya bermakna jihad. Sampai-sampai karena seringnya konteks jihad ini digunakan untuk makna fii sabilillah kata tersebut terbatasi maknanya pada jihad (Ibnu al Atsir, 1978).

Para ulama sepakat bahwa jihad dalam konteks perang bisa dibiayai melalu pos fii sabilillah. Namun mereka berbeda pendapat terkait hukum alokasi zakat dari pos fii sabilillah untuk keperluan di luar perang. Perbedaan itu semakin meluas di masa sekarang (Al Ghafili, 2008).

Sedikitnya ada tiga perbedaan pendapat. Pertama, pendapat yang membatasi penggunaan pos fii sabilillah hanya untuk keperluan jihad dalam konteks perang. Kedua, pendapat yang memperluas fii sabilillah. Dan ketiga, pendapat wasath (pertengahan) diantara pendapat yang membatasi dan pendapat yang meluaskan fii sabilillah (Habibullah, Ibdalsyah dan Tarmidzi, 2017).

Pendapat pertama merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka adalah Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf (Al Kasani, 1986), Malikiah (Al Baghdadi, 1999), Syafi’iyah (An Nawawi, 2006). Selain itu dalam satu riwayat pendapat itu merupakan pandangan Hanabilah (Al Bahuti, 2000). Ibnu Qudamah menguatkan pandangan tersebut sebagai pendapat ulama Hanabilah (Ibnu Qudamah, 1985). Pendapat ini pula yang dipegang Ibnu Hazm al Dhahiri (Ibnu Hazm, 2003).

Dasar dari pandangan tersebut diantaranya adalah

  1. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Sa’id al Khudri radliallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

“لا تحل الصدقة لغني إلا لخمسة: الغازي في سبيل الله، أو العامل عليها، أو الغارم، أو لرجل اشتراها بماله، أو لرجل كان له جار مسكين فتصدق على المسكين فأهداها المسكين للغني”

“Tidak halal zakat untuk orang kaya kecuali bagi lima golongan : orang yang berperang di jalan Allah, amil zakat, gharim, seseorang yang membelinya dengan hartanya, seseorang yang memiliki tentangga miskin lalu ia bersedekah kepada orang miskin itu sehingga zakat itu adalah pemberian dari si miskin kepadanya.” (HR Abu Daud).

Penyebutan kata ‘orang yang berperang’ di jalan Allah mengindikasikan bahwa dari ke delapan ashnaf zakat tak satupun yang diberi zakat sebagai ‘orang yang berperang’ kecuali mereka adalah oang-orang yang berhak menerima zakat dari pos fii sabilillah.

  1. Karena kata sabilillah umumnya dimutlakan pada makna jihad. Sedangkan zakat tidak diberikan kecuali kepada mereka yang membutuhkannnya seperti orang fakir atau mereka yang dibutuhkan umat Islam seperti amil zakat. Dan tidak benar jika fii sabilillah diartikan haji sebab ia tidak memberikan manfaat bagi umat Islam dan juga tidak dibutuhkan oleh mereka. Atau jika itu dimaksudkan untuk orang haji yang fakir maka kewajiban haji bagianya tidak ada sebab kefakirannya. Sekiranya zakat diberikan kepadanya sebagai tathawu’ (pemberian semata), maka pemberian zakat untuk mereka yang membutuhkan dan memenuhi kebutuhan kemaslahatan umat tentu lebih utama (Ibnu Qudamah, 2000).
  2. Jika diartikan sabilillah kepada keumuman maknanya yakni segala bentuk kebaikan maka itu dapat dibenarkan. Namun telah disepakati bahwa Allah Ta’ala tidak memaksudkan sedekah (zakat) untuk segala bentuk kebaikan oleh karenanya Dia menyebutkan hanya ada delapan ashnaf dari sekian banyak golongan yang membutuhkan sebagai bentuk pembatasan. Oleh karena itu tidak boleh zakat diberikan kecuali kepada golongan-golongan yang disebutkan secara dhahir oleh nash (Ibnu Hazm, 2003).

Pendapat kedua yakni mereka yang meluaskan makna fii sabilillah kepada makna lain selain perang. Diantara mereka ada yang meluaskan maknanya hanya pada haji dan umrah sehingga makna fii sabilillah adalah perang, haji dan umrah. Ada pula yang meluaskan maknanya seluas-luasnya pada segala perbuatan baik yang mendekatkan kepada Allah atau yang bertujuan untuk kemaslahatan umum.

Pendapat kedua terbagi menjadi empat. Pertama, di luar perang, haji dan umrah lah yang termasuk kategori fii sabilillah. Pendapat ini dipegang oleh beberapa sahabat diantaranya Ibnu Abbas dan Ibnu Umar (Al Qurthubi, 2006). Selain itu juga menjadi pendapat Imam Ahmad, Imam al Hasan dan Ishaq bin Rohawaih (Ibnu Katsir, 1998).

Diantara dasar dari pendapat ini adalah :

  1. Hadits Ummu Ma’qal radliallahu’anha, ia berkata : Abu Ma’qal pergi menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ketika ia tiba, Ummu Ma’qal berkata, “Aku tahu bahwa aku wajib berhaji.” Lalu keduanya berjalan hingga bertemu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ummu Ma’qal berkata, “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku wajib berhaji. Dan Abu Ma’qal mempunyai seekor unta. Abu Ma’qal berkata, “Kamu benar. Aku menjadikannya fii sabilillah.” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Berikanlah unta itu kepadanya dan berhajilah dengan mengendarai unta itu. Sesungguhnya (haji) itu adalah fii sabilillah.” (HR Abu Daud).

Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di atas dengan jelas menyebutkan bahwa haji adalah bagian dari fii sabilillah. Dengan dasar itu beliau membolehkan zakat berupa unta yang diberikan Abu Ma’qal untuk tujuan fii sabilillah dalam konteks haji.

  1. Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Haji dan umrah fii sabilillah.” (Al Jashash, 1984).
  2. Beberapa atsar’ (hadits mauquf) yang diantaranya disandarkan kepada Ibnu Abbas dan Ibnu Umar (Al Baghdadi, 2007).

Kedua, selain perang, fii sabilillah juga bisa dimaknai berdasarkan keumumannya yakni segala perbuatan baik yang mendekatkan kepada Allah. Pendapat ini disandarkan kepada beberapa ahli fikih (Ar Razi, 1981). Selain itu disebutkan dalam keputusan al Majma’ al Fiqh al Islami di bawah Rabithah al ‘Alam al Islami dalam pertemuannya ke 2 di Makkah (427/4/1405H – 8/5/1405H) bahwa pendapat ini menjadi pandangan sedikit dari kalangan ulama mutaqaddimin dan disetujui oleh banyak dari ulama kontemporer (Markaz al Buhuts wa al Dirasat bi al Mabrah, 2007).

Dasar pendapat ini adalah keumuman makna fii sabilillah (Al Fanisan, 2003).

Ketiga, fii sabilillah dapat diperluas maknanya pada kemaslahatan umum. Inilah pendapat beberapa ulama kontemporer seperti Rasyid Ridha (Rasyid Ridha, 1947), Al Maraghi (Al Maraghi, 1953), Muhammad Syaltut (Syaltut, 1991) dan yang lain.

Dasar pendapat ini diantaranya :

  1. Tidak diketahui dalam Al Qur’an penyebutan fii sabilillah untuk selain makna kemaslahatan yang bersifat umum dan komprehensif (Al Asyqar, 1999).
  2. Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam membayar diyat seorang sahabat yang gugur pada perang Khaibar dan tidak diketahui pembunuhnya dengan 100 ekor unta dari zakat.

Dari hadits di atas dipahami bahwa jika dibolehkan memberikan zakat untuk membayar diyat seorang yang terbunuh demi menghindari perselisihan dan menjaga keamanan tentu tidak mengapa bahkan lebih dibolehkan jika dibayarkan untuk urusan keamanan negara dan menjaga kemaslahatan umum (Abdul Qadir, 1983).

Keempat, fii sabilillah diperluas maknanya selain jihad untuk aktifitas menuntut ilmu (Al Alusi, 1995). Pendapat ini dinukil Ibnu ‘Abidin dalam hasyiyah-nya dari fataawa al Dhahiriyyah (Habibullah, Ibdalsyah dan Tarmidzi, 2017).

Pendapat ketiga, yakni yang menengahi antara dua pendapat sebelumnya. Dalam pendapat ini konsep fii sabilillah ditegaskan kepada makna jihad. Hanya saja makna jihad diperluas tidak hanya dalam konteks perang namun juga jihad dengan harta dan lisan. Sehingga dengan pemaknaan ini zakat bisa diberikan untuk keperluan dakwah (jihad dengan lisan) atau segala kebutuhan untuk menunjang kegiatan yang bertujuan menegakkan kalimat Allah. Pendapat ini dipegang oleh Rabithah ‘Alam dalam al Majma’ al Fiqh al Islami (Markaz al Buhuts wa al Dirasat bi al Mabrah, 2007) dan Seminar Pertama Zakat Kontemporer yang diselenggarakan di Kaero tahun 1988 (Abdul Qadir, 1983). Pendapat ini juga dipegang oleh Syeikh Yusuf Al Qardhawi dalam Fikih Zakatnya (Al Qardhawi, 1973).

Dasar dari pandangan ini diantaranya :

  1. Bahwa dhahir uslub yang digunakan Al Qur’an pada ayat zakat menghendaki makna yang khusus (pembatasan), bukan maknanya yang umum. Sehingga perluasan makna fii sabilillah menjangkau banyak aspek. Tentu saja konsep perluasan ini menyelisihi uslub pembatasan makna yang digunakan dalam ayat zakat (Al Qardhawi, 1973).
    1. Bahwa jihad dalam Islam tidak terbatas pada konteks perang. Banyak ayat dan hadits yang menyebut beberapa aktifitas seperti infaq dan dakwah dengan sebutan jihad (Al Ghafili, 2008)
  2. Sekiranya dakwah tidak termasuk dalam pemaknaan jihad dalam nash, maka bisa digunakan qiyas dengan mempertemukan ‘illah-nya berupa upaya menolong agama Allah dan meninggikkan kalimat-Nya (Al Qardhawi, 1973).

Dari berbagai pendapat di atas, pendapat paling rajih –wallahu’alam bi al showab– adalah pendapat terakhir. Dasar pandangan ini sama dengan dalil-dalil yang dikemukakan pada pendapat pertama yang membatasi makna fii sabilillah pada makna jihad. Namun makna jihad tidak dibatasi hanya pada konteks perang. Kata jihad bisa diperluas maknanya hingga jihad dengan harta, jiwa dan lisan.

Selain itu dikuatkan dengan ayat yang menyebutkan jihad dengan makna dakwah yakni firman Allah Ta’ala :

{ فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا }

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al Furqan : 52).

Ayat di atas termasuk ayat-ayat makkiyah yang diturunkan sebelum Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Sebagaimana diketahui syariat jihad dengan senjata tidak ditegakkan kecuali setelah beliau hijrah ke Madinah. Saat beliau di Makkah Allah tidak memerintahkannya berjihad dengan mengangkat senjata, namun dengan berdakwah menegakkan kebenaran. Dan Allah menyebut dakwah ini sebagai jihad yang besar (Al Buthi, 1993).

Pendapat tersebut sanggup mengumpulkan antara uslub hashr (pembatasan) dalam ayat zakat dengan sumber-sumber lafadh yang luas maknanya yang terdapat pada Al Qur’an dan Sunnah. Dengan konsep seperti ini dapat dihindari pengkhususan yang sempit dan perluasan yang terlalu luas. Konsep pemaknaan demikian tidak keluar dari konsep pendefinisian berdasarkan uslub syari namun juga tidak terlalu membatasi pendifinisian berdasarkan uslub lughawi (bahasa) (Al Ghafili, 2008).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa zakat bisa digunakan untuk keperluan operasional pendidikan namun dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Lembaga pendidikan penerima zakat adalah lembaga pendidikan yang diantara tujuannya menegakkan kalimah Allah, menolong agama-Nya, melawan upaya-upaya pendangkalan aqidah atau pemurtadan.
  2. Lembaga pendidikan tersebut adalah yang mengkaji ilmu-ilmu syar’i di dalamnya. Sehingga dengan ilmu itu dapat menjadi bashirah guna bekal dakwah para peserta didiknya. Maka lembaga pendidikan umum atau Islam namun tidak fokus pada pembelajaran ilmu-ilmu syar’i tidak berhak menerima zakat.
  3. Zakat yang digunakan bisa berupa bantuan pengadaan buku-buku keIslaman, pengadaan sarana atau pembangunan gedung.

Zakat dari pos fii sabilillah tidak bisa digunakan untuk bantuan biaya pendidikan bagi siswa ataupun tenaga pengajar di lembaga-lembaga pendidikan dengan kriteria di atas.

Sumber Referensi :

  1. Abdul Qadir, Muhammad. (1983). Infaaq al Zakat fi al Mashalih al ‘Ammah. Aman : Daar al Furqan.
  2. Al Alusi, Syihab al Diin Mahmud. (1995). Ruuh al Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al ‘Adhim wa al Sab’i al Matsani. Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
  3. Al Asyqar, Umar. (1999). Masymuulat Mashraf fii sabilillah bi Nadhrah al Fiqhiyah al Mu’ashirah. Aman : Daar al Nafais.
  4. Al Baghdadi, Abu Ubaid Al Qasim. (2007). Al Amwaaal. Mesir : Daar al Hadyi an Nabawi.
  5. Al Bahuti, Manshur bin Yunus. (2000). Kasyaf al Qinaa’ ‘an Matni al Iqnaa’. Saudi : Wizaarah al ‘Adl.
  6. Al Buthi, Muhammad Said Ramadhan. (1993). Al Jihad fi al Islam : Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu. Beirut : Daar al Fikr.
  7. Al Fanisan, Su’ud. (2003). Mashraf wa Fii Sabilillah Baina al ‘Umum wa al Khusush. Riyadh : Maktabah al Taubah.
  8. Al Ghafili, Abdullah bin Manshur. (2008). Nawazil al Zakat : Dirasaat Tashiliyah li Mustajaddaat al Zakah. Riyadh : Daar al Maiman.
  9. Al Jashash, Ahmad bin Ali. (1984). Ahkaam al Qur’an. Beirut : Daar Ihya al Turats al ‘Araby.
  10. Al Kasani, ‘Ala al Din Abu Bakr. (1986). Badaai’ al Shanaai’ fii Tartiib al Syaraai’. Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
  11. Al Maqdisi, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah. (1985). Al Mughni. Beirut : Daar Ihyaa al Turats al ‘Araby.
  12. Al Maraghi, Ahmad Musthofa. (1974). Tafsir Al Qur’an. Beirut : Daar al Fikr.
  13. Al Nawawi, Abu Zakaria Yahya. (2006). Al Majmu’ Syarh al Muhadzab. Riyadh : Daar ‘Alim al Kutub.
  14. Al Qordhawi, Yusuf. (1973). Fiqh al Zakah. Beirut : Muassasah al Risalah.
  15. Al Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad. (2006). Al Jaami’ lii Ahkaam al Qur’an. Beirut : Al Resalah Publisher.
  16. Habibullah, E.S., Ibdalsyah., Tarmidzi, Erwandi. (2017). Analisis Perbandingan Konsep Ashnaf Fii sabilillah Dalam Alokasi Dana Zakat. Kasaba : Journal of Islamic Economy, 10(2), 210 – 224.
  17. Ibnu Al Atsir, Majdu al Din Abu Sa’adat al Mubarak. (1978). Al Nihayah fii Gharib al Hadits wa al Atsar. Beirut : Al Maktabah al ‘Ilmiyah.
  18. Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali. (2003). Al Muhalla. Riyadh : Bait al Afkaar al Dauliyah.
  19. Ibnu Katsir, Abu al Fida Ismail. (1998). Tafsir al Qur’an al ‘Adhim. Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
  20. Markaz al Buhuts wa al Dirasat bi al Mabrah. (2007). Aqwaal al ‘Ulama fi al Mashraf al Sabi li al Zakat (Fii sabilillah). Kuwait : Mabraah al Aal wa al Ashaaab.
  21. Ridha, Rasyid. (1947). Tafsir al Manaar. Kaero : Daar al Manaar.
  22. Syaltut, Muhammad. (1991). Al Fataawa. Kaero : Daar al Syuruq. (A/TLc/RS1)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.