Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tinjauan Syar’i Zakat Untuk Peserta Didik (Oleh: Taufiqurrahman, Lc)

taufiq - Senin, 25 Januari 2021 - 11:21 WIB

Senin, 25 Januari 2021 - 11:21 WIB

7 Views ㅤ

Santri Tahfidz Madrasah Al Fatah Cileungsi Bogor - minanews.net -

Oleh : Taufiqurrahman, Lc

Para ahli fikih sepakat bahwa pelajar berhak memperoleh zakat namun mereka berselisih pada syarat-syaratnya. Perbedaan tersebut terletak : Pertama, pada kesanggupan atau tidaknya mencari nafkah di tengah kesibukan menuntut ilmu. Kedua, pada jenis ilmu yang dipelajari. Dan Ketiga, pos zakat yang disalurkan untuk mereka.

  1. Perbedaan terkait pelajar fakir namun mampu bekerja

Para ulama fikih sepakat hukum kebolehan alokasi dana zakat untuk peserta didik. Hal itu sebagaimana dijelaskan para ulama hanafiah, syafi’iyah dan hanabilah serta dipahami dari keterangan yang disampaikan ulama malikiyah. Dasarnya karena mereka membolehkan alokasi zakat untuk orang yang sehat dan mampu untuk bekerja meskipun dia meninggalkan pekerjaan berdasarkan pada pilihannya saja (Wizarah al Auqaf wa al Syuun al Islamiyah, 1993).

Hanya saja kesepakatan tersebut ada pada keadaan pelajar fakir yang menuntut ilmu yang tidak bekerja, karena tidak mampu menggabungkan kesibukannya pada aktifitas menuntut ilmu sekaligus mencari nafkah (Al Ghafili, 2008).

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Adapun pelajar yang kaya atau fakir namun sanggup bekerja dan mampu menggabungkan antara kesibukannya belajar dengan kesibukannya bekerja, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat terkait kebolehannya mendapatkan dana zakat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada status orang fakir yang mampu bekerja mencari nafkah.

Imam ad Darimi menyebut ada tiga pandangan ulama terkait hak pelajar menerima zakat. Pertama, pelajar berhak menerima zakat meskipun ia mampu bekerja. Kedua, pelajar tidak berhak menerima zakat jika ia mampu bekerja. Ketiga, jika pelajar tersebut cerdas dan karenanya ia diharapkan bisa bermanfaat bagi muslimin maka ia berhak menerima zakat. Namun apabila pelajar tersebut tidak cerdas dan tidak bisa diharapkan manfaatnya bagi umat maka ia tidak berhak menerima zakat (Nawawi, 2008).

Menurut ulama madzhab Hanafi dan Maliki, orang fakir berhak menerima zakat, meskipun ia mampu bekerja mencari nafkah. Sedangkan ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa orang fakir tidak berhak mendapatkan dana zakat jika ia mampu bekerja (Al Ghafili, 2008). Bahkan sebagian ulama syafi’iyah mensyaratkan pelajar penerima zakat harus yang cerdas (Wizarah al Auqaf wa al Syuun al Islamiyah, 1993).

Dasar bolehnya orang fakir namun mampu bekerja untuk menerima zakat diantaranya :

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Pertama, karena status kefakiran telah ada pada orang tersebut. Dan orang yang memiliki harta kurang dari batasan nishab maka dia tergolong fakir (Ibnu Najim, 1997).

Kedua, karena hadits Ubadillah bin ‘Adi radliallahu’anhu yang menyebutkan, ada dua orang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam saat beliau sedang membagi harta zakat. Lantas keduanya meminta bagian dari zakat itu. Namun saat melihat keduanya tampak kuat, beliau mengatakan kepada mereka, “Jika kalian berdua mau, akan kuberikan. Tapi tidak ada hak pada zakat bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang kuat yang mampu bekerja.” (HR Abu Daud).

Perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Jika kalian berdua mau, akan kuberikan,” menunjukan bolehnya orang fakir yang mampu bekerja menerima harta zakat (Al Kasani, 1986).

Namun hadits yang sama di atas juga menjadi dalil pandangan ulama syafi’iyah dan hanabilah, yang tidak membolehkan orang fakir namun sanggup bekerja untuk menerima zakat. Sisi pendalilannya ada pada perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “…tidak ada hak pada zakat bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang kuat yang mampu bekerja.”

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Lalu bagaimana memahami lafadz yang artinya, “Jika kalian berdua mau, akan kuberikan,” ?

Pada hadits di atas kedua lelaki yang menemui Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan meminta harta zakat itu, terlihat sebagai orang yang mampu mencari nafkah. Sehingga beliau tidak menganggapnya fakir yang berhak menerima zakat. Sekiranya keduanya menampakan kebutuhannya dan kefakirannya dan tidak terlihat padanya tanda-tanda sebagai orang yang mampu bekerja, tentu mereka berhak menerima zakat (Bin Baaz, 2010).

Adapun status kefakiran tidak lantas menggolongkannya ke dalam golongan fakir. Sebab kemampuannya mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhannya telah mengeluarkannya dari status fakir menjadi orang yang kaya (Al Ghafili, 2008).

Pendapat paling rajih (kuat) –wallahua’lam– adalah pandangan kelompok yang tidak membolehkan orang fakir namun sanggup bekerja untuk menerima zakat.

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Yusuf Al Qardhawi menjelaskan alasan orang yang mampu bekerja meski ia fakir tidak berhak menerima zakat. Sebab Islam mewajibkan orang yang sanggup bekerja untuk bekerja. Ia tidak boleh meninggalkan kesempatan untuk bisa bekerja lalu memilih mengambil harta zakat atau meminta-minta (Al Qardhawi, 1973)

Pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelajar yang fakir berhak menerima zakat karena statusnya sebagai seorang fakir. Namun boleh itu dibatasi pada syarat ketidaksanggupannya menggabungkan antara kesibukan mencari ilmu dengan mencari nafkah. Keadaan itu adalah jika ia mencari nafkah maka hal itu menyebabkan berkurangnya kualitas pendidikannya. Dan mencari ilmu lebih diutamakan di banding mencari nafkah. Sebab ilmu bermanfaat tidak hanya untuk dirinya melainkan juga untuk umat.

  1. Perbedaan Jenis Ilmu yang Dipelajari

Para ulama sepakat akan kebolehan penuntut ilmu syari menerima zakat. Namun mereka berbeda pendapat terkait pelajar yang menuntut ilmu duniawi.

Sebagian ulama membolehkan pelajar ilmu duniawi seperti kedokteran, arsitektur atau fisika menerima zakat. Karena mereka masuk ke dalam keumuman makna penuntut ilmu yang mereka berhak menerima zakat (‘Afanah, 2015).

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Namun Syeikh Hisamuddin ‘Afanah mensyaratkan ilmu yang dipelajari merupakan ilmu yang mubah dan dibutuhkan oleh umat Islam. Selain itu juga penuntut ilmu tersebut tidak punya kemampuan menggabungkan dua kesibukan, antara mencari nafkah dan mencari ilmu.

Sementara itu sekolompok ahli fikih berpandangan hanya pelajar ilmu syar’i saja yang berhak menerima zakat (Wizarah al Auqaf wa al Syuun al Islamiyyah, 1993). Diantara ulama yang berpandangan demikian adalah Syeikh Utsaimin.

Dalil pendapat yang membolehkan pelajar ilmu duniawi (non-syari) menerima zakat adalah keumuman statusnya sebagai orang fakir yang tidak mampu mencari nafkah karena kesibukkanya menuntut ilmu. Dengan demikian ia mendapatkan harta zakat karena statusnya sebagai orang fakir.

Adapun pendapat ke dua yang tidak membolehkan pelajar ilmu duniawi menerima zakat dan hanya membatasi pada ilmu syar’i saja beralasan bahwa keadaanya belajar ilmu duniawi tidak lebih baik dibanding ia bekerja. Apabila ia mampu menyempatkan waktu untuk belajar ilmu umum, tentu seharusnya ia mampu mencari kerja (Utsaimin, 2003). Selain itu, menurut Syeikh Utsaimin, karena agama ditegakkan dengan ilmu dan senjata.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

Berdasarkan uraian di atas pendapat yang paling rajih –wallahua’alam– adalah yang membolehkan zakat untuk pelajar ilmu umum atau duniawi. Namun kebolehan ini dibatasi syarat-syarat yaitu statusnya sebagai orang fakir yang tidak mampu bekerja karena kesibukan belajar. Selain itu ilmu umum yang dicari adalah ilmu yang dihukumi boleh, bersifat fardhu kifayah dan dapat dirasakan manfaatnya untuk umat.

Meskipun ilmu umum itu lebih bersifat duniawi namun sekiranya dengan ilmu itu memudahkan dan membantunya mendapat pekerjaan sehingga dengan itu kebutuhan dasarnya dapat dipenuhi, maka atas dasar itu pula ia berhak menerima zakat.

Setidaknya itulah yang juga menjadi pandangan Ibnu Taimiyah dalam keterangan Al Mardawi di kitab al Inshaf. Ibnu Taimiyah, jelasnya, memilih pandangan bolehnya mengambil harta zakat untuk keperluan membeli buku-buku yang ia sibuk mempelajarinya. Dari buku-buku itu ia mengambil manfaat untuk kemaslahatan agama dan dunianya (Al Mardawi, 1998).

  1. Pos Zakat untuk Pelajar

Pelajar, sebagaimana kesepakatan ulama, berhak menerima zakat. Hanya saja mereka berbeda pandangan apabila pelajar itu mampu bekerja di tengah kesibukannya mencari ilmu dan tidak mengurangi kualitas ilmu yang dicarinya.

Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir

Adapun pos zakat yang diberikan kepada pelajar bisa melalui beberapa pos sesuai dengan status pelajar tersebut. Pos-pos itu adalah pos fuqara, ibnu sabil dan fii sabilillah.

3.1 Pos Fuqara

Pelajar yang fakir dan tidak mampu bekerja karena kesibukannya mencari ilmu berhak menerima zakat. Jika pelajar tersebut benar-benar membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan primernya baik berupa pakaian, makanan atau bahkan mobil untuk mengantarnya ke tempat ia belajar maka ia menerima zakat karena statusnya sebagai orang fakir (Bin Baaz, 2007).

Namun, sebagaimana telah disimpulkan sebelumnya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yakni :

Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah

  1. Tidak mampu bekerja karena kesibukannya menuntut ilmu. Jika ia mampu menggabungkan kesibukan menuntut ilmu dengan bekerja, maka ia tidak berhak menerima harta zakat.
  2. Ilmu yang dicari adalah ilmu syariat atau ilmu umum namun bersifat fardhu kifayah dan boleh dicari serta dibutuhkan umat atau ia butuhkan untuk memudahkannya mencari kerja, menghidupi kebutuhan-kebutuhan dasarnya.
  3. Zakat yang dikeluarkan untuknya hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya.

3.2 Pos Ibnu Sabil

Pelajar musafir yang bepergian dalam rangka menuntut ilmu berhak menerima zakat dari pos ibnu sabil. ‘Illah (sifat hukum) kebolehannya menerima zakat adalah statusnya sebagai musafir (Al Ghafili, 2008).

Setidaknya ada dua syarat dari Al Ghafili yang harus dipenuhi sehingga pelajar berhak menerima zakat dari pos ibnu sabil.

Pertama, terpenuhi sifat safarnya yakni tidak berencana tinggal dalam waktu yang lama di negeri safarnya. Sehingga seorang yang bepergian jauh ke suatu negeri dalam rangka mencari ilmu dan ia telah berada di negeri itu dalam waktu yang lama atau berencana tinggal di tempat safarnya dalam waktu lama maka ia tidak disebut sebagai musafir, melainkan mukim. Maka dengan itu ia tidak berhak menerima zakat.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah

Kedua, ia memiliki harta yang cukup di negeri asalnya namun ia tidak mampu mengakses harta tersebut. Jika ia tidak memiliki harta di negeri asalnya, maka ia berhak mendapat zakat dari pos fakir, bukan pos ibnu sabil. Atau jika ia mampu mengakses harta di negeri asalnya seperti melalui transfer antar bank maka ia tidak berhak mendapat zakat sebab ia adalah pelajar kaya yang bisa memenuhi hajatnya saat menuntut ilmu.

3.3 Pos Fii sabilillah

Sebagian ulama memasukan pelajar yang berhak menerima zakat ke dalam golongan fii sabilillah. Dasar dari penetapan ini adalah keluasan makna fii sabilillah. Mereka menafsirkan diantara makna fii sabilillah adalah kegiatan menuntut ilmu.

Diantara mereka adalah sebagian ulama hanafiah. Mereka berpendapat penafsiran fii sabilillah kepada makna menuntut ilmu memiliki dasar (Ibnu ‘Abidin, 1992). Sehingga adanya makna menuntut ilmu yang terkandung pada istilah fii sabilillah menjadi dasar kebolehan penuntut ilmu menerima zakat dari pos fii sabilillah.

Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?

Status pelajar sebagai mujahidin fii sabilillah sehingga berhak menerima zakat tidak melihat keadaanya, fakir atau kaya. Sebab, sebagaimana mereka yang berperang fii sabilillah yang tidak disyaratkan fakir untuk menerima zakat, maka pelajar yang memiliki harta cukup tetap berhak menerima zakat. Karena mereka para pelajar memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dibanding mereka yang berperang (Al Qonuji, 1993)

Menurut Al Ghafili dasar lain penetapan pelajar sebagai golongan fii sabilillah adalah qiyas. Jika amil yang bekerja mengelola zakat berhak menerima zakat karena kesibukannya dalam amanah itu untuk memberikan manfaat kepada muslimin, maka dengan begitu para pelajar pun berhak meraih zakat. ‘Illah (sifat hukum) yang mempertemukan keduanya adalah mengabdikan diri untuk kemaslahatan kaum muslimin (‘Afanah, 2015).

Sebagian ulama lain tidak meluaskan cakupan fii sabilillah dan hanya membatasi maknanya pada konteks jihad dalam arti perang atau yang terkait dengannya. Berdasarkan batasan makna ini maka penuntut ilmu tidak tergolong ke dalamnya dan tidak berhak menerima zakat dari pos fii sabilillah.

Dasar-dasar perbedaan antara yang meluaskan dan membatasi makna fii sabilillah insyaAllah dibahas pada bagian zakat untuk operasional lembaga pendidikan.

Berdasarkan semua uraian di atas dapatlah disimpulkan hal-hal berikut :

  1. Pelajar berhak menerima zakat dari pos fuqara apabila ia fakir dan tidak sanggup bekerja karena kesibukannya mencari ilmu.
  2. Pelajar berhak menerima zakat dari pos ibnu sabil dengan syarat memiliki harta cukup di negara asalnya namun tidak bisa diakses dan telah terpenuhi sifat safar padanya yakni waktu tinggal di negara safarnya tidak lama.
  3. Pelajar berhak menerima zakat dari pos fii sabilillah dengan syarat ilmu yang ia cari merupakan ilmu syar’i yang dengannya ia berjuang menegakkan agama.
  4. Pelajar berhak menerima zakat dari ke tiga pos di atas dengan syarat ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu yang bermanfaat, fardhu kifayah dan bermanfaat untuk umat Islam, baik itu ilmu syar’i atau ilmu umum (T/RA 02).

Sumber Referensi :

  1. ‘Afanah, Hisamuddin. (2015). Yasaluunak al Juz al ‘Isyruun. Baitul Maqdis : Universitas Al Quds.
  2. Al Ghafili, Abdullah bin Manshur. (2008). Nawazil al Zakat : Dirasaat Tashiliyah li Mustajaddaat al Zakah. Riyadh : Daar al Maiman.
  3. Al Kasani, ‘Ala al Din Abu Bakr. (1986). Badaai’ al Shanaai’ fii Tartiib al Syaraai’. Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
  4. Al Mardawi, ‘Alaa al Diin Abu al Hasan. (1998). Al Inshaf fii Ma’rifa al Rajih min al Khilaf. Beirut : Daar Ihyaa al Turats al ‘Araby.
  5. Al Qonuji, Shidiq Khan. (1993). Al Roudhah al Nadiyah Syarh al Durur al Bahiyah. Riyadh : Maktabah al Kautsar.
  6. Al Qordhawi, Yusuf. (1973). Fiqh al Zakah. Beirut : Muassasah al Risalah.
  7. Bin Baaz, Abdul Aziz. (2010). Fatawa Nuur ‘Ala Darb al Juz al Khamis ‘Asyar. Riyadh : Al Riasah al ‘Amah li al Buhuts al ‘Ilmiyah wa al Iftaa.
  8. Ibnu Najim, Zainuddin. (1997). Al Bahru al Raiq Syarh Kanz al Daqaid. Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
  9. Nawawi, Abu Zakaria Yahya. (2008). Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab. Jeddah : Maktabah al Irsyad.
  10. Utsaimin, Muhammad bin Shalih. (2003). Majmu’ Fatawa wa Rasail Syeikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin al Mujallad al Tsamin ‘Asyr. Riyadh : Daar al Tsuraya.
  11. Wizarah al Auqaf wa al Syuun al Islamiyyah. (1993). Al Mausu’ah al Fiqhiyah. Kuwait : Author. (A/RA2/P1)              Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Kolom
Indonesia