Beijing, 17 Muharram 1437/30 Oktober 2015 – Pemerintah Tiongkok pada Kamis (29/1) mengumumkan penghapusan kebijakan satu anak (one-child policy) yang telah diberlakukan selama lebih dari tiga dekade.
Aturan pembatasan memiliki anak telah menyebabkan rasio jenis kelamin di ‘Negeri Tirai Bambu’ itu tidak seimbang, karena preferensi tradisional masyarakat lebih memilih anak laki-laki ketimbang perempuan, sehingga membuat pasangan kerap melakukan aborsi paksa.
Sebuah komunike yang dikeluarkan Komite Sentral Partai Komunis China (CPC) mengatakan, pemerintah mengizinkan semua pasangan memiliki dua anak. Tujuannya untuk meningkatkan keseimbangan pertumbuhan penduduk dan merespon masalah generasi yang menua.
“Semua pasangan akan diizinkan memiliki dua anak. Perubahan bersejarah ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan perkembangan penduduk dan mengatasi tantangan populasi yang menua,” ungkap kantor berita pemerintah Xinhua dalam laporannya seperti dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Langkah ini mungkin tidak akan memacu ledakan kelahiran bayi yang besar karena tingkat kesuburan diyakini menurun. Pelonggaran kebijakan satu anak sebelumya juga memacu tingkat kelahiran lebih sedikit dari yang diharapkan.
Pada November 2013, CPC mengumumkan mereka akan memungkinkan pasangan untuk memiliki dua anak jika salah satu dari orangtua atau pasangan adalah anak tunggal. Itu merupakan pelonggaran besar pertama dari kebijakan tersebut selama hampir tiga dekade.
Para pihak yang aktif mengampanyekan masalah kependudukan menyambut baik langkah itu, namun menekankan bahwa kebijakan dua anak masih menunjukkan bahwa negara masih mempertahankan mekanisme kontrol populasi.
“Ini kabar baik bagi pasangan yang ingin memiliki anak kedua,” kata Maya Wang dari Human Rights Watch seperti dikutip NDTV.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
“Tapi selama kuota dan sistem pengawasan tetap ada, perempuan masih tidak menikmati hak-hak reproduksi,” tandasnya.
William Nee dari Amnesty International mengatakan di Twitter, “Kebijakan dua anak tidak akan mengakhiri sterilisasi paksa, aborsi paksa, kontrol pemerintah atas izin melahirkan.”
Kebijakan satu anak yang dilembagakan pada akhir 1970-an, menetapkan sebagian besar pasangan atau orangtua hanya boleh memiliki keturunan tunggal. Selama bertahun-tahun pemerintah meyakini kebijakan itu merupakan kunci penting dari ledakan ekonomi ‘Negeri Panda’ itu.
Aturan kependudukan yang kontrovesrsial tersebut ditegakkan oleh sebuah komisi nasional khusus dengan menerapkan sistem denda bagi pelanggar dan sering menyebakan tindakan aborsi yang dipaksakan.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
Kenyatannya, kebijakan satu anak telah membawa sejumlah masalah krusial terhadap populasi penduduk China yang terbesar di dunia (1,37 miliar jiwa), seperti menua lebih cepat, ketidakseimbangan gender yang parah, dan menyusutnya tenaga kerja. (T/P022/P001)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu