DI DALAM tenda di lingkungan Kota Gaza, Tita Reda Aliwa menyiapkan satu porsi makanan untuk 36 cucunya. Mereka saling berdesakan, berharap mendapatkan sesendok lentil saja.
“Giliranku, Tita Reda,” salah satu anak memohon. Kata Tita dalam bahasa Arab berarti nenek, yang biasa digunakan cucu untuk memanggil nenek mereka.
Dalam sebuah wawancara dengan Quds News Network (QNN), Aliwa berkata, “Anak-anak saya dulu merawat saya, sekarang saya yang merawat anak-anak mereka.”
Kelima putranya syahid dalam dua serangan Israel yang terjadi berselang empat hari pada bulan September lalu, saat mereka berlindung di kamp pengungsian Kota Gaza, hanya beberapa hari sebelum gencatan senjata yang rapuh ditandatangani pada 10 Oktober. Aliwa sendiri terluka dalam salah satu serangan dan mengalami sempat mengalami koma.
Baca Juga: UNCTAD: Perang Israel di Gaza Hancurkan 69 Tahun Pembangunan
Ketika ia tersadar, suaminya menyampaikan kabar buruk: semua putranya telah tiada. Meskipun telah diperingatkan oleh dokter, ia segera meninggalkan rumah sakit, didorong oleh kekhawatiran akan cucu-cucunya.
“Satu-satunya yang ada di pikiran saya di rumah sakit adalah anak-anak,” ujarnya kepada QNN.
Wanita berusia 60 tahun ini dan suaminya kini menjadi satu-satunya pengasuh bagi cucu-cucu mereka, berusaha membangun kembali kehidupan yang hancur akibat genosida Israel selama dua tahun.
Beban berat
Baca Juga: Israel Terima Jenazah Sandera dari Gaza, Dua Masih Dicari
Cucu-cucunya yang berusia mulai dari satu setengah bulan hingga 17 tahun, semuanya selamat dari serangan Israel. Namun, beban tanggung jawab mereka segera menjadi jelas.
Tanpa sumber pendapatan, keluarga ini bergantung pada distribusi makanan, tetapi mendapatkan makanan yang cukup tetap menjadi perjuangan sehari-hari.
“Saya mengambil apa pun yang bisa saya dapatkan,” kata Aliwa. “Kadang saya menemukan sesuatu. Di hari lain, tidak ada sama sekali.”
Hidup di ujung kematian
Baca Juga: Hamas Desak Tindakan Darurat untuk Bersihkan Sisa Bom Israel di Gaza
Keluarga tersebut saat ini tinggal di dekat “garis kuning” di lingkungan Shujaiya di Kota Gaza, dikelilingi oleh puing-puing. Garis kuning adalah garis demarkasi samar dan tak terlihat yang memisahkan pasukan pendudukan Israel dari beberapa wilayah Gaza, sambil tetap mempertahankan kendali atas sekitar 50% wilayah tersebut.
Mereka tidur hanya di atas dua tikar, dan tenda mereka sudah lapuk.
Ledakan terus menjadi latar belakang kehidupan mereka, sementara serangan Israel terus berlanjut di sisi lain meskipun ada gencatan senjata.
Tita Reda mengatakan, ia khawatir kehilangan cucu-cucunya di tengah pelanggaran gencatan senjata yang terus dilakukan Israel.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza per 25 November Capai 69.775 Jiwa
“Gencatan senjata macam apa ini? Tidak ada yang memberi kami tenda atau makanan. Dosa apa yang telah dilakukan anak-anak muda ini?” katanya, seraya menambahkan, “Kami khawatir perang bisa kembali terjadi.”
Di antara ribuan anak yatim
Tita Reda juga terus-menerus mengkhawatirkan masa depan. “Jika sesuatu terjadi padaku, apa yang akan terjadi pada 36 anakku (cucuku)?” tanyanya. “Mereka akan menjadi anak jalanan.”
Cucu-cucunya bergulat dengan kesedihan dan trauma. Ketika mereka bertanya tentang orangtua mereka, ia memberi tahu bahwa orangtuanya berada di Surga.
Baca Juga: Genosida di Tepi Barat, B’Tselem Catat 1.000 Orang Tewas Sejak 2023
“Anak-anak kecil berkata, ‘Oke, Tita. Ayo kita pergi ke Surga sekarang untuk menjenguk mereka,'” katanya. “Yang tertua berkata, ‘Hidup itu indah sebelum mereka dibunuh. Sekarang, hidup kami gelap.’.”
Setidaknya 40.000 anak di Gaza telah kehilangan salah satu atau kedua orangtua mereka selama genosida, menurut sebuah laporan yang dikeluarkan pada bulan April oleh Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS), yang menyebutnya sebagai “krisis anak yatim terbesar dalam sejarah modern.”
Di antara mereka terdapat sekitar 17.000 anak yang kehilangan kedua orangtuanya sejak Oktober 2023.
Cucu perempuan Tita Reda yang berusia 13 tahun, namanya Ibtisam, berkata, “Saya ingat rumah kami dan semua kenangan yang saya miliki di sana bersama ibu dan ayah saya, di kamar mereka. Dan sekarang semuanya hilang.”
Baca Juga: Banyak Makan Korban, Yayasan Kemanusiaan Gaza GHF Resmi Tutup
“Dulu kami bersenang-senang setiap hari, duduk di kamar mereka, bermain bersama, dan sekarang semuanya hilang.” []
Sumber: Quds News Network (QNN)
Mi’raj News Agency (MINA)















Mina Indonesia
Mina Arabic