Jakarta, MINA – Koalisi lintas agama dan masyarakat adat mendesak pemerintah Indonesia mencabut seluruh izin usaha pertambangan (IUP) di pulau-pulau kecil, menyebutnya sebagai bentuk “kerusakan terhadap ciptaan Tuhan” dan ancaman serius bagi ekosistem serta kehidupan masyarakat lokal.
Seruan tersebut disampaikan GreenFaith Indonesia menyusul pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Menurut mereka, langkah itu belum cukup dalam menghadapi krisis ekologis yang semakin meluas.
“Pertambangan di pulau kecil mempercepat kehancuran alam dan memperburuk krisis iklim. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi amanah spiritual,” kata Hening Parlan, Direktur GreenFaith Indonesia di Jakarta sebagaimana keterangan tertulisnya diterima MINA, Jumat (13/6).
Ia mengutip Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 56 untuk menegaskan larangan merusak bumi setelah diperbaiki.
Baca Juga: Koh Dennis Lim Nilai Peluang Dakwah di Tiongkok Semakin Terbuka
GreenFaith menyoroti kontradiksi transisi energi yang dianggap hijau, namun justru membawa bencana baru. Tambang nikel untuk baterai kendaraan listrik disebut merusak hutan dan memperparah penderitaan masyarakat, khususnya di Maluku Utara dan Papua.
Menurut data Forest Watch Indonesia, lebih dari 5.700 hektare hutan di Maluku Utara hilang sejak 2021. Studi Nexus Foundation pada Juli 2024 menunjukkan kontaminasi merkuri dan arsenik ditemukan dalam darah warga Teluk Weda, bahkan melampaui kadar pada pekerja tambang. Kasus ISPA di wilayah itu melonjak dari 434 pada 2020 menjadi lebih dari 10.000 pada 2023.
“Transisi energi harus didasarkan pada keadilan ekologis, bukan ketamakan atas nama pembangunan,” kata Parlan.
Dalam khotbah Pentakosta di Timika, Uskup Bernardus Bofitwos Baru OSA menyebut kerusakan lingkungan di Raja Ampat sebagai “kekerasan terhadap alam” dan hasil dari “ketamakan oligarki”.
Baca Juga: Jamaah Haji 2025 Aceh Gelar Shalat Ghaib, Doakan Dua Ulama Kharismatik
Tokoh-tokoh lintas agama lainnya juga mengecam aktivitas pertambangan di wilayah rentan. Pdt. Prof. Binsar Pakpahan, Ph.D, dari STFT Jakarta menyebut eksploitasi alam sebagai bentuk “keserakahan struktural” yang menyalahi kehendak Tuhan. Ia menyerukan hidup ugahari dan menolak normalisasi perusakan lingkungan oleh industri.
Roy Murtadho dari Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar menyayangkan para pemimpin yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi tambang ketimbang perlindungan lingkungan. Sementara Romo Ferry Sutrisna Widjaja mengingatkan kembali seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ tentang tanggung jawab moral menjaga bumi bagi generasi mendatang.
Tokoh adat Putu Ardana dari Dalem Tamblingan juga menggarisbawahi pentingnya menjaga warisan lokal seperti “Piagem Gama Tirta”, ajaran leluhur tentang memuliakan air dan hidup selaras dengan alam.
Dari perspektif Buddhis, Upasaka Titha Sukho menyebut merusak hutan sebagai pelanggaran Dhamma yang membawa penderitaan bagi semua makhluk. Ia mengutip kisah Jataka 247, yang menekankan pentingnya melindungi kehidupan alam.
Baca Juga: [Bedah Berita MINA] Semesta Bergerak untuk Bantu Gaza
GreenFaith Indonesia menyerukan pencabutan menyeluruh atas seluruh IUP yang berdampak pada pulau-pulau kecil, demi “keadilan antargenerasi, martabat masyarakat adat, dan kesetiaan terhadap ajaran suci berbagai agama.”
GreenFaith Indonesia bagian dari jaringan internasional GreenFaith, didirikan pada 2022, yang mempromosikan keadilan iklim melalui pendekatan lintas agama. Organisasi ini aktif dalam pendidikan, kampanye, dan penguatan kapasitas komunitas iman untuk menghadapi krisis iklim secara adil dan berkelanjutan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Prediksi Cuaca Jakarta Berawan Sepanjang Hari Ini