Tolak Timnas Israel Masuk ke Indonesia

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Wartawan Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Dalam sebuah artikel berjudul The Evolution and Impact of the Sporting Boycott of Israel (2022), Dr. Ihab Maharmeh meneliti tentang dampak evolusi boikot olahraga terhadap Israel sejak awal dan dampaknya terhadap sistem kolonial apartheid Israel.

Peneliti di lembaga The Arab Center for Research and Policy Studies Doha itu menuliskan, terjadi perkembangan meluas boikot dalam turnamen olahraga internasional selama sepuluh tahun terakhir.

Pecahnya Revolusi Arab (Arab Spring) pada akhir 2010, memberi dorongan tambahan kepada para pemuda Arab untuk memboikot Israel dalam dunia olahraga.

Perubahan tirani dan otokrasi, memberikan kesempatan kepada atlet Arab, untuk mengubah turnamen olahraga internasional menjadi ruang aksi politik.

Dr. Ihab Marhameh berpendapat, boikot olahraga terhadap Israel yang muncul dalam dekade terakhir, merupakan alat politik bagi para atlet.

Ia menilai, dampak dari kampanye boikot dalam turnamen olahraga internasional, menurunkan reputasi internasional Israel, merek olahraganya, dan upaya diplomatiknya terkait dengan pemasaran olahraganya yang sedang berkembang.

Dr. Ramzy Baroud, Editor Palestine Chronicle, yang juga peneliti di Center for Islam and Global Affairs (CIGA) dalam artikelnya yang berjudul We must boycott Israeli sports as we did with Apartheid South Africa (2019), menyebutkan Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) sedang berjuang untuk bertahan hidup.

Gabungan tekanan AS-Israel terhadap organisasi Palestina yang memberikan bantuan dan dukungan kepada rakyat Palestina, terasa pula di bidang olahraga.

Anggaran PFA telah dipotong lebih dari setengahnya, dan musim sepak bola pun menjadi terganggu. Padahal, sepak bola di Palestina bukan sekedar permainan olahraga. Namun itu memberikan kelonggaran, kesinambungan, harapan, dan persatuan.

Tim nasional Palestina juga adalah tim sepak bola paling terkepung di dunia saat ini.

“Karena pembatasan Israel, tim nasional Palestina telah dilarang memainkan pertandingan kandang mereka di stadion Palestina selama bertahun-tahun. Palestina dipaksa menjadi tuan rumah di negara-negara Arab terdekat,” tulis Hazem Balousha di Arab News.

Ini berarti, semua kamp pelatihan sepak bola Palestina harus diadakan di luar Palestina. Seringkali skuad tim dari Jalur Gaza tidak dapat bergabung dengan rekan-rekan mereka di Tepi Barat. Sementara, tidak ada pelatih asing yang diizinkan memasuki Jalur Gaza yang terblokade.

Sports is Sports?

“Sports is sports, politics is politics”. Ini jargon yang dijadikan pegangan oleh pendudukan Israel untuk mendorong atletnya mengikuti berbagai turnamen internasional.

Apakah memang olahraga tidak terkait politik? Dalam rangkuman Wikipedia dikatakan, politik dan olahraga atau diplomasi olahraga menggambarkan penggunaan olahraga sebagai sarana untuk mempengaruhi hubungan diplomatik, sosial, dan politik.

Diplomasi olahraga dapat melampaui perbedaan budaya dan menyatukan banyak orang. Bahkan, semangat nasionalistik pun dikaitkan dengan kemenangan atau kekalahan cabang olahraga di lapangan. Jadi, jelas ada hubungannya.

Bahkan, event Olimpiade Dunia merupakan contoh politik terbesar dalam penggunaan olahraga untuk sarana diplomatik.

Dalam kasus Apartheid di Afrika Selatan misalnya, olahraga pun digunakan untuk mengisolasi Afsel, dan untuk melakukan perombakan besar-besaran dalam struktur sosial politik negara tersebut.

FIFA waktu itu menangguhkan keanggotaan Asosiasi Sepak Bola Afrika Selatan pada tahun 1961.

Bahkan, pada tahun 1968, Majelis Umum PBB membuat keputusan, melakukan boikot budaya dan olahraga terhadap Afrika Selatan, karena telah mempraktikkan apartheid. Sehingga para seniman, aktor, olahragawan, dan lain-lain tidak bisa tampil di Afrika Selatan, yang sebelumnya tahun 1964 telah ikut dalam Olimpiade.

Katanya “Sports is sports, politics is politics”. Nyatanya? Keputusan badan olahraga dunia untuk mengisolasi Afrika Selatan dalam turnamen olahraga, cukup efektif mengubah kebijakan politik di negara benua hitam tersebut.

Selain itu, banyak juga atlet yang mencari dan memperoleh jabatan politik, setelah dikenal melalui prestasi olahraganya.

Dunia mencatat, misalnya, bagaimana legenda sepak bola dunia asal Brasil, Pele, yang ditunjuk langsung Presiden Brasil sebagai menteri olahraga luar biasa pada tahun 1995.

Pesepakbola George Weah, yang pernah menjadi pemain top dunia, bintang AC Milan, Italia, dipilih rakyatnya menjadi Presiden Liberia pada tahun 2018.

Ada nama lain, yaitu Imran Khan, kapten Timnas Pakistan saat menjuarai Piala Dunia kriket tahun 1992. Kriket merupakan olahraga terkemuka di Pakistan. Ia terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan, periode 2018-2022. Sedikit banyaknya, ia dikenal melalui prestasi olahraganya.

Tidak kalah pamornya, juara dunia tinju, Manny Pacquiao asal Filipina. Ia pun kemudian aktif di dunia politik, hingga menjadi anggota Kongres tahun 2013, dan anggota Senat tahun 2016.

Kini, bagaimana ketika Rusia menyerang Ukraina demi ambisi politiknya, bukan ambisi olahraga. Nyatanya, Rusia diboikot ramai-ramai oleh negara-negara Eropa dalam olahraga. UEFA dan FIFA pun memboikot Rusia dalam seluruh pertandingan sepakbola.

UEFA dan FIFA menghukum Rusia beserta klub sepak bolanya. Termasuk Spartak Moskva, yang dilarang ikut serta dalam kompetisi Liga Champions.

Katanya “Sports is sports, politics is politics”. Nyatanya? Keputusan badan olahraga tersebut tetap bernuansa politik, dan tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan politik.

Tapi bagaimana dengan Israel sekarang? UEFA dan FIFA menggunakan standar ganda, membiarkan Israel bebas mengikuti pertandingan kapan pun, di manapun dan dalam level apapun.

Tidak seperti ketika diberlakukan terhadap Afrika Selatan. Padahal kejahatan Israel lebih dari aphartheid Afsel, bahkan lebih jahat dari serangan Rusia ke Ukraina.

Rupanya FIFA kini menutup mata terhadap pelanggaran pendudukan Israel yang semakin brutal di Palestina. Palestina semakin menderita, sementara Israel terus mempromosikan dirinya sebagai anggota FIFA atas nama olahraga.

Padahal, pendudukan Israel saat ini bukan hanya mempratikkan rezim apartheid dan rasisnya di Palestina. Namun juga telah melakukan berulang kali semua tindak kejahatan kemanusiaan, mulai dari penculikan tanpa sebab, pemenjaraan tanpa sidang, penjarahan, penggerekan, dan deportasi. Termasuk perobohan rumah warga, pembakaran ladang zaitun, hingga pemerkosaan terhadap wanita.

Belum lagi pembunuhan terhadap warga sipil, terutama anak-anak dan orang tua, berbagai jenis pembatasan hingga blokade darat, laut dan udara terhadap sekitar 2 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza.

Boikot Sepakbola Israel  

Lalu bagaimana dengan boikot terhadap Israel? Boikot olahraga terhadap atlet Israel, tentu tidak hanya melibatkan pemerintah, pejabat publik, politisi, aktivis, intelektual dan ulama. Tetapi juga atlet dan orang biasa sekalipun di seluruh dunia.

Gerakan Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) mengatakan, kampanye boikot dilakukan untuk menyebarkan kesadaran akan rasisme Israel dan pelanggaran hak asasi manusia Palestina di seluruh komunitas sepak bola di seluruh dunia.

Selain itu, memboikot olahraga Israel, terutama sepak bola, juga menjadi senjata ampuh tanpa amunisi kimia, untuk menekan pendudukan militer, apartheid, dan rasisme Israel.

Boikot sepakbola, pernah dilakukan Timnas Argentina bertabur bintang, termasuk Lionel Messi, yang membatalkan uji coba melawan Timnas Israel, menjelang Piala Dunia 2018.

Menurut striker Gonzalo Higuain kala itu, keputusan diambil mempertimbangkan situasi politik di wilayah pendudukan, dan mempertimbangkan adanya kemarahan asosiasi sepak bola serta warga Palestina.

“Asosiasi Sepak Bola Argentina membuat keputusan yang tepat,” ujar Higuain.

Pihak Palestina pun merayakan pembatalan laga pertandingan tersebut. Warga Palestina dan otoritas sepak bola negara tersebut berterima kasih kepada Messi dan rekan-rekannya atas boikot pembatalan tersebut.

Ketua Asosiasi Sepak Bola Palestina, Djibril Rajoub mengatakan nilai kemanusiaan, moral, dan olahraga telah mendapatkan kemenangan.

Pemain individu pun banyak yang melakukan aksi mundur alias boikot terhadap atlet Israel, sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina lepas dari penjajahan. Sebut saja misalnya aksi atlet Kuwait, Osama Burahma yang mengundurkan diri dari Asia Triathlon West Asian Championships December 2022, yang digelar di Bahrain, karena keikutsertaan pemain Israel.

Atlet lainnya, pemain tenis Lebanon Mohamed Ataya, mundur dari Kejuaraan Internasional Siprus, karena menolak menghadapi lawan petenis Israel, pada November 2022.

Ada juga seorang pemain catur remaja asal Mauritania, Abdel Rahim Al-Talib Muhammad (14 tahun), yang menarik diri dari Piala Dunia Junior tahun 2021, karena undian itu membuatnya menghadapi pemain Israel.

Kini, tahun 2023 ini, rezim penjajah itu mengirim Timnas sepakbolanya ke Indonesia untuk mengikuti , tanggal 20 Mei-11 Juni 2023 mendatang, berdasarkan jadwal yang ditentukan FIFA.

Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir menyatakan, pihaknya memberikan jaminan keamanan bagi Timnas Israel yang akan hadir ke Indonesia untuk Piala Dunia U-20.

Ia juga mengatakan, negara menjamin kedatangan siapa pun yang bermain di Indonesia, sesuai kontraknya sebagai tuan rumah, ujar Erick di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 2 Maret 2023.

Alasan ini mungkin bisa dipahami, karena Indonesia sudah bersedia menjadi tuan rumah dengan segala konsekwensinya. Termasuk memberikan perlindungan terhadap seluruh peserta pertandingan. Namun apakah Indonesia tidak memperhatikan dan mempetimbangkan faktor masih adanya penjajahan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel?

Apakah juga tidak dipertimbangkan, kebijakan menerima atlet Israel ini dapat dipandang menjadi langkah awal dari normalisasi diplomatik Indonesia-Israel?

Padahal kalau kita melihat bagaimana sikap founding fathers bangsa Indonesia ini, Presiden Soekarno yang bersikap tegas, melarang Timnas Indonesia bertanding melawan Israel. Ini terjadi pada Kualifikasi Piala Dunia 1958.

Dalam sebuah artikel berjudul Kisah Presiden Soekarno Melarang Timnas Indonesia Bertanding Melawan Israel, tapi Sekarang?, (Bolatimes, Selasa, 28 Juni 2022), mengungkapkan bagaimana Presiden Soekarno pernah mengambil sikap yang sangat tegas terhadap Timnas Israel.

Momen itu terjadi ketika timnas Indonesia Anton Pogacnik tergabung dalam satu group  bersama Israel, Sudan, dan Mesir.

Andai menang pada babak ini, Timnas Indonesia punya kesempatan besar melaju ke putaran final Piala Dunia 1958 di Swedia. Akan tetapi, timnas Indonesia memilih menolak bertanding alias memboikot melawan timnas Israel. Tiket untuk lolos ke Piala Dunia 1958 pun sirna. Keputusan boikot ini atas perintah langsung dari Presiden Soekarno.

Indonesia saat itu menolak untuk main di Jakarta atau di Tel Aviv. Indonesia hanya mau bermain di tempat netral, dan tanpa lagu kebangsaan. Namun Israel dan FIFA menolak usulan Indonesia.

Sudan dan Mesir, demi solidaritas terhadap Palestina, waktu itu juga melakukan aksi yang sama, memboikot timnas Israel. Israel pun menjadi juara grup tanpa satu kali pun bertanding di lapangan. Namun, Israel tetap gagal melaju ke putaran final Piala Dunia 1958, karena sesuai Aturan FIFA, syarat tim yang lolos ke Piala Dunia minimal mengikuti satu pertandingan kualifikasi.

Pada akhirnya, FIFA memutuskan Israel harus bertanding memperebutkan tiket ke Piala Dunia 1958 di Swedia, menghadapi tim yang tak lolos Zona Eropa, tapi memiliki nilai tertinggi di fase kualifikasi, yaitu Timnas Wales.

Duel Israel vs Wales digelar dua leg, tanggal 15 Januari 1958 di Tel Aviv, serta 5 Februari 1958 di Cardiff. Wales sukses memenangkan dua pertandingan itu dengan skor agregat 2-0, sehingga lolos ke babak 16 besar Piala Dunia 1958.

Berikutnya, Bung Karno juga dengan tegas melarang kedatangan salah satu Negara peserta, Timnas Israel pada kejuaraan pesta olahraga Asia, Asian Games IV di Jakarta tahun 1962.

Pemerintah Indonesia saat itu menolak untuk mengeluarkan visa bagi delegasi Israel dan Taiwan. Ada tekanan kuat juga dari Negara-negara Arab dan Republik Rakyat Tiongkok kala itu. Kebijakan Indonesia memboikot atlet Israel ini, dianggap menyalahi aturan Olimpiade.

Indonesia pun terpaksa harus menghadapi konsekuensi dari Komite Olimpiade Internasional The International Olympic Committee/IOC). IOC pun menarik diri sebagai pelindung Asian Games IV saat itu.

IOC bahkan melarang benderanya dikibarkan di Jakarta. Puncaknya, Indonesia pun keluar dari IOC. Indonesia juga mendapat sanksi berupa denda administratif sebesar 5.000 franc Swiss (kalau dirupiahkan sekarang, sekitar Rp81,5 juta), karena melanggar Pasal 6 Peraturan FIFA. Pasal ini terkait hukuman kepada negara yang mengundurkan diri ketika sudah memainkan pertandingan Kualifikasi Piala Dunia.

Setahun kemudian, Indonesia menyelenggarakan kejuaraan tandingan, Games of the New Emerging Forces (Ganefo) di Jakarta. Acara olahraga ini berjalan sukses, dan dihadiri 48 negara di dunia, tanpa Israel.

Begitulah, memang Presiden Soekarno paling tegas dalam membela perjuangan bangsa-bangsa tertindas, termasuk dalam membela dan mendukung perjuangan rakyat dan bangsa Palestina.

Dalam studi Lutan dan Huebner, melalui pendekatan geopolitik, fungsi Asian Games 1962 merupakan senjata Presiden Soekarno untuk membawa Indonesia ke peta politik kawasan dan dunia. (Muhammad Yuanda Zara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, Patrawidya, Vol. 19, No. 2, Agustus 2018).

Apa yang pernah dikerjakan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, menjadi sejarah panjang dukungan Indonesia terhadap Palestina, yang harus terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Hal ini seperti dinyatakan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-P, Rifqinizamy Karsayuda yang menegaskan, masalah Palestina dan Israel adalah bagian dari sejarah panjang keberpihakan Indonesia pada kemerdekaan Palestina.

Sebagaimana, telah dilakukan oleh Presiden RI ke-1 Bung Karno dan segenap pendiri bangsa sejak awal kemerdekaan, ujarnya, seperti dalam siaran pers Parlementaria, Rabu 19 Mei 2021.

“Bung Karno tegas menyatakan, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka sepanjang itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajah Israel. Pernyataan ini dikeluarkan Bung Karno pada 1962,” ujar Rifqi.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI periode saat ini, Abdul Fikri Faqih ikut menyoroti rencana penerimaan Negara Israel, sebagai salah satu finalis Piala Dunia Sepakbola U-20 yang akan digelar di Indonesia tahun ini.

Menurutnya, seharusnya pemerintah Indonesia memperhatikan betul sikap Israel sebagai negara penjajah yang akan hadir ke Indonesia.

“Pemerintah harus memperhatikan sikap negara terhadap penjajahan. Ini kan amanah konstitusi dan para pendiri bangsa. Penolakan terhadap delegasi Israel untuk masuk Indonesia pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno pada Asian Games IV (24-31 Agustus 1962),” ungkap Abdul Fikri dalam keterangan tertulis Parlementaria. Dikutip dari Minanews.net, edisi 5 Maret 2023.

Untuk itu, ia mengimbau pemerintah untuk memperhatikan kondisi Palestina terkini.

Ia juga mengapresiasi Menlu Retno Marsudi yang menyampaikan keteguhan pemerintah Indonesia dalam membela Palestina, pada pertemuan Menlu G20 dan menyoroti standard ganda pada isu Palestina.

“Saya berharap pemerintah dapat konsisten dalam membela Palestina dan tegas terhadap Israel,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Terlebih Indonesia dan Israel memang tidak memiliki hubungan diplomatik sejak awal kemerdekaan Indonesia 1945. Indonesia menganggap Israel menjajah wilayah Palestina, dan itu bertentangan dengan sikap anti-kolonialisme Republik Indonesia.

Ini sebagaimana tercantum di dalam Landasan Konstitusi Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Memang situasinya saat ini berbeda, situasi politik dunia, kebijakan FIFA, dan kebijakan Indonesia itu sendiri. Yang sama adalah bahwa Israel masih menjajah Palestina. Bahkan  lebih kejam lagi tindakan-tindakannya terhadap rakyat Palestina.

Wakil Ketua MPR RI Dr. Hidayat Nur Wahid dalam statemennya yang diunggah di laman resmi mpr.go.id, 3 September 2022 menyatakan, Pembukaan UUD 45 yang selalu disosialisasikan oleh MPR memang menegaskan penolakan terhadap penjajahan seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.

Hal ini juga ujarnya, sesuai , sesuai prinsip tujuan kemerdekaan Indonesia untuk ikut terlibat menghadirkan ketertiban Dunia, yang antara lain berdasarkan perdamaian dan kemerdekaan. Hal yang masih menjadi -meminjam ungkapan Presiden Jokowi- hutang Indonesia terhadap Palestina.

“Maka sewajarnya kalau pemerintah tidak mengizinkan tim Israel main di Indonesia, sebagaimana dahulu sudah dilakukan oleh Presiden Sukarno. Apalagi saat itu (tahun 1957) tanah Palestina yang dijajah oleh Israel baru 22%, sementara sekarang malah sudah lebih dari 80% tanah Palestina dijajah dan dijarah Israel,” ujar HNW, sapaannya.

Mestinya, Indonesia sebagai negara berdaulat yang tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel, lebih mudah untuk menolak, karena Indonesia bisa dengan tegas menyampaikan tidak bisa memberi visa untuk warga berpaspor Israel, lanjutnya.

“Apalagi sebagai negara merdeka dan berdaulat,  Indonesia bisa belajar dari banyak even olahraga internasional yang menghargai kekhasan tradisi maupun aturan yang dimiliki oleh masing-masing negara. Saat penyerahan piala Formula 1 di negara-negara Teluk misalnya, bisa tanpa memakai sampanye. Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, malah tegas menolak segala yang terkait dengan LGBT dan ternyata bisa diterima,” lanjutnya memberikan contoh.

Kekhasan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat yang menolak penjajahan Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina, mestinya bisa disikapi dengan elegan dan konsisten oleh Pemerintah Indonesia. Sehingga berdampak pada dukungan atas kemerdekaan Palestina dan mengoreksi penjajahan Israel atas Palestina, imbuhnya.

HNW menegaskan sebagaimana komitmen konstitusional Indonesia untuk membela Palestina dalam kerangka menjunjung kemerdekaan dan ketertiban dunia.

Ia menyatakan, semestinya Kemenpora dan PSSI melanjutkan sikap konstitusional yang sudah dicontohkan oleh Bung Karno dan Presiden-Presiden RI berikutnya.

“Mestinya Kemenpora jangan memberi jaminan kepada Timnas Israel, apalagi juga belum dibahas di DPR. Seharusnya lebih dulu dibahas dengan wakil rakyat. Dan, dengarkan suara nurani rakyat Indonesia, dengan bertanya kepada MUI, Ormas-Ormas Islam, untuk kemudian kembali ke jatidiri Indonesia yang konsisten membela Palestina dan menolak penjajahan Israel,” tegasnya.

Ia juga menekankan, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan penolakan publik, serta konsisten dengan sikap dasar Bangsa dan Negara Indonesia yang menolak penjajahan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 45 yang masih tetap berlaku dan makin relevan pada saat-saat seperti sekarang ini.

Political Will

Bisa jadi memang para atlet itu akan datang ke Indonesia, menggunakan paspor ganda Negara lain. Namun mereka tetap bertanding atas nama negara Israel. Ini bisa dimaknai sebagai pengakuan atas Negara Israel, dan pengabaian Negara Palestina, melalui event olahraga dengan mengabaikan kemanusiaan.

Kita tentu masih ingat, pesan Presiden Joko Widodo yang mengatakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), memiliki kepentingan untuk menguatkan tekanan kepada Israel, termasuk boikot atas produk Israel yang dihasilkan di wilayah pendudukan.

Hal ini disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato penutupan Konferensi Tingkat Tinggi KTT Luar Biasa OKI, di Jakarta, Senin 7 Maret 2016.

Presiden mengatakan, terdapat urgensi bagi OKI untuk meningkatkan dukungan terhadap Palestina, melalui sejumlah langkah-langkah konkret, yaitu ‘penguatan tekanan kepada Israel, termasuk boikot terhadap produk Israel yang dihasilkan di wilayah pendudukan’. (Sumber: bbc.com).

KTT Luar Biasa OKI waktu itu, dihadiri perwakilan dari 57 negara, yang memusatkan perhatian untuk membahas masalah Palestina dan Yerusalem.

Ya, kita tunggu juga bagaimana reaksi ormas-ormas Islam, suara Majelis Ulama Indonesia, suara wakil rakyat dari Gedung DPR, pegiat hak asasi manusia, dan sebagainya.

Sekarang, tinggal bagaimana political will dari pengambil kebijakan pemerintah itu sendiri. Apakah mau mendengarkan aspirasi suara rakyat Indonesia, lalu melakukan nota keberatan ke FIFA, mengusulkan negara ketiga saat Israel bertanding, atau tegas menolak Timnas Israel masuk ke Indonesia. Atau malah tetap menerimanya dengan berbagai risiko? (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.