Ada beberapa tradisi unik di sejumlah daerah di Indonesia dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, mulai dari makan bersama seluruh warga kampung, saling bermaafan, hingga berendam di sumur untuk menyucikan diri.
Tradisi Cucurak di Bogor misalnya, beberapa hari sebelum bulan puasa tiba, warga di kota ini biasanya menggelar kegiatan makan besar bersama seluruh warga kampung. Yang membuat aktivitas ini jadi menyenangkan adalah menu-menu sederhana seperti nasi, lauk, sayur, dan sambal disajikan di atas daun pisang yang lebar.
Menu makanan sengaja dibawa dari rumah masing-masing, kemudian dinikmati bersama-sama secara lesehan. Suasana keakraban akan sangat terasa selama acara ini berlangsung. Cucurak bisa juga dilakukan di tempat-tempat wisata sambil berekreasi seperti Kebun Raya Bogor (KRB).
Oleh karena itu menjelang Ramadhan, KRB Bogor dipadati ribuan pengunjung yang ingin melakukan tradisi Cucurak bersama-bersama sanak keluarga. Akibatnya jumlah pengunjung pun melonjak dari hari-hari biasanya. Pada tradisi Cucurak biasanya anggota-anggota keluarga besar saling bermaaf-maafan.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Di Kota Semarang, tradisi menyambut bulan puasa yang disebut Dugderan sudah ada sejak ratusan tahun (1881). Biasanya diadakan satu sampai dua minggu sebelum bulan puasa datang. Acara ini mirip seperti sebuah karnaval atau pesta rakyat karena terdapat arak-arakan, tabuh beduk, serta tari-tarian japin dari Balai Kota ke Masjid Kauman.
Dugderan akan semakin meriah dan ramai karena suara beduk, petasan serta meriam yang didentumkan selama acara berlangsung. Festival yang dipusatkan di daerah Simpang Lima ini menandai dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadhan dan biasanya dibuka oleh wali kota.
“Dug” berarti bunyi yang berasal dari bedug yang dibunyikan saat ingin shalat Maghrib. Sementara “deran” adalah suara dari mercon yang memeriahkan kegiatan ini. Pada perayaan ini beragam barang dijual (semacam pasar malam) dan pada masa kini sering diikutkan berbagai sponsor dari sejumlah industri besar.
Ada satu permainan yang selalu terkait dengan festival ini, yang disebut “warak ngendok”. Dugderan dimaksudkan selain ajang sarana hiburan juga sebagai sarana dakwah Islam. Kirab budaya ini diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan, sekolah, organisasi masyarakat dan komunitas-komunitas lainnya.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Tradisi Balimau Kasai adalah upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat Kampar di Provinsi Riau untuk menyambut bulan suci Ramadan. Acara ini biasanya dilaksanakan sehari menjelang masuknya bulan puasa. Selain sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan simbol penyucian dan pembersihan diri.
Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air yang dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas.
Sedangkan kasai adalah wangi- wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi masyarakat Kampar, pengharum rambut ini (kasai) dipercaya dapat mengusir segala macam rasa dengki yang ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Tradisi Balimau Kasai di Kampar, konon telah berlangsung berabad-abad lamanya sejak daerah ini masih di bawah kekuasaan kerajaan. Upacara untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan ini dipercayai bermula dari kebiasaan Raja Pelalawan. Namun ada juga anggapan lain yang mengatakan bahwa upacara tradisional ini berasal dari Sumatera Barat.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Bagi masyarakat Kampar sendiri upacara ini dianggap tradisi campuran Hindu- Islam yang telah ada sejak Kerajaan Muara . Keistimewaannya, merupakan acara adat yang mengandung nilai sakral yang khas, dilakukan bersama-sama di sungai Kampar. Sebelum peserta menceburkan diri ke sungai, ritual mandi ini dimulai dengan makan bersama yang disebut majamba.
Meugang di Aceh
Di Aceh, tradisi menyambut Ramadhan disebut Meugang. Biasanya warga akan menyembelih kambing atau kerbau untuk kemudian dimasak dan dimakan bersama-sama. Di desa-desa, acara ini dilakukan satu hari sebelum Ramadhan datang. Meugang menjadi wujud syukur atas rezeki yang didapat selama setahun terakhir.
Pada Meugang daging dimasak dan dinikmati bersama keluarga, kerabat dan yatim piatu oleh masyarakat Aceh. Pada awalnya Meugang atau Makmeugang adalah tradisi menyembelih kurban berupa kambing atau sapi dan dilaksanakan setahun tiga kali, yakni saat Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat Aceh juga menyembelih ayam dan bebek.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Tradisi Meugang di kota-kota yang dimulai sejak masa Kerajaan Aceh ratusan tahun lalu itu, biasanya berlangsung dua hari sebelum Ramdhan atau hari raya. Masyarakat memasak daging di rumah, setelah itu membawanya ke mesjid untuk makan bersama tetangga dan warga yang lain.
Waktu itu Sultan Iskandasr Muda memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka Meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini.
Di kalangan masyarakat Betawi (Jakarta) tradisi Nyorog selalu dilakukan setiap memasuki bulan Ramadhan. Nyorog adalah kegiatan membagikan bingkisan kepada anggota keluarga atau tetangga dalam rangka menyambut bulan puasa. Tradisi ini dilakukan orang yang lebih muda ke orang yang usianya lebih tua, untuk meminta restu kelancaran puasa.
Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum datangnya bulan Ramadan atau pada saat sebelum dan sesudah acara pernikahan di mana kedua mempelai mengirimkan makanan ke tempat saudara-saudara yang lebih tua seperti paman, kakek atau nenek, kakak untuk mendapatkan doa restu.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Dalam tradisi ini, sanak keluarga tidak jarang membawa makanan khas Betawi seperti sayur gabus pucung yang berbahan dasar ikan gabus yang digoreng dan kemudian dimasak menggunakan berbagai rempah seperti kemiri, cabai merah, jahe, dan kunyit.
Ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, kopi, susu, gula, sirup, dan lain sebagainya. Sebenarnya keberadaan tradisi ini sudah sejak lama dilakukan masyarakat Betawi, bahkan sebelum datangnya bulan suci Ramadhan.
Kebiasaan ini juga dilakukan oleh orang Betawi untuk selalu menjalin silahturahmi dan mempererat tali persaudaraan. Sayangnya, kini tradisi ini semakin lama semakin menghilang, pasalnya sebagian besar etnis Betawi sudah semakin terpinggir ke daerah-daerah penopang seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi. (RS1/P1)
Miraj Islamic News Agency/MINA
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel