Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tragedi 21 Agustus, Masjid Al-Aqsa Dibakar Ekstremis Zionis Australia

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 42 detik yang lalu

42 detik yang lalu

0 Views

Tragedi pembakaran Masjid Al-Aqsa, 21 Agustus 1969. (Foto: Al-Alam)

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur MINA, Duta Al-Quds Internasional

TRAGEDI 21 Agustus 1969 tidak akan pernah hilang dari ingatan umat Islam. Pada hari itu, Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam dan situs suci ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi , menjadi sasaran kejahatan yang menggetarkan dunia.

Seorang ekstremis Zionis Kristen asal Australia bernama Denis Michael Rohan (1 Juli 1941-6 Oktober 1995) menyelinap masuk ke kompleks Al-Aqsa pada malam hari, lalu membakarnya.

Dennis Rohan lahir pada tanggal 1 Juli 1941 di Australia, di mana ia bekerja sebagai pencukur bulu domba. Dia adalah pembaca tetap majalah “Plain Truth” dari sebuah gereja Kristen evangelis, yang dikenal sebagai Gereja Tuhan California.

Baca Juga: Shepherd Leadership,  Gaya Kepemimpinan yang Terpinggirkan di Era Modern

Rohan dipengaruhi oleh tren “Mesianis” yang melihat kembalinya Kristus terkait dengan kembalinya bangsa Israel ke Palestina dan pembangunan “Bait Suci Ketiga”.

Denis Rohan memang sudah merencanakan niat jahat sebelumnya, atau dalam istilah hukum disebut dengan adanya unsur Mens rea atau niat jahat. Mens rea yaitu unsur mental pelaku pada saat melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.

Mens rea menjadi populer pada saat kasus yang sempat menjerat Tom Lembong beberapa waktu lalu. Bahwa tidak ada unsur mens rea pada Tom, yang kemudian berujung pada abolisi oleh Presiden Prabowo, pada 31 Juli 2025.

Datang sebagai Turis

Baca Juga: Refleksi 17 Tahun AWG: Bergerak Berjamaah Buka Blokade Gaza, Bebaskan Al-Aqsa, dan Palestina

Tentu urutan peristiwa yang dilakukan Rohan baru diketahui belakangan setelah melalui penyelidikan yang panjang. Diketahui bahwa Denis Rohan adalah turis asal Sydney, Australia, yang sedang melaksanakan travelling ke Yerusalem, kota suci bagi umat Kristiani juga.

Ia datang sebagai turis, empat bulan sebelum pembakaran Masjid Al-Aqsa, dan menginap di Hotel Rivoli di Jalan Salahuddin al-Ayyubi, di seberang Gerbang Al-Sahira, salah satu gerbang Al-Aqsa.

Ia beraktivitas sebagai volunteer (relawan) Kibbutz.  Kibbutz adalah sejenis komunitas permukiman kolektif yang didirikan 1909 oleh para pemuda Zionis, dengan tujuan untuk membangun masyarakat egaliter dengan prinsip-prinsip sosialis didasarkan pada ideologi komunis Marxis.

Waktu itu, pasca-Perang Enam Hari 1967, Pendudukan Israel merebut Yerusalem Timur dari Yordania, dan menguasai akses masuk ke kota, baik bagi penduduk lokal maupun pengunjung asing.

Baca Juga: Israel Raya dan Mimpi Gelap Zionisme: Ancaman Global yang Mengintai Umat Manusia

Turis internasional pun bisa masuk ke Yerusalem, termasuk Rohan yang masuk ke Yerusalem secara legal sebagai turis Australia. Turis asing pun bisa masuk ke kawasan Masjid Al-Aqsa tanpa pemeriksaan ketat seperti sekarang, asalkan tidak menimbulkan kecurigaan.

Sejak pendudukan Yerusalem Timur, polisi dan militer Israel-lah yang menentukan siapa yang boleh masuk atau tidak ke kompleks Al-Aqsa. Rohan pun bisa bergerak bebas karena ia warga negara Barat, sehingga tidak menghadapi pembatasan seperti penduduk Palestina.

Rohan pun sebagai turis diperbolehkan masuk ke kompleks Al-Aqsa, setelah diizinkan pasukan Zionis Israel. Ia pun, bersama turis-turin lainnya, berjalan-jalan, berkeliling melihat keindahan kompleks Al-Aqsa. Ia juga sempat berpapasan dengan beberapa penjaga di sana, dan mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah mengizinkannya memotret Masjid Al-Aqsa.

Tak ada yang menduga sama sekali, langkahnya menuju Yerusalem ternyata membawa niat yang jahat. Di balik senyum turis asingnya, tersimpan api yang membakar sejarah.

Baca Juga: Napas Perjuangan Umat dan Perlawanan Rakyat Palestina

Aksi Pembakaran Kedua

Pembakaran Masjid Al-Aqsa oleh Denis Rohan sendiri sebenarnya pernah dicoba sepuluh hari sebelumnya, yaitu tanggal Pada 11 Agustus 1969. Saat itu, Rohan mencoba membakar aula Masjid Al-Qibli di dalam kompleks Al-Aqsa, melalui salah satu pintu masuknya di sisi tenggara, dekat Mihrab Zakaria. Mihrab Zakaria mengacu pada lokasi yang diyakini sebagai tempat Nabi Zakaria shalat dan tempat Siti Maryam (ibunya Nabi Isa) pernah tinggal.

Malam itu, 21 Agustus 1969, Rohan memanjat sebuah pohon masuk ke kompleks Al-Aqsa untuk menghindari terlihat oleh para penjaga, sekitar pukul 23.00.

Ia memasukkan sumbu dari seutas tali yang sudah dibasahi bensin, ke dalam lubang kunci salah satu pintu masjid, lalu menyalakannya. Ia segera berlari meninggalkan tempat tersebut dengan memanjat tembok Al-Aqsa arah Gerbang Asbat, dan keluar. Pada malam hari, selepas Isya, gerbang-gerbang masuk ke kompleks Al-Aqsa sudah ditutup semua.

Baca Juga: Penjajahan di Palestina: Potret Perjuangan Panjang yang Juga Pernah Dirasakan Indonesia

Adapun Gerbang Asbat terletak di bagian utara kompleks Masjid Al-Aqsa. Gerbang ini sering digunakan sebagai pintu masuk dan keluar bagi pengunjung dan jamaah.

Upaya pembakaran tersebut tidak berhasil, karena segera diketahui oleh Penjaga Al-Aqsa (Murabithun) yang tinggal di dalam Masjid, dan sedang berjaga. Kerusakan akibat nyala api malam itu hanya terbatas pada pintu saja. Pelakunya tidak diketahui. Penjagaan malam pun mulai diperketat, khawatir ada tindakan susulan.

Benar juga, tanggal 21 Agustus 1969, tengah malam, Rohan kembali ke kompleks Al-Aqsa, mengikuti pola yang kurang lebih sama, dengan aksi sebelumnya. Ia malam itu membawa sejenis tempat berisi bahan bakar. Rohan pun menyelinap masuk ke dalam Masjid Al-Qibli, jantung Masjid Al-Aqsa.

Ia mengincar Mimbar Nuruddin Zanki yang dikenal juga dengan Mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi yang terbuat dari kayu. Ia sudah memperhitungkan bahwa susunan mimbar besar dan tinggi yang terbuat dari kayu akan mudah terbakar setelah disiram bahan bakar.

Baca Juga: Solidaritas Umat Islam Sejak Awal Kemerdekaan Indonesia

Korek api sudah disiapkan, dan segera dinyalakan, ia pun segera kabur seperti pernah dilakukan sebelumnya. Dalam sekejap, jilatan api memanjat dinding suci, melahap mimbar bersejarah tersebut. Mimbar yang dipahat bertahun-tahun lamanya sebagai simbol janji pembebasan, terpanggang dalam hitungan menit.

Asap hitam menutupi langit Al-Quds malam itu. Api terus menjalar ke sebagian kompleks Masjid Al-Aqsa. Atap, sajadah, ornamen langka, dan bagian-bagian yang ada di dalamnya termasuk mushaf Al-Quran dan perabotan lainnya ikut hangus terbakar. Sebagian besar bangunan rusak.  Membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk merenovasi bangunan dan membuat kembali ornamen-ornamennya seperti sedia kala.

Demi mengetahui kebakaran tersebut, warga Yerusalem berlarian panik mencoba membawa ember atau tempat air seadanya. Namun akses jalan menuju kompleks Al-Aqsa terhalang oleh pasukan penjajah Zionis Israel, yang memang mengendalikan kota itu sejak 1967.

Pasukan Zionis bahkan sudah memutus saluran air menuju Al-Aqsa dan menahan mobil pemadam kebakaran dari Ramallah, Hebron, dan kota-kota tetangga, yang mencoba bergerak mendekati kompleks Al-Aqsa. Api dibiarkan merajalela lebih lama, hingga kerusakan meluas tak terbayangkan.

Baca Juga: Ambisi “Israel Raya” Netanyahu, Bahaya Bagi Palestina, Ancaman Bagi Dunia

Warga yang berhasil masuk ke kompleks Al-Aqsa, bersama para penjaga Al-Aqsa yang tinggal di dalam masjid, bergegas mencoba memadamkan api dengan sumber air yang ada di sumur-sumur yang ada di dalam kompleks.

Akibat Pembakaran

Apipun akhirnya dapat dipadamkan menjelang pagi, setelah sekitar lima jam para penjaga Al-Aqsa dan warga setempat berusaha memadamkannya. Kebakaran saat itu mencakup sepertiga dari total luas Al-Aqsa, dengan pembakaran lebih dari 1.500 meter persegi dari luas bangunan seluruhnya 4.400 meter persegi.

Kerusakan parah berupa atap masjid yang jatuh ke tanah, dua kolom utama roboh bersama lengkungan penyangga kubah, serta bagian dalam kubah berornamen, mihrab dan dinding selatan rusak. Sementara 48 jendela masjid hancur.

Baca Juga: Solidaritas 80 Tahun HUT RI, Bersama Sumud Flotilla Tembus Blokade Gaza

Mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi, yang merupakan potongan langka dari bahan-bahan kayu, saling bertautan tanpa menggunakan paku, sekrup atau perekat, juga terbakar hangus.

Masjid Umar, yang atapnya terbuat dari tanah liat dan jembatan kayu, juga ikut rusak terbakar. Di sebelahnya ikut hangus Mihrab Zakaria dan Arba’in.

Reaksi dari pendudukan, terlihat dari tanggapan Perdana Menteri Israel saat itu, Golda Meir. Ia seperti sudah tahu, tapi agak terkaget sebentar, dan menampar mukanya sendiri.

Sejenak terhenyak Golda Meir (perdana menteri keempat periode 1969-1974), berjuluk “wanita besi” (iron lady) karena kemauan kuatnya dan sikap kerasnya, berseru, “Ketika Al-Aqsa terbakar, saya tidak bisa tidur malam itu. Saya pikir Israel akan dihancurkan. Namun ketika besok harinya tiba, saya menyadari bahwa orang-orang Arab sedang tidur nyenyak.”

Baca Juga: Merawat Rahmat Kemerdekaan Republik Indonesia

Menteri Kehakiman dan Urusan Agama Israel 2000-2001, Yossi Beilin, mengomentari apa yang pernah dikatakan Golda Meir. Bahwa saat-saat ini apa yang dilakukan pendudukan Israel memang mengarah ke pembangunan Temple Mount. Menurut para pengamat, hal itu menunjukkan bahwa pembakaran itu memang skenario pendudukan Zionis Israel.

Menurut Beilin, yang juga lama bertugas di berbagai posisi di parlemen Israel (Knesset) dan di pos-pos pemerintah, adanya peristiwa pembakaran Al-Aqsa tahun 1969 yang selalu diperingati orang-orang Yahudi, adalah untuk mengingatkan organisasi Yahudi pada salah satu tujuannya yakni pembongkaran semua bangunan Islam di kompleks Al-Aqsa untuk digantikan dengan Kuil Suci Yahudi.

Persidangan

Api yang melalap Masjid Al-Aqsa menyulut kemarahan dan kepedihan umat Islam di seluruh dunia. Warga setempat pun mentuntut otoritas pendudukan untuk segera menangkap pelakunya dan menghukumnya.

Baca Juga: Megah di Panggung, Hampa Substansi, Kritik atas Pertemuan Trump–Putin di Alaska

Tak butuh waktu lama bagi Otoritas Israel untuk merespons protes yang meluas dengan langkah serius. Pemerintah Israel pun segera membentuk sebuah Komisi Istimewa (Blue-ribbon Committee), untuk menangkap pelaku pembakaran, menyelidiki kasusnya, latar belakang/motifnya dan saran penanganannya, untuk kemudian dieksekusi oleh pihak berwenang. Komite ini beranggotakan lima orang, dipimpin oleh Hakim Agung Dr. Yoel Zussman, seorang ahli hukum Israel kelahiran Austria-Hongaria (sekarang di Polandia).

Blue-ribbon Committee (Komite Pita Biru) adalah istilah umum yang merujuk pada sebuah panitia atau komisi khusus yang beranggotakan tokoh-tokoh terkemuka, ahli, atau orang-orang yang dianggap memiliki integritas tinggi.

Asal-usulnya, dalam tradisi Barat, pita biru (blue ribbon) sering diberikan sebagai tanda kehormatan, misalnya pada pemenang perlombaan atau produk terbaik di pameran. Dari sinilah istilah blue ribbon digunakan untuk menunjukkan bahwa komisi ini beranggotakan “orang-orang terbaik,” layaknya “pemenang kelas satu,” untuk menangani isu penting atau sensitif.

Denis Rohan pun langsung dapat ditangkap, pada tanggal 23 Agustus 1969, hanya dua hari setelah peristiwa itu. Penangkapan sang tersangka dianggap sudah meredam protes. Komisi kemudian memfokuskan upaya pada peningkatan keamanan, bukan pengungkapan latar belakang yang mendalam.

Anehnya, pada puncaknya, setelah sidang yang panjang bertahun-tahun, Pengadilan Israel memutuskan bahwa Rohan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum karena kondisi mentalnya.

Rohan dinyatakan gila dan kemudian dikirim ke rumah sakit jiwa sebelum akhirnya dipulangkan ke Australia pada Mei 1974. Tidak adanya laporan umum atau publikasi yang menjelaskan hasil investigasi menyeluruh menjadi kelamnya nasib penuntasan kasus tersebut, hingga kini.

Demikian juga kabar penyelidikan lanjutan terhadap Denis Rohan, tidak ada kabarnya. Informasi yang diketahui, Rohan setelah dipulangkan ke Australia, lalu dirawat di Rumah Sakit Jiwa Callan Park, Sydney.

Di sana Rohan menghabiskan sisa hidupnya jauh dari sorotan dunia, sampai kematiannya tahun 1995. Beberapa sumber menyebutkan, ia meninggal tahun 2013. Sepanjang hidupnya, Rohan dikabarkan benar-benar mengalami gangguan jiwa, hingga kematian tragis menjemputnya.

Para pengamat dan pengkritik, terutama dari dunia Arab dan Palestina, menyoroti keraguan mendasar, mengapa penyelidikan tidak membahas secara terbuka jaringan dan latar belakang Rohan? Apakah ada celah keamanan yang memungkinkan “turis asing” bisa bergerak begitu leluasa? Hingga kini tidak ada laporan resmi yang membenarkan adanya keterlibatan agen atau organisasi di balik tindakannya.

Lahirnya OKI

Tragedi 21 Agustus, Masjid Al-Aqsa dibakar ekstremis Zionis Australia memantik suara dunia Isam, menyalakan seruan penjagaan terhadap Masjid Al-Aqsa.

Api yang dinyalakannya tidak berhasil membakar semangat umat Islam. Sebaliknya, tragedi tersebut justru menyatukan suara dunia Islam, menyalakan seruan pembebasan Al-Aqsa, dan melahirkan organisasi internasional baru, Organisation of the Islamic Conference (OIC), dalam bahasa Indonesia Organisasi Konferensi Islam (OKI).

OKI didirikan di Rabat, Maroko, pada 12 Rajab 1389 H. bertepatan dengan 25 September 1969, dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al-Aqsa.

Kemudian nama tersebut berubah menjadi Organisation of Islamic Cooperation dengan singkatan sama OIC atau Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada 28 Juni 2011 dalam Pertemuan ke-38 Dewan Menteri Luar Negeri OKI di Astana, Kazakhstan.

Perubahan nama dari Konferensi ke Kerjasama menegaskan peran aktifnya sebagai wadah solidaritas dan kerja sama nyata dunia Islam.

Kini OKI beranggotakan 57 negara, menjadikannya sebagai organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB yang memiliki 193 anggota.

Api Perjuangan Terus Menyala

Pada akhirnya, tragedi 21 Agustus 1969, Masjid Al-Aqsa dibakar ekstremis Zionis Australia, menjadi pengingat bahwa Masjidil Aqsa bukan sekadar bangunan batu dan kayu. Namun Al-Aqsa adalah simbol kehormatan, benteng akidah, lambang persatuan dan amanah peradaban Islam.

Terlebih saat ini, Masjidil Aqsa yang namanya tercantum di dalam Al-Quran Surat Al-Isra ayat 1, menunjukkan keutamaannya, sedang dalam kondisi terancam. Mulai dari penodaan dengan adanya aksi provokasi dan ritual talmud oleh pemukim ilegal Yahudi, pembatasan umat Islam memasukinya, pembagian ruang dan waktu, hingga rencana perobohan Al-Aqsa untuk diganti dengan Sinagog Yahudi.

Tentu saja, setiap langkah Yahudi melewati garis merah Al-Aqsa, setiap serpihan arang yang jatuh di lantai Al-Aqsa, dan setiap penodaan Yahudisasi,  adalah panggilan kebangkitan dengan seruan, “Jangan biarkan tempat suci ini dinodai.”

Sejak hari itu, dan hingga kini, umat Islam di seluruh dunia harus kembali meneguhkan janji, “Masjid Al-Aqsa tidak akan pernah dibiarkan sendiri. Al-Aqsa wajib dibebaskan, dan dikembalikan ke pangkuan kaum Muslimin, karena Al-Aqsa hak kita semua umat Islam, Al-Aqsa Haqquna!” []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda