Oleh: Rana Setiawan, Kepala Peliputan Kantor Berita MINA, Wakil Sekjen Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI)
Pada 25-26 Februari 1992, telah terjadi pembantaian etnis Azerbaijan di kota Khojaly Azerbaijan. Sejarah mencatat momentum itu sebagai Tragedi Khojaly atau Pembantaian Khojaly.
Meski 31 tahun berlalu, luka di hati warga Azerbaijan belum sembuh. Masih ada utang yang belum dituntaskan pada mereka yang terbunuh, juga keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih: keadilan atas kematian para korban.
Tugu peringatan yang didedikasikan untuk memperingati tragedi Khojaly pun telah didirikan di beberapa kota di Azerbaijan, termasuk di ibu kota Baku.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sejarah Tragedi Khojaly
Menurut Proyek Keadilan untuk Khojaly dikutip dari Anadolu Agency, pada akhir 1987, Republik Soviet Armenia secara terbuka mengklaim wilayah Oblast Otonomi Nagorno-Karabakh Republik Soviet Azerbaijan.
Setelah pembubaran Uni Soviet, pada Oktober 1991, Khojaly, sebuah distrik yang terletak di wilayah pegunungan Karabakh di Azerbaijan, rumah bagi sekitar 7.000 orang, dikepung sepenuhnya oleh angkatan bersenjata Armenia.
Pada malam tanggal 25-26 Februari, setelah pengeboman artileri besar-besaran, militer Armenia bersama Resimen Infantri Bermotor ke-366 bekas Uni Soviet menduduki Khojaly.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Menurut Justice for Khojaly, dari 7.000 penduduk Khojaly, 5.379 dideportasi dan 613 orang, termasuk 63 anak-anak, 106 wanita dan 70 warga lanjut usia, dibunuh oleh pasukan pendudukan Armenia.
Selain itu, 1.275 warga disandera dan disiksa, 487 luka-luka, sedangkan nasib 150 tawanan, termasuk 68 perempuan dan 26 anak masih belum diketahui.
Tindakan angkatan bersenjata Armenia mencabik-cabik keluarga. Delapan keluarga telah dibantai habis, 130 anak kehilangan satu orang tua dan 25 anak kehilangan kedua orang tuanya.
Akibat tragedi berdarah itulah kedua negara memperebutkan wilayah Karabakh.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Kejahatan Paling Berat
Untuk menandai peristiwa tersebut, Kementerian Luar Negeri Azerbaijan mengeluarkan pernyataan yang menyebut genosida Khojaly tahun 1992 sebagai salah satu “kejahatan paling berat” yang dilakukan terhadap penduduk sipil selama agresi Armenia terhadap Azerbaijan selama puluhan tahun.
Kementerian tersebut mengatakan tragedi Khojaly, “pembunuhan tanpa pandang bulu” terhadap penduduk sipil, hanyalah bagian dari tindakan “diskriminasi rasial kebencian etnis dan kekerasan sistematis,” yang diterapkan oleh Armenia terhadap Azerbaijan selama bertahun-tahun di tingkat negara bagian.
Pernyataan yang dikeluarkan baru-baru ini juga menerbitkan daftar dokumen internasional yang dilanggar oleh Armenia selama agresinya melawan Azerbaijan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kementerian menyatakan dimungkinkan untuk membuka penyelidikan internasional terhadap Armenia di bawah hukum internasional. Hingga saat ini tidak ada dari mereka yang terlibat dalam pembantaian itu yang diadili di Armenia.
Kementerian Azerbaijan mengingat pernyataan yang memberatkan oleh Menteri Pertahanan dan mantan Presiden Armenia saat itu, Serzh Sargsyan, yang mengatakan kepada jurnalis Inggris Thomas de Waal bahwa “sebelum Khojaly, orang Azerbaijan mengira bahwa … orang Armenia adalah orang yang tidak bisa mengangkat senjata melawan penduduk sipil. Kami mampu mematahkan (stereotip) itu.”
Sementara mengacu pada Komunike Akhir Kairo (Paragraf 117) yang diadopsi oleh Sidang ke-12 KTT Islam, yang diadakan di Kairo pada 2013 dan Resolusi No. 51/48-POL tentang “Solidaritas dengan para korban Pembantaian Khojaly Tahun 1992” yang diadopsi oleh Sidang ke-48 Dewan Menteri Luar Negeri (CFM) OKI yang diadakan di Islamabad pada 2022, menganggap tindakan yang dilakukan terhadap penduduk sipil Azerbaijan di kota Khojaly yang diduduki, sebagai kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida di tingkat nasional dan internasional.
Sementara Resolusi No. 7/48-C tentang “Lembaga Terafiliasi (B)” yang diadopsi kembali oleh Sidang ke-48 CFM OKI, yang memuji kegiatan kampanye kesadaran sipil internasional “Keadilan untuk Khojaly” untuk meningkatkan kesadaran internasional tentang genosida Khojaly.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Konflik Tak Berkesudahan
Terkait relasi Armenia dan Azerbaijan, sampai saat ini kedaulatan Armenia tidak diakui negaranya. Begitu juga sebaliknya.
Sejak akhir 1980-an, dua negara bekas negara republik Soviet itu bertempur memperebutkan teritori Nagorno-Karabakh, yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia dan puluhan ribu orang mengungsi.
Kedua negara berada di selatan Kaukasus – pegunungan di Eropa Timur yang berbatasan dengan Asia, antara Laut Hitam dan Laut Kaspia.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Azerbaijan memiliki populasi sebanyak 10,1 juta jiwa, kebanyakan dari mereka adalah Muslim.
Sementara Armenia memiliki populasi tiga juta jiwa dengan mayoritas penduduknya beragama Nasrani.
Sebagian besar pertempuran antara dua bekas republik Soviet sejak kemerdekaan mereka terjadi di Nagorno-Karabakh, yang secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan tetapi sebagian besar penduduknya – dan diperintah oleh – etnis Armenia.
Pada 1988 sampai 1994 periode pertama perang Nagorno-Karabakh pecah. Puluhan ribu nyawa warga Nagorno-Karabakh melayang. Selain korban jiwa terdapat pula ratusan ribu pengungsi dan ratusan lainnya hilang.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
2020 jadi periode terburuk konflik bersenjata Armenia-Azerbaijan. Penggunaan senjata berat hingga ratusan warga sipil tewas adalah dampak buruk yang tercipta akibat perang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam dan menyerukan penghentian konflik. Upaya gencatan senjata yang dimediasi Rusia, Prancis dan Amerika Serikat gagal menghentikan peperangan.
Setelah berbulan-berbulan perang, Azerbaijan berhasil merebut kota terbesar kedua di Nagorno-Karabakh, Shusha. Peristiwa tersebut menandakan penghentian konflik Armenia-Azerbaijan pada 2020.
Presiden Azerbaijan Ilham Alivey dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan akhirnya menyepakati gencatan senjata pada 10 November. Presiden Rusia Vladimir Putin menyaksikan langsung kesepakatan tersebut.(A/R1/P1)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa