Oleh Rina Asrina, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)*
Saya adalah salah seorang saksi mata atas peristiwa tragedi Mina tahun 1991 silam. Sebagai anak muda, mahasiswa yang sedang bertugas sebagai Temus (tenaga Muslim) haji saat itu betapa terasa di pelupuk mata saya “murahnya” hidup manusia. Justru di saat-saat kita diingatkan akan kesakralan hidup manusia itu.
Beberapa hari lalu, di tempat yang sama (Mina) dan di hari yang sama (hari pertama pelemparan jamarat terulang kembali peristiwa yang menyayat jantung itu. Sungguh tragis, kota suci yang dijamin: Wa man dakhalahu kaana aamina (siapa yang memasukinya pasti aman. Tapi keamanan itu menjadi sirna tiba-tiba.
Sungguh tragis karena di sanalah Nabi mendeklarasikan kesakralan hidup manusia. Di musim Haji, dimana saat membunuh lalat pun dilarang bagi mereka yang sedang melaksanakan ritual ibadah haji. Tapi hampir setiap tahun puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa melayang terasa begitu murah.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Kisah tragis lainnya adalah karena sebagai Muslim yang hidup di barat di tengah mayoritas non Muslim, saya sadar mereka akan mencari justifikasi (pembenaran) untuk menjelekkan agama ini. Korban yang berjatuhan dari tahun ke tahun akan menjadi makanan empuk bagi mereka untuk menyerang Islam sebagai agama yang tidak menghormati hidup manusia.
Lebih tragis lagi, peristiwa itu oleh sebagian dijadikan sebagai alat “sektarianisme” dengan mengangkat isu Sunni-Syiah. Dibuatlah teori konspirasi bahwa Iran yang sengaja melakukan kekacauan di Mina sehingga menimbulkan korban lebih dari 1000 orang itu.
Hal ini menyedihkan karena nyawa manusia seharusnya tidak lagi “digadaikan” dengan pertarungan idiologi sektarian. Kucing saja mati kelaparan karena diikat oleh tuannya tanpa diberi makanan, atau dibiarkan mencari makan sendiri bisa membawa ke neraka. Apalagi nyawa ribuan manusia, Muslim dan sedang berhaji. Masihkah hal ini dijadikan alasan untuk saling menyalahkan, bukan pada kesalahan yang menyebabkan terjadinya peristiwa tragis itu. Tapi lebih kepada usaha saling menjelekkan karena berbeda pendapat, atau bahkan idiologi.
Di mana moralitas mereka yang menyeret peristiwa ini ke isu sektarian?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Saya mencoba berlogika. Andai benar memang Iran melakukan konspirasi itu. Atau anggaplah memang jamaah Iran sengaja melakukan kekacauan itu. Maka pertanyaan saya adalah kenapa mereka dibiarkan melakukan itu? Bisakah mereka lakukan itu jika memang keamanan haji itu ditangani secara professional? Kenapa tidak cukup pengamanan untuk mencegah atau minimal mengantisipasi terjadinya?
Padahal itu dilakukan oleh anggaplah ratusan orang, di hadapan mata jutaan orang, di tempat terbuka, pada hari yang seharusnya memang mendapat perhatian keamanan penuh. Di mana petugas keamanan? Di mana petugas haji yang seharusnya menjaga ketertiban?
Belakangan kita dengarkan jika pihak pemerintah Saudi akan mengeksekusi beberapa orang yang dianggap lalai. Kalau ini benar maka sungguh kezaliman yang luar biasa. Kenapa? Bukankah kejadian itu karena Iran? Lalu kenapa beberapa petugas yang dieksekusi mati? Sungguh murah nyawa manusia memang.
Sekali lagi tanpa bermaksud memperdebatkan hal ini, hal yang terbaik bagi Saudi lakukan adalah mengakui kesalahan dan kekurangan dalam pengelolaan haji. Dengan mengakui kesalahan dan kekurangan itu, pemerintah Saudi akan lebih berkomitmen untuk memperbaiki pelayanan haji dan lebih profesional. Termasuk di dalamya membuka diri untuk menampung keinginan negara-negara Islam lainnya untuk dilibatkan dalam pengelolaan haji ini. Minimal pada tataran “Advisory level” (berfungsi memberi masukan).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Hal krusial lainnya adalah kurangnya security personel atau tenaga “keamanan dan ketertiban” selama musim haji. Selama ini kita banggakan itu jika polisi Saudi tidak perlu bersenjata dalam mengamankan pelaksanaan haji. Tapi apalah arti kebanggaan itu jika mengorban ratusan bahkan ribuan nyata manusia.
Diakui atau tidak mungkin karena merasa haji itu adalah rurinitas tahunan sehingga Saudi merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu menjadi jaminan atas tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Bahkan menurut saya tidak ada salahnya meminta konsultansi atau masukan positif dari non Muslim sekalipun seandainya ada hal-hal yang bisa kita dapatkan dari mereka. Mereka tidak ikut mengamankan karena itu mustahil. Tapi mereka bisa memberikan masukan tentang bagaimana mengamankan dan menertibkan pelaksanaan ibadah penting ini.
Di sisi lain, para umara al-Hujjaj perlu betul-betul dijadikan pertner dalam prosesi haji ini. Agar mereka benar-benar memberikan penyadaran kepada jamaahnya agar menaati semua pengaturan yang telah ditentukan, termasuk waktu-waktu pelemparan, demi menghindari peristiwa yang seperti ini.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Diakui memang bahwa mengatur jamaah yang jumlahnya lebih dari 2 juta pertahun itu memang tidak mudah. Justru karena tidak mudahnya itulah sehingga pengelolahan haji ini sebaiknya melibatkan semua “stake holder” Muslim (seperti negara-negara OKI). Mengelolah haji bukan isu teritorial. Tapi ibadah yang melibatkan seluruh umat dari seluruh alam semesta.
Dan semoga dengan itu tidak lagi dijadikan alasan bahwa jangankan mengelolah haji dengan jutaan manusia. Menonton sepak bola saja bisa menimbulkan kekacauan dan menelan banyak korban. Ini pernyataan blunder dan tidak logis. Bahkan upaya melarikan diri dari tanggung jawab yang sesungguhnya. Wallahua’lam! (L/R04/R02)
*Berdasarkan tulisan Imam Masjid New York, AS, Syamsi Ali kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?