Oleh: Yasmi Adriansyah, PhD, Dosen Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia
Pernyataan Pemerintah Indonesia untuk tidak “ikut campur” urusan dalam negeri China dalam konteks penindasan etnis Uighur sungguh amat memprihatinkan. Pernyataan yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan bukan Presiden Joko Widodo tersebut seolah menjadi kemunduran (setback) terburuk dari postur internasional Indonesia. Indonesia seolah berhibernasi, menghilang dari percaturan antarbangsa.
Hibernasi Indonesia, atau tepatnya Pemerintah Indonesia, terjadi dalam konteks perjuangan atas Hak Asasi Manusia (HAM) dan identitas sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Hibernasi ini terbilang sangat ironis. Di saat mayoritas negara-negara Barat, sebagian negara middle power Muslim seperti Turki, dan Parlemen Eropa bersuara keras terhadap China dalam sidang penting HAM PBB Universal Periodic Review (UPR), 6 November 2018, posisi Indonesia justru lebih banyak menyoroti isu kesehatan (maternal health care).
Puncaknya, pernyataan Jusuf Kalla dengan alasan prinsip non-intervensi telah menimbulkan kekecewaan banyak pihak di Indonesia. Wajar jika terjadi demonstrasi terbilang masif di sejumlah pelosok negeri. Di satu sisi berbagai komponen penting bangsa seperti Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan sekumpulan massa mengecam penindasan Pemerintah China kepada etnis Uighur, di sisi lain menyesalkan sikap lemah Pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Lebih ironis lagi, Presiden Jokowi justru fokus melakukan aktivitas seremonial seperti mengunjungi proyek-proyek infrastruktur. Sampai tulisan ini dibuat, belum pernah sekalipun presiden mengeluarkan suara kritis atas isu Uighur. Dalam bahasa kaum milenial, sang orang nomor satu Indonesia sepertinya ‘gagal paham’.
Berangkat dari fenomena di atas, ada beberapa analisa yang dapat kita kedepankan. Pertama, Pemerintah Indonesia sudah demikian tunduk atau bahkan ketakutan dengan Pemerintah Komunis China. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negeri yang tengah membesarkan diri dengan Belt and Road Initiative (BRI) ini bersikap agresif dan ekspansif dengan kebijakannya. China mengucurkan dana miliaran dolar AS ke negara-negara yang ingin bermitra dalam konteks BRI.
Indonesia adalah salah satu mitra BRI China. Namun demikian, terjadi ekses negatif atas kemitraan BRI. Keterbukaan Pemerintah Indonesia atas investasi dan arus wisatawan China terkadang menjadi tidak terkontrol. Apa yang terjadi di Bali belum lama ini menjadi bukti. Secara umum, data dan informasi ekses negatif sesungguhnya sudah banyak beredar di media massa. Namun sepertinya ada proses terstruktur—jika diqiaskan pada Q.S. Al Baqarah (2): 18—‘penulian, pembisuan, dan pembutaan’ di negeri ini.
Sejatinya tidak perlu menjadi seorang jenius untuk memahami situasi di atas. Sudah banyak kajian ilmiah bahwa beberapa negara sudah masuk pada ‘jebakan hutang’ (debt trap) China. Intinya China mengucurkan banyak uang untuk pembiayaan infrastruktur dan berbagai BUMN. Namun ketika sang negara peminjam mengalami gagal bayar (default), China akan meminta kompensasi ‘kedaulatan’. Srilanka, Djibouti, dan Pakistan adalah sedikit contoh kongkritnya.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Kedua, pernyataan Jusuf Kalla bahwa Indonesia tidak bisa ikut campur dalam urusan dalam negeri China adalah sebuah kontradiksi menyedihkan. Prinsip nonintervensi memang diakui dalam hubungan internasional. Namun demikian, prinsip ini menjadi tidak gugur ketika terjadi penindasan HAM. Andaikan semua negara di muka bumi tidak dapat diintervensi, berarti kita menyetujui terjadinya berbagai penindasan HAM seperti pembantaian massal, pemerkosaan terorganisasi, atau bahkan pemusnahan etnis.
Pernyataan Jusuf Kalla juga merupakan sebuah kontradiksi atas apa yang telah dilakukan Indonesia untuk isu Palestina dan Rohingya. Bagaimana jika negara penjajah (Israel) dan pelanggar HAM (Myanmar) meminta Indonesia untuk tidak ikut campur ‘urusan domestik’ mereka? Tentu Indonesia hanya akan menjadi tertawaan dunia.
Sebaliknya, pernyataan Kalla hanya menegaskan bahwa justru China yang telah ‘ikut campur’ pada posisi Pemerintah RI. Atau lebih tepatnya, melemahkan postur internasional Indonesia yang selama ini telah dibangun secara susah payah oleh para pemimpin sebelumnya. Pernyataan lanjutan Kalla bahwa Dubes China di Jakarta telah dipanggil Menlu RI dan Dubes RI di Beijing akan mengunjungi Xinjiang menjadi kehilangan makna. Apalagi China pasti berkelit dengan segala pelanggaran HAM mereka, sekalipun berbagai fakta telah dipaparkan berbagai organisasi dan media massa internasional.
Ketiga, Presiden Jokowi makin menunjukkan ‘kelas’ dirinya. Ketiadaan dirinya maju ke hadapan publik menyampaikan posisi Indonesia atas penindasan etnis Uighur telah menimbulkan berbagai spekulasi. Apakah dia takut terhadap China? Apakah dia tidak peduli dengan kaum Muslim di negara lain, padahal negeri yang dipimpinnya berpenduduk Muslim terbesar di dunia? Apakah dia tidak memahami bahwa, sebagaimana pernyataan Nabi Muhammad (SAW), “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya?”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Saya menduga, penyampaian sikap resmi Pemerintah oleh Jusuf Kalla dan bukannya Jokowi adalah sebuah strategi. Lebih tepatnya, strategi politik menghadapi pemilihan presiden 2019. Bahwa sebagai seorang tokoh yang disegani umat, resistensi terhadap pernyataan Kalla akan bersifat minor. Adapun jika sikap Pemerintah disampaikan oleh Jokowi, diperkirakan akan terjadi penolakan besar dari umat Islam dan elemen masyarakat lainnya.
Jokowi memahami, akseptabilitas dirinya di kalangan umat Islam di Indonesia terbilang rendah. Oleh karena itu, jika menyangkut kebijakan atau pernyataan yang dianggap dapat mempengaruhi elektabilitasnya, perlu dilakukan strategi khusus. Sikap diam menjadi strategi atau kebijakan Jokowi. Dengan sikap diam, di satu sisi ia aman dari kecaman umat Islam di tanah air. Di sisi lain, ia masih akan mendapatkan dukungan dari China, negeri yang dalam beberapa tahun belakangan bermetamorfosa menjadi penyokong terbesar berbagai program pembangunan Jokowi, sekalipun suara-suara kritis terus diaspirasikan masyarakat.
Sebagai konklusi, fenomena hibernasi Indonesia atas penindasan etnis Muslim Uighur adalah sebuah hal sangat memprihatinkan. Jika tidak terjadi perubahan signifikan atas sikap Pemerintah Indonesia, jangan salahkan mayoritas umat Muslim di negeri ini terus berjuang dan berdoa agar rejim penguasa segera hengkang dari tampuk amanah rakyat. Pilihan ada pada anda, Tuan Presiden.(AK/R01/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam