Oleh Teuku Zulkhairi, Penulis adalah Mantan Komisioner KPI Aceh. Mudir Ma’had Aly Babussalam Al-Hanafiyyah, Aceh Utara
DALAM tradisi keilmuan Islam, terutama di lingkungan pesantren atau dayah dalam konteks Aceh, ta’zīm ilā al-‘ulamā’ —menghormati guru dan ulama—bukan sekadar sopan santun biasa, melainkan bagian dari sistem nilai yang membentuk peradaban ilmu.
Takzim adalah akar dari keberkahan pengetahuan, penuntun adab, dan kunci keberhasilan seorang murid dalam menapaki jalan keilmuan. Tanpa adab kepada guru, ilmu kehilangan ruhnya, dan perjalanan menuntut ilmu menjadi kering tanpa keberkahan.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. al-Mujādalah ayat : 11: “Yarfa‘illāhu alladzīna āmanū minkum wa alladzīna ūtū al-‘ilma darajāt.” Maknanya : Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.
Baca Juga: Dari Gencatan Senjata Menuju Kemenangan Hakiki
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari harta atau jabatan, melainkan dari ilmu dan keimanan yang dimilikinya.
Karena itu, dalam pandangan Islam, menghormati guru berarti menghormati ilmu itu sendiri. Ulama-ulama terdahulu menegaskan, “Barang siapa memuliakan gurunya, maka Allah akan memuliakan ilmunya.”
Namun, nilai luhur ini kini semakin tergerus di tengah budaya populer modern yang sering kali menjadikan agama dan simbol keulamaan sebagai bahan lelucon.
Kasus penayangan salah satu program di TV Trans7 baru-baru ini yang melakukan framing negatif terhadap ulama/Kyai dan tradisi takzim kepada guru di pesantren pada akhirnya telah melukai perasaan umat Islam.
Baca Juga: AS–Israel: Koalisi Setan Pembantai Rakyat Tak Berdosa
Tayangan seperti itu bukan hanya melanggar norma agama, tetapi juga melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2012.
Trans7 pasti memahami bahwa aturan P3SPS mengharuskan agar lembaga penyiaran wajib menghormati nilai-nilai agama, adat istiadat, dan budaya bangsa.
Pelanggaran terhadap nilai keagamaan, termasuk pelecehan terhadap tokoh agama, ulama atau kyai, dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran serius yang berimplikasi pada sanksi administratif, bahkan pencabutan izin siar.
Namun, di luar aspek hukum penyiaran, yang lebih penting dari itu adalah aspek moral dan etika publik. Media semestinya menjadi sarana pencerahan, bukan penghinaan terhadap nilai-nilai suci yang dijunjung tinggi masyarakat.
Baca Juga: Zionisme: Iblis Modern dalam Jas Kenegaraan
Adab dalam Tradisi Pesantren: Fondasi Peradaban Ilmu
Pada dayah-dayah di Aceh, dan juga pesantren di Nusantara umumnya, takzim kepada guru adalah bagian dari napas kehidupan keagamaan masyarakat.
Dalam lingkungan dayah, seorang santri tidak hanya belajar fikih, tafsir, atau tasawuf, tetapi juga berlatih menundukkan ego di hadapan gurunya.
Duduk bersila ketika mendengar pelajaran, menundukkan pandangan saat guru berbicara, tidak berani mendahului bicara, bahkan menjaga isyarat tubuh agar tidak menyinggung—semuanya adalah latihan spiritual yang membentuk akhlak dan kesadaran diri.
Baca Juga: Deklarasi New York, Hukuman bagi Pejuang dan Hadiah bagi Penjajah
Nilai ini berakar dari sabda Rasulullah Saw: “Laisa minnā man lam yuwaqqir kabīranā, wa lam yarham ṣaghīranā, wa lam ya‘rif li ‘āliminā ḥaqqah.” Artinya, bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua kami, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengenal hak ulama kami. (HR. Ahmad).
Hadis ini menjadi dasar bagi pendidikan adab di dunia pesantren. Jadi, takzim bukanlah kultus individu sebagaimana disalahpahami sebagian kalangan, termasuk siaran Trans7, melainkan bagian dari tata nilai Islam yang mengajarkan penghormatan terhadap ilmu dan pewarisnya.
Para ulama menyebut bahwa adab adalah buah dari ilmu, dan ilmu tidak akan berbuah tanpa adab.
Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, banyak kisah menunjukkan betapa para ulama besar sangat menjaga adab kepada guru mereka.
Baca Juga: Jebakan Pemikiran Kolonial Rencana 20 Poin Trump tentang Gaza
Imam Malik bin Anas, misalnya, dikenal sangat menghormati gurunya sampai-sampai tidak berani menaikkan suara di hadapan majelis ilmu. Ia berkata, “Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan belajar ilmu selama tujuh belas tahun.”
Bagi Imam Malik, adab adalah jalan menuju pemahaman yang benar terhadap ilmu dan kehidupan.
Demikian pula dalam tradisi dayah Aceh, hubungan antara santri dan gurunya bukan sekadar hubungan akademik, tetapi ikatan spiritual.
Seorang Kyai di Jawa atau Teungku dayah di Aceh sejatinya bukan hanya berfungsi sebagai pendidik, tetapi juga pembimbing ruhani yang menanamkan nilai ikhlas, kesabaran, dan kebersihan hati.
Baca Juga: Janji Gizi Murah, Kenyataan Pahit: Kasus Keracunan MBG Meningkat Drastis
Karena itu, framing negatif dalam siaran Trans7 terhadap sosok Kyai/guru agama berarti juga penghinaan terhadap nilai-nilai suci yang selama ini menjadi fondasi moral masyarakat muslim Nusantara.
Sehingga ketika serangan terhadap Kyai di Jawa dalam konteks takzim ini, kita akan memahami bahwa ini sebenarnya juga serangan kepada nilai-nilai pesantren di nusantara secara umum, dan khususnya nilai Islam masyarakat muslim Nusantara.
Trans7 dan Hilangnya Sensitivitas Budaya Keagamaan
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menjaga marwah ulama. Para Kyai atau teungku bukan hanya pengajar, tetapi juga pemimpin masyarakat, penegak hukum adat, dan penjaga aqidah umat.
Baca Juga: Proposal Trump untuk Gaza, Harapan Baru bagi Palestina atau Strategi Geopolitik Semata?
Harus dipahami bahwa tradisi menghormati mereka bukanlah bentuk fanatisme, tetapi ekspresi syukur dan cinta terhadap orang-orang yang mengajarkan jalan menuju Allah.
Ketika media nasional seperti Trans7 menayangkan konten yang mendiskreditkan budaya takzim dan simbol keulamaan di pesantren, maka itu bukan hanya persoalan “salah tayang,” melainkan bentuk ignoransi budaya terhadap kekayaan nilai-nilai lokal Islam yang hidup di Nusantara.
Kita harus menyadari bahwa masyarakat muslim nusantara itu, apalagi kalangan santri, memiliki sensitivitas keagamaan yang tinggi.
Setiap tindakan atau tayangan yang menyinggung ulama bisa memicu keresahan sosial, karena ulama bagi masyarakat nusantara bukan sekadar tokoh agama, melainkan simbol kehormatan dan identitas kolektif.
Baca Juga: Kita Lemah Sahabat: Untuk Apa Kita Bangga?
Oleh sebab itu, media harus memahami konteks sosial-budaya Nusantara, khususnya nilai-nilai pesantren. Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas menghina.
KPI Pusat bisa kita katakan sudah menegakkan fungsinya dengan meminta penghentian tayangan ini. Ya dalam batas apa yang bisa dilakukan oleh KPI.
Namun, perlu diingat bahwa pelanggaran terhadap nilai-nilai agama dalam siaran publik tidak boleh ditoleransi atas nama hiburan.
Setiap konten media harus ditimbang dengan prinsip tanggung jawab sosial, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.
Baca Juga: Bagaimana Hamas Putuskan Posisinya terhadap Rencana Trump?
Di sana ditegaskan bahwa penyiaran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, dan kontrol sosial, serta berperan dalam membangun karakter bangsa. Jadi apa yang disiarkan Trans7 ini harus menjadi pelajaran bagi semua siaran Televisi.
Merawat Adab, Menjaga Marwah Keilmuan
Apa yang kita saksikan hari ini sejatinya adalah tanda terkikisnya adab dalam ruang publik. Masyarakat mulai terbiasa menertawakan hal-hal yang sakral, mengolok-olok simbol keagamaan, bahkan mempermainkan ulama. Padahal, ulama adalah penerus tugas para nabi. Rasulullah Saw bersabda: “Al-‘ulamā’ waratsatul anbiyā’.” (Para ulama adalah pewaris para nabi). (HR. Abu Dawud).
Ketika warisan para nabi dihina, sejatinya kita sedang meruntuhkan tiang-tiang penyangga peradaban Islam. Inilah sebabnya mengapa adab terhadap guru menjadi sedemikian penting.
Baca Juga: Relevansi Surat Al-Ahzab 35 di Akhir Zaman
Dari sinilah lahir ulama yang arif, pemimpin yang adil, dan masyarakat yang berakhlak.
Pesantren-pesantren di Nusantara dengan sejarah ketokohan para ulamanya yang panjang, memiliki tanggung jawab besar untuk tetap menjadi pelopor dalam menjaga nilai takzim ini di tengah hilangnya tradisi ini di hampir semua lembaga pendidikan lainnya.
Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil perlu memperkuat pendidikan adab dalam setiap jenjang pendidikan, baik formal maupun non-formal.
Sementara pesantren atau dayah harus tetap menjadi pusat pembentukan karakter, bukan hanya pusat transmisi ilmu.
Kepada lembaga penyiaran nasional, kasus Trans7 hendaknya menjadi pelajaran berharga. Indonesia adalah bangsa religius yang memiliki keberagaman budaya keagamaan yang luhur.
Jika media ingin tetap dipercaya publik, maka ia harus menghormati nilai-nilai tersebut. Tayangan yang menistakan agama, guru, atau apalagi sosok ulama/Kyai tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap dunia penyiaran.
Pada akhirnya, kita perlu kembali pada pesan Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn: “Ilmu tidak akan memberikan manfaat tanpa adab, sebagaimana api tidak akan menyala tanpa kayu.”
Maka, selama adab terhadap guru masih dijaga, selama itulah peradaban ilmu akan tetap hidup. Sebaliknya, jika adab hilang dari ruang publik, maka kehancuran moral tinggal menunggu waktu. []
Mi’raj News Agency (MINA)