Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Transfer Data Pribadi WNI ke AS Tuai Sorotan, DPR Desak Perlindungan Hukum dan Transparansi

Rana Setiawan Editor : Widi Kusnadi - 23 detik yang lalu

23 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi.(Foto: VIDA)

Jakarta, MINA – Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang menurunkan tarif ekspor Indonesia menjadi 19 persen menuai sorotan tajam dari kalangan parlemen. Salah satu poin perjanjian, yakni soal pengelolaan dan transfer data pribadi warga negara Indonesia (WNI) ke Amerika Serikat, dinilai berisiko tinggi terhadap kedaulatan digital dan perlindungan privasi warga.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia, khususnya tim negosiator perdagangan, tidak boleh menyetujui skema transfer data lintas batas tanpa jaminan perlindungan hukum yang setara dengan standar internasional.

“Amerika Serikat sampai hari ini belum memiliki undang-undang perlindungan data pribadi setingkat federal seperti GDPR di Uni Eropa. Maka, kesepakatan semacam ini harus dikaji ulang secara mendalam,” ujar Sukamta dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Kamis (24/7).

Sukamta menekankan, persoalan transfer data tak bisa hanya dipandang sebagai aspek teknis dalam perdagangan internasional. Menurutnya, ini menyangkut isu strategis yang berdampak langsung pada kedaulatan digital, keamanan nasional, dan keadilan ekonomi.

Baca Juga: BNPB Gelar Uji Publik Rencana Kesiapsiagaan Logistik dan Peralatan di Ambon

“Transfer data pribadi harus tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), khususnya Pasal 56. Jika Amerika Serikat belum memenuhi standar perlindungan data yang memadai, maka mekanisme kontrol, hak audit, dan persetujuan dari subjek data wajib dipenuhi,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya menegaskan prinsip data sovereignty dalam kesepakatan internasional, guna memastikan data WNI tetap dalam yurisdiksi hukum nasional, meski diproses di luar negeri.

Perlu Akselerasi Aturan Turunan UU PDP

Sukamta juga mengingatkan bahwa hingga kini Indonesia belum menyelesaikan seluruh aturan turunan dari UU PDP, termasuk pembentukan Lembaga Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP) yang semestinya sudah terbentuk sejak Oktober 2024.

Baca Juga: Ajang Pacu Jalur Terancam Kabut Asap, Gubernur Harus Tuntaskan Karhutla

“Ini momen krusial untuk menyelesaikan seluruh regulasi pendukung agar kita tak kecolongan dalam negosiasi internasional yang menyentuh aspek kedaulatan data,” tuturnya.

Pasal 56 UU PDP menyatakan bahwa pengiriman data ke luar negeri hanya boleh dilakukan jika negara penerima memiliki perlindungan data pribadi setara atau lebih tinggi dari UU PDP. Jika tidak, maka wajib ada mekanisme perlindungan tambahan dan persetujuan eksplisit dari pemilik data.

Dengan belum adanya perlindungan hukum federal di Amerika Serikat dan belum rampungnya regulasi turunan UU PDP di Indonesia, para legislator menilai bahwa kesepakatan transfer data ke AS belum memiliki dasar yang cukup kuat.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI, Syamsu Rizal atau yang akrab disapa Deng Ical, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap potensi ancaman terhadap privasi warga dan keamanan nasional. Ia mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komidigi) segera memberikan penjelasan resmi dan transparan terkait isi dan proses perundingan dengan pemerintah AS.

Baca Juga: Indonesia Kutuk Keras Israel Paksakan Kedaulatan di Tepi Barat

Data pribadi bukan barang dagangan. Jika benar dikelola oleh pihak asing, kita perlu tahu bagaimana mekanisme perlindungan dan penegakan hukum akan diterapkan. Jangan sampai data warga bocor dan tak ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban,” tegas Deng Ical.

Legislator asal Sulawesi Selatan itu meminta agar seluruh poin kesepakatan dibuka ke publik, termasuk klausul teknis dan dampaknya terhadap yurisdiksi hukum nasional.

“Kami menuntut diadakannya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komidigi secepatnya. Ini menyangkut hak konstitusional warga dan perlu pengawasan legislatif secara ketat,” ujarnya.

Kesepakatan tarif 19 persen memang menjadi capaian penting dalam diplomasi ekonomi Indonesia-AS. Namun, para legislator mengingatkan agar pemerintah tidak mengorbankan kedaulatan digital dan perlindungan hak dasar warga negara dalam proses tersebut.

Baca Juga: Rumah Sakit UIN Alauddin Diresmikan, Siap Jadi Pusat Layanan Kesehatan dan Riset di Makassar

Seiring dengan berkembangnya ekonomi digital dan meningkatnya ketegangan geopolitik dunia maya, isu data pribadi akan semakin sentral. Pemerintah pun didesak untuk lebih hati-hati, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat dalam setiap keputusan strategis lintas negara.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Pawai Ta’aruf Muharram di Sabang, Dukungan untuk Palestina

Rekomendasi untuk Anda