Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Transformasi BP Haji Menjadi Kementerian Haji dan Umrah, Antara Harapan dan Kekhawatiran

Widi Kusnadi Editor : Bahron Ans. - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Muhammad Akhyar Adnan (foto: pribadi)

Oleh Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi, Jakarta.

PADA 26 Agustus 2025 DPR RI mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, menandai transformasi Badan Pengelola Haji (BP Haji) menjadi Kementerian Haji dan Umrah.

Langkah ini diambil untuk meningkatkan kualitas pelayanan ibadah haji dan umrah, merespon perkembangan teknologi dan menyesuaikan diri dengan kebijakan baru Pemerintah Arab Saudi.

Namun di balik ambisi ini muncul kekhawatiran bahwa kementerian baru hanya akan menjadi “kaset baru dengan lagu lama,” terutama karena budaya birokrasi yang kerap stagnan dan praktik penyelenggaraan perjalanan ibadah haji yang belum sepenuhnya profesional.

Baca Juga: Meneguhkan Janji Kemerdekaan Palestina Dari Sumud Nusantara ke Solidaritas Global

BP Haji awalnya dibentuk untuk mengelola dana haji secara transparan, meningkatkan pelayanan jamaah, dan memusatkan koordinasi operasional. Namun dalam praktiknya BP Haji menghadapi kritik atas birokrasi yang kompleks, koordinasi yang kurang optimal, dan pengelolaan dana haji yang menuai kontroversi.

Transformasi menjadi kementerian diharapkan dapat mengatasi kelemahan ini dengan memberikan otoritas lebih besar, pelayanan satu atap, dan kemampuan diplomasi yang lebih kuat dengan Arab Saudi.

Namun tanpa perubahan mendasar dalam pola pikir dan praktik, perubahan status ini berisiko hanya kosmetik. Salah satu isu kritis adalah potensi tumpang tindih dengan Kementerian Agama yang selama ini mengelola urusan haji dan umrah. Jika pemisahan tugas tidak diatur dengan jelas, masalah birokrasi yang ingin diatasi BP Haji bisa kembali muncul.

Selain itu, pengalihan sumber daya manusia (SDM) dan aset dari BP Haji serta Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) ke kementerian baru berpotensi menimbulkan kendala, terutama jika tidak didukung koordinasi yang matang dengan Kementerian PANRB.

Baca Juga: Ziarah ke Masjidil Aqsa Tanda Kedalaman Iman

Waktu implementasi yang ketat juga menjadi tantangan, mengingat persiapan haji 2026 sudah di depan mata, termasuk pembayaran uang muka untuk alokasi Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina).

Kekhawatiran lain adalah budaya birokrasi yang melekat di banyak kementerian Indonesia yang sering kali kaku, lambat beradaptasi, dan kurang inovatif. Pegawai yang dialihkan dari BP Haji atau Ditjen PHU kemungkinan besar akan membawa pola kerja lama yang dapat menghambat profesionalisme.

Penyelenggaraan haji selama ini kerap dikritik karena penanganan jamaah yang kurang optimal, manajemen kuota yang bermasalah, dan komunikasi yang lemah dengan pihak Arab Saudi. Tanpa pelatihan intensif atau rekrutmen SDM berbasis kompetensi, kementerian baru berisiko mengulang kesalahan yang sama.

Transparansi pengelolaan dana haji juga menjadi sorotan. BP Haji dibentuk untuk memastikan dana jamaah dikelola secara akuntabel, namun kritik atas investasi yang kurang optimal masih mengemuka.

Baca Juga: Israel Bukan Negara, Tapi Proyek Penjajahan Abad Modern

Dengan status kementerian, pengawasan publik dan DPR akan lebih ketat, tetapi ini harus diimbangi dengan sistem pengelolaan yang transparan dan audit independen untuk menjaga kepercayaan jamaah.

Selain itu, pembentukan kementerian baru berpotensi memicu persepsi bahwa haji dan umrah mendapat privilese dibandingkan urusan keagamaan lain, sehinggga dapat menimbulkan ketegangan sosial jika tidak dikelola dengan sensitif. Meski demikian, transformasi ini membuka peluang untuk perbaikan.

Status kementerian memberikan otoritas lebih besar untuk bernegosiasi dengan Arab Saudi, memperjuangkan kuota haji, dan meningkatkan fasilitas jamaah. Adopsi teknologi modern, seperti pengembangan sistem Siskohat berbasis AI dapat menyederhanakan proses dan meningkatkan efisiensi.

Namun demikian keberhasilannya tergantung pada komitmen pemerintah untuk mereformasi budaya kerja, menetapkan indikator kinerja yang jelas, dan melibatkan pengawasan independen.

Baca Juga: Tanpa Ilmu, Jama’ah Hanya Massa Tanpa Arah

Agar Kementerian Haji dan Umrah tidak sekadar menjadi “lagu lama dengan kaset baru,” diperlukan langkah konkret: pelatihan ulang SDM, pemanfaatan teknologi, dan penguatan transparansi

Tanpa reformasi substansial, transformasi ini hanya akan menjadi perubahan formalitas, jauh dari harapan jamaah untuk pelayanan haji dan umrah yang lebih profesional dan bermartabat. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Lisanku Terjaga, Hatiku Bahagia: 10 Hikmah Dzikir yang Menyelamatkan

Rekomendasi untuk Anda