Oleh Muhammad Ridwan, Direktur Al-Jama’ah TV
KETIKA Donald Trump disebut sebagai “presiden paling jujur” dalam sejarah Amerika, ungkapan itu terdengar ironis. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang sarat kontroversi dan skandal justru dianggap paling jujur?
Namun, seperti diungkap Eric Reinhart dalam artikelnya di Al Jazeera, “kejujuran” Trump terletak pada satu hal, ia menyingkap kemunafikan sistem Amerika yang selama ini disembunyikan di balik topeng demokrasi dan hak asasi manusia.
Trump tidak menciptakan kebobrokan itu. Ia hanya memperlihatkannya secara terbuka — menjadikan korupsi, kekerasan, dan kerakusan sebagai bagian dari gaya pemerintahannya tanpa malu-malu.
Dengan kata lain, Trump bukanlah penyimpangan dari sejarah Amerika, melainkan puncak dari kejujuran brutal yang menyingkap wajah asli imperialisme Barat.
Dari Vietnam hingga Palestina, Kejujuran yang Berlumur Darah
Baca Juga: Bulan Solidaritas Palestina, Terus Bergerak untuk Al-Aqsa dan Palestina
Trump hanyalah pewaris panjang sejarah agresi dan penindasan yang dilakukan atas nama “kebebasan”.
Sejak Perang Vietnam (1955–1975), Amerika telah menunjukkan pola yang sama: mengebom jutaan warga sipil, menghancurkan negeri yang tak tunduk pada kehendaknya, lalu menyebutnya “misi demokrasi”.
Lebih dari dua juta rakyat Vietnam terbunuh, dan hingga kini, tanah mereka masih tercemar oleh napalm dan agen kimia buatan AS.
Setelah Vietnam, Somalia (1993) menjadi ladang eksperimen “moralitas Amerika” berikutnya, ketika pasukan AS turun tanpa mandat moral yang jelas dan meninggalkan kekacauan yang panjang.
Lalu datang Panama (1989), Irak (1991 dan 2003), Afghanistan (2001–2021) — semua dibungkus narasi “membela kebebasan” atau “melawan terorisme”, namun hasilnya sama: kehancuran negara, kematian anak-anak, dan penjajahan sumber daya.
Tidak berhenti di sana, Libya (2011) menjadi saksi bagaimana Amerika bersama NATO menggulingkan Muammar Gaddafi dengan dalih menegakkan demokrasi. Padahal, pasca intervensi itu, Libya justru terjerumus dalam kekacauan, perang saudara, dan perampokan minyak yang dilegalkan oleh kekuatan asing.
Kini, rakyat Libya hidup dalam ketidakpastian dan negara itu menjadi pasar senjata dan budak modern — semua terjadi setelah Amerika “menyelamatkan” mereka.
Kini, di Palestina, wajah asli itu semakin jelas. Amerika terus menyalurkan senjata dan perlindungan politik bagi Israel, bahkan ketika dunia menyaksikan genosida terbuka terhadap warga Gaza.
Baca Juga: Ketika Cinta Tak Lagi Bernilai: Perceraian Jadi Jalan Cepat
Jika Trump “jujur”, maka kejujurannya adalah ini: ia tidak berpura-pura membela perdamaian. Ia terang-terangan mendukung tirani. Inilah yang membuat “kejujurannya” menakutkan, sebab ia menyingkap bahwa seluruh sistem moral politik Amerika memang dibangun di atas kekerasan dan kebohongan yang dilegalkan.
Moralitas yang Bangkrut
Reinhart menulis bahwa korupsi Trump bukanlah penyakit baru, melainkan “kebenaran yang selama ini disangkal.” Hal yang sama berlaku untuk politik luar negeri Amerika: Ia tampak brutal bukan karena menyimpang dari nilai-nilai Barat, melainkan karena benar-benar menjalankan nilai itu secara apa adanya — nilai yang menjadikan kekuasaan, uang, dan kepentingan nasional di atas segala bentuk kemanusiaan.
Dunia Islam harus memahami hal ini secara jernih. Bahwa imperialisme Amerika bukan sekadar kebijakan geopolitik, melainkan manifestasi dari sistem nilai yang kehilangan Tuhan.
Baca Juga: Reffleksi 108 Tahun Deklarasi Balfour, Pendudukan Semakin Brutal
Ketika agama dipisahkan dari moralitas publik, dan kebenaran diukur dengan keuntungan ekonomi, maka kebohongan menjadi kebijakan, dan keadilan berubah menjadi retorika kosong.
Islam menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk menindas. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58)
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
Baca Juga: Ketika Dunia Riuh, Tapi Hati Masih Sepi
“Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari)
Ketika Amerika dan sekutunya menindas bangsa lain, mereka tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga melanggar prinsip dasar amanah yang menjadi fondasi keadilan sejati.
Inilah sebabnya mengapa sistem dunia yang dibangun oleh kekuatan semacam itu tidak akan pernah membawa kedamaian yang hakiki.
Saatnya Dunia Islam Menawarkan Alternatif
Agresi dan kemunafikan Barat seharusnya menjadi cermin bagi umat Islam untuk meneguhkan jati dirinya. Kita tidak cukup hanya mengecam — kita harus menampilkan peradaban alternatif: peradaban yang berasaskan tauhid, kejujuran, dan kasih sayang (rahmah).
Baca Juga: Logika Ketuhanan Isa AS, Meluruskan Kesalahpahaman Trinitas dalam Cahaya Al-Qur’an
Peradaban yang memuliakan manusia, bukan memperalatnya. Di tengah dunia yang semakin kehilangan nurani, umat Islam justru hadir membawa cahaya: menolong yang lemah, menegakkan keadilan, dan membela yang tertindas.
“Kejujuran” Trump, sebagaimana ia menelanjangi kebusukan sistem Amerika, sebenarnya mengingatkan dunia bahwa tanpa iman, kejujuran hanya akan menjadi keberanian untuk berbuat salah tanpa malu.
Islam mengajarkan kejujuran bukan sebagai strategi politik, melainkan sebagai bentuk ibadah — sebagai bukti ketaatan kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama manusia.
Dunia hari ini tidak kekurangan pemimpin kuat, tetapi kekurangan pemimpin jujur yang takut kepada Allah. Di situlah umat Islam harus tampil, bukan sekadar mengkritik, tapi menunjukkan bahwa pemimpin yang jujur, beradab, dan amanah memang mungkin ada, bila dijalankan atas dasar iman. []
Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina
Mi’raj News Agency (MINA)
















Mina Indonesia
Mina Arabic