Oleh Arif Ramdan
USULAN yang disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengenai masa depan Gaza kembali memicu kontroversi di tingkat internasional. Dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih, Trump mengajukan proposal yang mencakup pengambilalihan Gaza oleh Amerika Serikat, pemindahan sementara penduduk Gaza ke negara-negara tetangga, serta rekonstruksi kawasan tersebut dengan dukungan finansial dari negara-negara kaya di Timur Tengah.
Menurut rencana tersebut, Gaza akan dikosongkan dan dihancurkan sepenuhnya sebelum dibangun kembali menjadi wilayah yang lebih makmur, yang oleh Trump digambarkan sebagai “Riviera di Timur Tengah.” Selama proses rekonstruksi, warga Gaza akan direlokasi sementara ke negara-negara seperti Mesir dan Yordania, dengan opsi untuk kembali setelah pembangunan selesai atau menjadikan Gaza sebagai kota internasional.
Namun, proposal ini mendapat kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi hak asasi manusia. Banyak pihak menilai bahwa usulan Trump berpotensi melanggar hukum internasional dan dikategorikan sebagai bentuk pembersihan etnis maupun kejahatan perang. Negara-negara seperti Mesir dan Yordania secara tegas menolak gagasan tersebut, dengan alasan bahwa kebijakan semacam itu dapat mengganggu stabilitas kawasan serta mengancam perjanjian damai dengan Israel. Di sisi lain, banyak warga Palestina juga menentang rencana relokasi ini, mengkhawatirkan kemungkinan mereka tidak diizinkan kembali ke tanah air mereka setelah proses pemindahan berlangsung.
Baca Juga: Bulan Sya’ban Bulannya Para Pembaca Al-Quran
Usulan Trump ini semakin memperumit dinamika geopolitik di Timur Tengah, memperlihatkan ketegangan antara berbagai kepentingan global, regional, dan hak-hak warga Palestina. Pemerintah Indonesia juga secara tegas menolak rencana Trump untuk memindahkan warga Palestina di Gaza ke negara-negara lain. Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa pemindahan paksa tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
Secara keseluruhan, rencana Trump ini dianggap tidak realistis dan berpotensi menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi bagi konflik yang telah berlangsung lama di Timur Tengah. Bagi bangsa Palestina, rencana Trump yang disampaikan di depan Benjamin Netanyahu tersebut merupakan sesuatu yang tidak realistis. Alih-alih meredakan situasi, Trump dengan Amerikanya selama ini telah menjadi pelindung paling nomor wahid bagi Israel. Apa yang disampaikan Trump telah mengawali pemerintahannya dengan narasi permusuhan, alih-alih meredakkan situasi pada proses gencatan senjata kali ini. Trump malah memancing keadaan di Timur Tengah ke arah yang tidak kondusif.
Hari ini dunia Barat sedang bergerak ke arah yang lebih positif tentang nasib warga Gaza di Palestina. Berbeda dengan lima atau sepuluh tahun sebelumnya, Gaza harus berjuang sendirian dalam ratapan derita tak kunjung usai. Meski secara internal pemerintahan negara-negara Barat tidak mendukung Gaza, tetapi warga di belahan Barat sedang terbangun kesadarannya untuk berada bersama derita warga Gaza, maka tidak heran demo besar-besar terjadi di berbagai negara Barat dan di kampus-kampus ternama yang sebelumnya tidak pernah terjadi dan membuat pusing petugas keamanan.
Apa yang dilontarkan Trump, tentang rencananya yang tidak masuk akal itu hanya akan menjadikan Amerika negeri yang terus dibenci orang-orang di Timur. Negara yang sering memosisikan diri sebagai terkuat di muka bumi ini dengan segala dukungan alutsistanya itu belum juga mau berubah dan berbenah diri, padahal mereka telah gagal dengan beragam misinya di berbagai negara di Timur Tengah, seperti di Afghanistan.
Baca Juga: Ini Adab Bertamu yang Benar Menurut Ajaran Islam
Rencana Trump, entah itu sebagai sebuah rencana matang atau sekadar menghibur Netanyahu yang telah kehilangan muka di pentas dunia, yang pasti warga bumi yang waras dan berpegang teguh kepada nilai-nilai humanisme pasti akan berdiri bersama warga Gaza. Hari ini, warga dunia termasuk di Amerika sendiri telah memerankan pergeseran cara pandang terhadap Gaza yang lebih baik dari sebelumnya. Sebuah harapan baru telah muncul di Amerika dan negeri Barat lainnya di mana dukungan moral terhadap Palestina sudah sangat terlihat dengan jelas.
Juan P. Villasmil editor di Intercollegiate Studies Institute dan kontributor untuk The Spectator World menyuguhkan fakta menarik tentang perubahan drastis Gen-Z di Amerika. Mereka menjadi lebih anti-Israel dan pro kepada perjuangan Palestina. Perubahan sikap Gen-Z di Amerika dan bahkan di negara-negara Eropa terjadi selama perang Thufanul Aqsa berlangsung di Gaza, suatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Jajak pendapat, tagar, cerita Instagram, dan demonstrasi di kampus menunjukkan bahwa generasi Z di Amerika saat ini, lebih skeptis terhadap Israel dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Di TikTok, di mana separuh penggunanya berusia di bawah 30 tahun, #freepalestine memiliki 31 miliar unggahan dibandingkan dengan 590 juta unggahan untuk #standwithisrael -lebih dari 50 kali lipat lebih banyak .
Dengan dinamika perubahan cara pandang orang Amerika ke Gaza sudah mengarah kepada hal positif tentang nasib warga Gaza. Mengapa Trump dan para pemimpin di negeri itu tak juga sadar diri dengan perubahan tersebut. Trump sejatinya sadar diri bahwa rakyat yang dipimpinnya tersebut mulai tidak sejalan dengan apa yang ada di dalam kepala presidennya. Tidak heran jika hari ini kita bisa melihat demo besar-besaran mendukung Palestina terjadi di Amerika, tidak pernah terjadi juga sebelumnya puluhan mahasiswa menggela demo di kampus-kampus hebat di Amerika.
Baca Juga: Israel Juga Lakukan Genosida Budaya di Gaza, Ini Buktinya
Mahasiswa dan generasi muda di Amerika saat ini telah menjadi bagian dari generasi yang mulai memahami situasi geopolitik dunia dan bahkan soal sejarah Timur Tengah yang sering menjadi mainan Amerika selama ini. Tentu, keadaan ini tidak terlepas dari keterbukaan informasi dan gerakan pola dakwah Islam di negeri itu yang damai, santun, jauh dari kesan ekstrimis yang selama ini dituduhkan Barat.
Untuk menjaga stabilitas kedamaian dunia, di mana gerakan humanisme dan demokrasi sering dilontarkan dari pintu-pintu negara Barat, maka kali ini adalah saat yang tepat bagi Amerika dan para sekutunya untuk menghentikan upaya penjajahan ke negeri-negeri Islam dan membangun harmoni lebih baik bagi kelangsungan dunia dan penghuninya. Dengan harmoni yang baik dan selaras dengan isu-isu kemanusiaan, Amerika tidak pelru khawatir kehilangan muka sebagai negara ’kuat’ dan berwibawa penjaga humanisme dan keadilan dunia.
Trump, Sudahlah! Bangsamu akan lebih baik saat sifat serakah dan hobi menjajah itu dihentikan, fokus membangun Amerika pascakebakaran dan tragedi lainnya yang menyita perhatian publik, tentu akan lebih baik ketimbang merecoki tetangga. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Geliat Warga Gaza Bangun Kembali Kehidupan Mereka Pascagencatan Senjata