Tujuh Keutamaan Al-Aqsha dalam Al-Quran

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA, Duta Al-Quds 

Masjid Al-Aqsha di Palestina sangat dikenal oleh umat Muslim dan dunia pada umumnya. Bukan semata karena kondisinya yang sedang mengalami tindakan yahudisasi oleh penjajahan Israel. Namun lebih dari itu, adalah karena adanya beberapa keutamaannya menurut dan Al-Hadits.

Berikut, 7 (tujuh) keutamaan Masjid Al-Aqsha di dalam Al-Quran.

Pertama, Masjid Al-Aqsha adalah nama yang diberikan langsung oleh Allah.

Allah mancantumkannya di dalam ayat:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى …..

Artinya : “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha…..“. (QS Al-Isra [17]: 1).

Kedua, Masjid Al-Aqsha merupakan tempat persinggahan Isra Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Isra Mi’raj sesuai Surat Al-Isra ayat pertama,  merupakan mukjizat dari Allah dan peristiwa terbesar dalam sejarah manusia, ketika seorang manusia dipertemukan dengan Penciptanya secara langsung.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam didampingi Malaikat Jibril dengan mengendarai kendaraan Buraq, berangkat dari Makkah menuju Masjidil Aqsha. Untuk kemudian menuju Sidratul Muntaha, berjumpa dengan Allah.

Di kawasan Al-Aqsha inilah, Buraq itu kemudian melintasi melalui sebelah dinding sebelah barat Masjid Al-Aqsha. Dinding yang kini diklaim oleh Yahudi sebagai Tembok Ratapan.

Maka, pintu sebelah ini  pun dinamakan Baabul Buraq (Pintu Buraq).

Hingga kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhenti di Kubah Batu (Kubah Sakhrah). Di dekat ini, Buraq berhenti, dan kemudian Nabi diperjalankan ke langit ketujuh, Sidratul Muntaha.

Sebagai peninggalannya, saat ini terdapat sebongkah batu di dalam Masjid Kubah Sakhrah di kawasan Masjid Al-Aqsha, tempat pijakan Nabi sebelum naik ke langit.

Ketiga, kawasan sekitar Masjid Al-Aqsha merupakan tempat yang diberkahi Allah.

Hal ini seperti termaktub pada ayat, yang artinya, “…..dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang diberkahi sekelilingnya …..“. (QS Al-Isra [17]: 1).

Para mufassir menjelaskan yang dimaksud dengan tempat yang diberkahi sekelilingnya adalah bahwa di kawasan itu pernah diutus para Nabi.

Juga Allah berikan kesuburan tanahnya, sehingga menghasilkan aneka tanaman dan buah-buahan, serta barang tambang yang terkandung di dalamnya.

Diberkahi pula dalam hal mata pencahariannya, makanan pokoknya, dan hasil pertaniannya. Termasuk banyaknya tanaman, sungai dan kesuburan yang tiada putus.

Termasuk keberkahan Masjid Al-Aqsha yang dilebihkan atas masjid-masjid lain di permukaan bumi ini, selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Secara lebih luas lagi, Allah telah menetapkan keberkahan bagi wilayah Syam, sebuah kawasan yang meliputi Libanon, Syiria, Yordania dan Palestina.

Mengenai keberkahan kawasan ini disebutkan juga pada beberapa ayat, selain Surat Al-Isra, yaitu :

وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ

Artinya: “Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia”. (QS Al-Anbiya [21]:71).

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini tentang pemberitahuan Allah bahwa Nabi Ibrahim diselamatkan dari kaumnya, di kawasan Babylonia (Irak), dan membebaskannya dari mereka dengan berhijrah ke Negeri Syam.

Pada ayat lain disebutkan:

وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا ۚ وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ

Artinya: “Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS Al Anbiya [21]:81).

وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ ۖ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا آمِنِينَ

Artinya: “Dan kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkah kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman”. (QS Saba [34]:18).

Kedua ayat inipun menyinggung kawasan Palestina dan sekitarnya yang diberkahi-Nya.

Keempat, Masjid Al-Aqsha merupakan kiblat pertama umat Islam.

Allah menyebutkan pada ayat:

سَيَقُولُ ٱلسُّفَهَآءُ مِنَ ٱلنَّاسِ مَا وَلَّٮٰهُمۡ عَن قِبۡلَتِہِمُ ٱلَّتِى كَانُواْ عَلَيۡهَا‌ۚ قُل لِّلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُ‌ۚ يَہۡدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬

Artinya: “Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka [umat Islam] dari kiblatnya [/Al-Aqsha] yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah [2]:142).

Mengenai ayat ini, Imam Bukhari menjelaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika awal hijrah di Madinah shalat menghadap ke Baitul Maqdis (Al-Aqsha) selama enam belas atau tujuh belas bulan.

Dalam shalatnya itu, Nabi sering menengadahkan pandangannya ke arah langit, menunggu-nunggu perintah Allah. Sejarawan menuliskan, bahwa Nabi seakan-akan gelisah ketika shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Sebab pada saat yang sama, orang-orang Yahudi jika melakukan ritual peribadatan mengarah ke kawasan itu.

Hingga kemudian Allah menurunkan firman-Nya pada ayat berikutnya:

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”. (QS Al Baqarah [2]:144).

Maka, sejak ayat ini turun, Nabi kemudian saat shalat menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram.

Bukti peninggalan itu, hingga saat ini ada bangunan Masjid Qiblatain (dua kiblat) di Madinah bagian utara, yang memiliki dua arah mihrab yang menonjol, satu ke arah Masjidil Aqsha dan satu ke arah Masjidil Haram.

Kelima, Masjid Al-Aqsha adalah wilayah yang akan dibebaskan oleh orang-orang beriman.

Allah menyebutkan di dalam ayat:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا

Artinya : “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka masuk ke dalam masjid (Masjidil Aqsha), sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang mereka kuasai.” (QS Al-Isra [17]: 7).

Berbicara tentang permulaan Surat Al-Isra, Sayyid Quthb dalam kitab Fi Dzilalil Qur’an, menjelaskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj yang disebut dalam surat Al-Isra’ adalah mengabarkan tentang tumbangnya kejayaan Yahudi Bani Israel.

Adapun secara umum, Surat Al-Isra’ berisi tentang akhir perjalanan hidup dan kejayaan bangsa Yahudi, juga mengungkapkan hubungan langsung antara tumbangnya kejayaan suatu bangsa dengan maraknya kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya.

Keenam, Masjid Al-Aqsha disebut juga dengan sebagai tempat yang disucikan.

Seperti disebutkan di dalam ayat:

 يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ

Artinya: “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Baitul Maqdis) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS Al-Maidah [5]: 21).

Ayat ini berkaitan dengan perjalanan Nabi Musa beserta kaumnya. Dalam hal ini, Nabi Musa mengingatkan kaumnya dari kalangan Bani Ya’qub nenek moyangnya, atau yang kemudian dikenal dengan Bani Israil, akan nikmat-nikmat dari Allah.

Kemudian atas perintah Allah, mereka kaumnya itu diperintahkan agar berani menghadapi musuh-musuh Allah, yang ingkar kepada-Nya, dengan janji bahwa Allah akan menolong mereka. Perintah  itu adalah agar mereka memasuki tanah suci Baitul Maqdis (Ardhul Muqaddasah) dan agar berdiam di negeri sebagai tempat tinggal mereka.

Menurut riwayat Ibnu Asakir dari Muaz bin Jabal bahwa kawasan itu dikatakan tanah yang disucikan karena telah sekian banyak nabi-nabi yang menempatinya dan senantiasa mengajak kepada agama Tauhidullah. Di wilayah itu juga bersih dari patung-patung berhala dan kepercayaan yang sesat.

Demikian selanjutnya, Nabi Musa pun melarang kaumnya menyembah berhala dan membuat keonaran dalam masyarakat dengan berbuat kezaliman dan mengikuti hawa nafsu. Jika mereka tidak mematuhi ketentuan itu, maka mereka akan merugi, karena nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada mereka itu akan dicabut kembali dan dibatalkan.

Ketujuh, Masjid Al-Aqsha adalah wilayah dalam kekuasaan Nabi Sulaiman.

Allah menyebutkan di dalam ayat:

وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ

Artinya: “Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Anbiya [21]: 81).

Yakni pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada angin kencang untuk tunduk kepadanya, Nabi Sulaiman, yang berembus ke negeri yang Allah berkahi, yaitu kawasan negeri Syam. Termasuk di dalamnya adalah kawasan Al-Aqsha di Palestina.

Menurut kisah riwayat, Nabi Sulaiman mempunyai hamparan yang terbuat dari kayu. Di atas hamparan kayu itulah diletakkan semua yang diperlukan oleh Nabi Sulaiman dalam urusan kerajaannya, misalnya kuda-kuda dan unta-unta kendaraan serta kemah-kemah dan bala tentaranya.

Kemudian Nabi Sulaiman memerintahkan kepada angin kencang untuk mengangkat hamparannya. Maka angin kencang memasuki bagian bawah hamparan itu dan mengangkatnya serta membawanya terbang ke arah yang dikehendaki oleh Nabi Sulaiman.

Nabi Sulaiman pun beribadah di kawasan Baitul Maqdis. Ini seperti tercantum di dalam Sunan Ibnu Majah tentang sebuah hadits dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

لَمَّا فَرَغَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ مِنْ بِنَاءِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللَّهَ ثَلَاثًا: حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ، وَمُلْكًا لَا يَنْبَغِي لَأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ، وَأَلَّا يَأْتِيَ هَذَا الْمَسْجِدَ أَحَدٌ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فِيهِ إِلَّا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ” فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ

Artinya: “Ketika Nabi Sulaiman merampungkan bangunan Baitul Maqdis, beliau memohon kepada Allah tiga permintaan: (1) Memberi putusan hukum yang sesuai dengan hukum Allah, (2) Diberikan kerajaan yang tidak patut dimiliki oleh seorang pun setelah dirinya, (3) dan agar tak seorang pun yang datang ke Masjid al-Aqsha dengan keinginan menunaikan shalat di dalamnya, kecuali dihapuskan segala kesalahannya, (sehingga ia suci) seperti saat hari kelahirannya.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan, “Permintaan pertama dan kedua telah diberikan, dan aku berharap yang ketiga pun Allah kabulkan.” (HR Ibnu Majah).

Dalam kitab Tarikh Ibnu Hisyam disebutkan, bahwa setelah Adam ‘Alaihis Salam membangun Ka’bah, Allah memerintahkannya untuk menempuh perjalanan dan membangun Baitul Maqdis.

Malaikat Jibril mengawasi dan memperhatikan bagaimana Baitul Maqdis (Masjid Al-Aqsha) itu dibangun. Setelah Nabi Adam selesai membangunnya, beliau menunaikan ibadah di dalamnya.

Keturunannya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam tinggal dan memakmurkan Masjid Al-Aqsha sekitar tahun 2000 SM, kemudian dilanjutkan anak-anak beliau dari kalangan para nabi, yakni Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub ‘Alaihimassalam.

Pada sekitar tahun 1000 SM, dilanjutkan oleh Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam, seperti disebutkan sebelumnya.

Dengan mengetahui dan menghayati keutama-keutamaan Masjid Al-Aqsha seperti disebutkan di dalam Al-Quran, semoga dapat menumbuhkan kecintaan untuk mengingatinya, mengunjunginya serta kemudian membebaskannya dan mensucikannya kembali dari belenggu penjajahan. Aamiin.

Wallahu a’lam bishshawab. (A/RS2/P1) 

Mi’raj News Agency (MINA)