Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tujuh Mitos tentang Iklan Rokok

Rudi Hendrik - Kamis, 15 Juni 2017 - 22:44 WIB

Kamis, 15 Juni 2017 - 22:44 WIB

591 Views

Oleh: Rina Asrina Jaja, Wartawan Kantor Berita Islam MINA

Indonesia saat ini tengah menentukan nasib antara melarang tayangan iklan rokok secara total atau tidak dalam draft rancangan undang-undang penyiaran baru yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Sebelumnya, komisi I DPR pada draft RUU Penyiaran 6 Februari 2017 telah memuat ketentuan tentang larangan iklan rokok dan zat adiktif lainnya.  Langkah ini dianggap menjadi angin segar karena selama ini Indonesia masih menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang tidak melarang tayangan iklan rokok secara total.

Namun, baru-baru ini saat masuk pembahasan Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR, pasal larangan iklan rokok ditiadakan dalam draft RUU tersebut. Baleg merekomendasikan agar iklan rokok dibatasi sebagaimana peraturan sebelumnya yang berlaku di Indonesia. Usulan Baleg tersebut dinilai hanya melindungi industri rokok, bukan rakyat miskin yang saat ini menjadi target terbesar pasar rokok di Indonesia.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Lemahnya pengaturan iklan dan promosi rokok di media penyiaran, berdampak pada meningkatnya angka perokok anak di negara ini. Dalam kurun hampir 10 tahun perokok remaja usia antara 10-14 tahun meningkat hampir dua kali lipat. Setidaknya 70 persen perokok mulai merokok sebelum usianya mencapai 19 tahun.

Berdasarkan studi UHAMKA dengan Komnas PA pada 2007, setidaknya 46,3 persen remaja di Indonesia mengaku mulai merokok karena terpengaruh dari iklan rokok. Sementara 50 persen lainnya merasa dirinya seperti dicitrakan oleh iklan rokok di televisi.

Anggota Dewan Pengurus Bidang Hukum Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Muhammad Joni mengatakan keputusan Baleg harus dipertanyakan. Apakah sebenarnya motivasi Baleg mengeluarkan usulan untuk menolak larangan iklan tayangan rokok?

Berikut beberapa mitos yang kerap dijadikan alasan bagi bolehnya tayangan iklan rokok menurut laporan Lentera Anak Indonesia dan WHO Indonesia:

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

MITOS 1: Pemerintah telah melakukan perlindungan kepada anak dan masyarakat dengan mengatur jam penayangan iklan rokok di lembaga penyiaran yaitu dari jam 21.30-05.00 WIB.

FAKTA : Pembatasan jam penayangan iklan rokok di televisi, jam berapapun tayangannya dinilai tidak efektif. Menurut studi studi UHAMKA  dan Komnas Anak tahun 2007, sebanyak 99.7 % anak-anak melihat iklan rokok di televisi.  Sementara menurut Global Youth Tobacco Survey 2009, sebanyak 90% anak usia 13-15 tahun melihat iklan rokok di televise dan menurut Survey cepat Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2012 di 10 kota besar di Indonesia menyebutkan 92% anak-anak melihat iklan rokok di televisi.

MITOS 2 : Industri rokok adalah industri legal, memiliki hak untuk melakukan komunikasi dengan konsumennya.

FAKTA : Industri rokok adalah legal untuk produk lethal (membunuh). karena mengandung zat adiktif yang membahayakan kesehatan. sebagaimana ditegaskan dalam UU Kesehatan No 36 tahun 2009, pasal 113 ayat (2). Karena itu, sebagai produk yang bersifat adiktif, peredaran dan konsumsi rokok perlu diawasi dan dilarang beriklan seperti zat adiktif lainnya. yang dimandatkan Undang-Undang No.30 Tahun 2007 tentang Cukai.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

MITOS 3: Larangan iklan rokok merupakan pelanggaran atas hak untuk menyampaikan informasi (pasal 28 (f) UUD 1945).

FAKTA: Hak untuk menyampaikan infomasi sebagaimana tertuang dalam pasal 28 (f) UUD 1945 adalah infomasi yang berguna bagi pengembangan diri dan lingkungan sosial.

Infomasi dalam iklan rokok tidak termasuk dalam informasi yang dilindungi oleh konstitusi. iklan rokok berisi informasi yang menyesatkan. dimana rokok yang sejatinya berdampak buruk terhadap kesehatan, tapi digambarkan sebagai sesuatu yang macho, trendy, berkelas, gaul, dan lainnya.  Informasi menyesatkan ini merusak pengembangan diri dan lingkungan sosial.

MITOS 4: Larangan terhadap iklan dan promosi rokok pada media penyiaran berpotensi menambah pengangguran di industri terkait yaitu industri periklanan dan lembaga penyiaran televisi serta radio.

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam

FAKTA : Iklan rokok hanya mewakili sebagian kecil dari total industri periklanan. Industri periklanan dan lembaga penyiaran tidak hanya menayangkan iklan produk rokok, tapi juga produk lainnya seperti makanan, minuman, otomotif, telepon seluler, keperluan rumah tangga dan sebagainya.

Survey AC Nielsen pada kuartal pertama 2011, menunjukkan belanja iklan industri rokok berada di urutan nomor lima.  Selain itu, porsi belanja iklan rokok hanya 3.5 % dan 1.4% -nya iklan di televisi dari keseluruhan belanja 41 trilyun rupiah.  Karena itu, pelarangan iklan rokok di televisi tidak akan menimbulkan pengangguran karena masih banyak produk lain yang bisa beriklan.

Pertumbuhan total iklan secara umum akan memberikan kompensasi atas hilangnya pendapatan dari iklan rokok. Berdasarkan pengalaman di sejumlah Negara Uni Eropa yang telah melarang iklan, pembelanjaan iklan rokok tergantikan oleh publikasi dari sektor lain tanpa  kehilangan pendapatan atau kehilangan pekerjaan.  Contoh lain adalah Hongkong yang telah melarang iklan rokok di TV dan radio tahun 1990. Pendapatan iklan di dua stasiun TV terbesar justru meningkat lebih dari 500% pada tahun 1996.

MITOS 5: Yang terpengaruh iklan rokok bukanlah usia dini tapi usia 35-39 tahun dan sulit membuktikan data bahwa iklan rokok mempengaruhi remaja untuk mengonsumsi rokok.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

FAKTA: Pesan iklan rokok menggunakan gaya dan bahasa remaja dan bermain di wilayah insight,  menyentuh sisi psikologis remaja yang diasosiasikan dengan sikap kritis, bebas, setia kawan, keren, macho, pemberontakan dan petualangan. Pengakuan seorang narasumber dari biro iklan ternama di Jakarta, membenarkan bahwa remaja merupakan pusat bidikan produsen rokok. “Klien selalu minta supaya iklan rokok difokuskan untuk menggaet konsunen muda,” kata seorang yang minta tidak disebutkan namanya.

Berbagai studi ilmiah membuktikan bahwa iklan mendorong anak untuk mulai merokok. Sebuah kajian dari sembilan penelitian horisontal pada tahun 2003 yang melibatkan lebih dari 12.000 anak, menyimpulkan bahwa iklan dan promosi produk tembakau meningkatkan  peluang anak untuk mulai merokok. Contohnya penelitian UHAMKA dan KOMNAS Anak yang disebutkan sebelumnya.

MITOS 6: Iklan rokok bukan untuk memengaruhi perokok baru tapi hanya untuk mempertahankan perokok dan memengaruhi perokok merek tertentu ke merek yang lain.

FAKTA :  Sebuah kajian komprehensif selama 5 tahun terkait dengan konsumsi tembakau yang melibatkan para ahli marketing komunikasi psikologi dan kesehatan masyarakat yang dirilis oieh National Cancer Institute (Amerika Serikat) menyimpulkan bahwa ada hubungan kausal antara pemasaran (iklan, promosi dan sponsor) tembakau dengan peningkatan konsumsi tembakau. Seperti yang survey AC Nielsen sebutkan, penjualan rokok mengalami kenaikan 37% pada periode penyelenggaraan Piala Dunia 2010, dimana siaran langsung pertandingannya di televisi mempromosikan produk rokok.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

MITOS 7: Pasal 46 (3) huruf (a) UU Penyiaran no.32/2002 yang membolehkan promosi rokok asal tidak memperagakan wujud rokok adalah pengecualian dari pasal 46 ayat (3) huruf (b) yang melarang promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif. Dalam undang-undang atau peraturan selalu ada pengecualian.

FAKTA: Pengecualian pada pasal 46 (3) huruf (c ), adalah suatu ketidakadilan dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mendapat perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum.  Karena rokok termasuk zat adiktif, seharusnya diperlakukan sama dengan minuman keras dan bahan zat adiktif lainnya, yaitu tidak boleh melakukan iklan dan promosi. Hal itu bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UU 1945 yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”(RE1/R01)

 

 

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Rekomendasi untuk Anda

Kolom